BerandaUlumul QuranKolom PakarTidak Ada Makna dalam Al-Quran, Lalu…

Tidak Ada Makna dalam Al-Quran, Lalu…

Is there a divinely revealed meaning in the Qur’ān? No! Tidak ada makna yang inheren pada Al-Qur’an. Itulah posisi intelektual saya atas lokus makna dalam Al-Qur’an yang tidak terwahyukan dalam proses pewahyuan kepada Muhammad. Proses pembentukan makna hanya terjadi ketika Al-Qur’an berinteraksi secara historis dengan penafsirnya melalui mekanisme penafsiran. Karena itu, tafsīr merefleksikan keterlibatan aktif seorang penafsir dalam memproduksi makna terhadap teks-teks Al-Qur’an. Tiadanya hirarki otoritas dalam tradisi Islam Sunni memberikan kebebasan bagi penafsir untuk memproduksi makna yang berbeda, plural, dan kontradiktif.

Baca Juga: Kontradiksi Penafsiran Al-Quran Surah Al-A’raf Ayat 52

Fakta makna al-bahrayni yang plural dan kontradiktif

Fakta yang memperkuat tesis bahwa makna adalah produk