BerandaTafsir TematikTermasuk Ajaran Islam, Ini Dalil Tawasul dalam Al-Quran

Termasuk Ajaran Islam, Ini Dalil Tawasul dalam Al-Quran

Memohon sesuatu melalui perantara orang saleh; Nabi, wali, dan semisalnya, atau yang biasa disebut dengan tawasul, merupakan bagian dari ajaran Islam. Beberapa dalil membuktikannya. Seperti firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 64 dan Al-Maidah ayat 35, dua-duanya menjadi bagian dari dalil tawasul dalam Al-Quran.

Surat Al-Maidah ayat 35, perintah tawasul

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱبۡتَغُوٓاْ إِلَيۡهِ ٱلۡوَسِيلَةَ وَجَٰهِدُواْ فِي سَبِيلِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung.

Ayat tersebut memerintahkan kepada orang beriman untuk bertakwa kepada Allah dan tawasul. Takwa seperti yang disebut Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’anul ‘Adzim, bermakna melakukan kebajikan dan menjauhi larangan. Sementara tawasul, diartikan sesuatu yang digunakan sebagai perantara untuk mencapai tujuan. Sependapat dengan Ibnu Katsir, Ibnu ‘Asyur dalam at-Tahrir wat-Tanwir berpendapat bahwa perintah tawasul pada ayat itu bermakna mencari perantara yang mempermudah seseorang untuk mendapat rida Allah.

Baca juga: Maksud Larangan Berlebihan Memuji Rasulullah SAW, Tafsir Surah an-Nisa 49

Lalu, bolehkah tawasul melaui seseorang? atau perbuatan saja?

Menurut az-Zahawi dalam Fajr as-Shadiq, sebagaimana Ibnu ‘Abbas, tawasul boleh-boleh saja melalui seseorang atu perbuatan. Pendapat ini memang mendapat kritik dari sebagian kalangan yang kontra tawasul. Karena menurut mereka, bila tawasul boleh melalui seseorang atau benda maka, sama saja dengan tradisi kaum musyrik zaman Jahiliyyah yang menjadikan berhala sebagai sesembahan untuk maksud mendekatkan diri kepada Allah. Mereka mendukung argumennya dengan Surat az-Zumar ayat 3 dan az-Zukhrif ayat 87.

Tetapi, sebenarnya tindakan musyrikin dengan tawasul yang dilakukan umat Islam sangat berbeda. Mengutip az-Zahawi, setidaknya ada empat hal yang menjadi pembeda.

Pertama, kaum musyrikin menyembah berhala dan menjadikannya sebagai Tuhan mereka, sedangkan umat Islam tidak berkeyakinan kalau Nabi dan wali sebagai Tuhan, karena hanya ada Allah yang patut diajadikan Tuhan.

Kedua, kaum musyrikin meyakini bahwa berhala berhak untuk disembah, sedangkan umat Islam hanya meyakini Allah sebagai sesembahan yang berhak disembah.

Ketiga, kaum musyrikin menyembah berhala dengan riil, sedangkan umat Islam sama sekali tidak berniat menyembah Nabi dan wali saat tawasul.

Baca juga: Menyoal Pemaknaan Wali Menurut Al-Quran

Keempat, redaksi li yuqarribuna ilallahi zulfa pada surat az-Zumar ayat 3, mengindikasikan bahwa taqarrub yang diharap oleh orang musyrik adalah taqarrub secara hakiki. Artinya, orang musyrik menganggap Allah itu berjisim di langit, untuk mencapai kedekatan denganNya mereka menggunakan berhala-berhala sebagai mediator. Sementara tawasul yang dilakukan oleh umat Islam sama sekali tidak berlandaskan pada paham tajassum (menganggap Allah berbentuk).

Surat An-Nisa ayat 64, tawasul kepada Nabi Saw

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ وَلَوۡ أَنَّهُمۡ إِذ ظَّلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ جَآءُوكَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ ٱللَّهَ وَٱسۡتَغۡفَرَ لَهُمُ ٱلرَّسُولُ لَوَجَدُواْ ٱللَّهَ تَوَّابٗا رَّحِيمٗا

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzhalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang

Memang tidak ada hadis yang secara pasti menjadi latar turunnya ayat ini. Tetapi, ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa ayat tersebut mengandung tuntunan untuk bertawasul kepada Nabi SAW. Misalnya, atsar yang dikutip Al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi. Atsar ini riwayat Ali ra. Kurang lebih begini isinya.

Suatu ketika, 3 hari sepeninggal Nabi SAW, ada seorang Badui yang berziarah ke makam Nabi SAW. Badui itu berkata:

قلت يا رسول الله فسمعنا قولك ووعيت عن الله فوعينا عنك

Engkau telah sabdakan kepada Kami, wahai Rasulullah, dan kami mendengarnya. Engkau telah mendapat penjelasan dari Allah pula, kami pun mendapatkannya darimu.

Yang dimaksud si Badui itu ialah Surat An-Nisa ayat 64. Kemudian, dia membaca ayat itu. Dan mengakui kezalimannya serta mengutarakan tujuannya berziarah untuk memohon agar Nabi memintakan ampun kepada Allah untuknya.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Anbiya’ Ayat 105: Manusia Sebagai Khalifah fil Ardh dan Makna Saleh Total

Lalu, apa yang terjadi kemudian?

Benar saja, tiba-tiba terdengar suara bahwa Badui itu telah diampuni.

Dalam al-Hikayah karya Nashiruddin bin Shabbagh, terdapat pula kisah tentang pengalaman tawasul kepada Nabi yang diriwayatkan oleh al-‘Utba.

Alkisah, datanglah seorang non-Arab saat al-Utba duduk di pelataran makam Nabi. Non-Arab itu kemudian salam kepada Nabi seraya melantunkan Surat An-Nisa ayat 64. Ia lalu mengutarakan maksudnya untuk meminta syafaat dan ampunan Allah melalui perantara Nabi.

Seusai si non-Arab itu pergi, al-Utba pun tertidur. Ia mempimpikan Nabi, yang bersabda bahwa Allah telah mengampuni dosa non-Arab tersebut.

Hadis perintah tawasul kepada Nabi

Selain, dari Al-Quran, dalil tawasul kepada Nabi juga ada dalam hadis, seperti hadis riwayat Jabir bin ‘Abdullah yang ditakhrij Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من قال حين يسمع النداء اللهم رب هذه الدعوة التامة والصلاة القائمة آت سيدنا محمدا الوسيلة والفضيلة وابعثه مقاما محمودا الذي وعته إلا حلت له الشاعة يوم القيامة

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa berdoa ketika adzan “Wahai Allah, Tuhan pemilik panggilan yang sempurna, dan salat yang akan didirikan, berikanlah junjungan kita (Nabi Muhammad) sebagai perantara dan keagungan. Dan mohon bangkitkan ia pada tempat terpuji yang telah engkau janjikan”, maka syafaat akan terbuka untuknya di hari kiamat”

Baca juga: Tafsir Surat Yunus Ayat 62: Tak Ada Rasa Takut dan Sedih bagi Wali Allah

Hadis itu menjadi dalil sarih untuk tawasul. Nabi jelas memerintahkan kepada muslimin sekalian untuk berdoa agar ia dapat menjadi wasilah (lantaran) kepada Allah.

Terlepas dari berbagai dalil, tawasul kepada Nabi dan orang-orang saleh tidak pas disebut sebagai tindakan menyimpang, bahkan kekufuran, Karena tawasul substansinya baik,  menjadikan orang-orang yang saleh itu sebagai perantara hamba kepada Tuhannya. Dan hal ini sesuai dengan akal sehat. Lha wong, belajar saja butuh guru dan buku agar dapat paham. Berdoa pun juga begitu. Terkadang kita juga butuh menjadikan orang lain yang kita anggap lebih baik dari kita, untuk mendoakan keinginan-keinginan kita agar kita dapat keridaan Allah. Wallahu a’lam[]

Halya Millati
Halya Millati
Redaktur tafsiralquran.id, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...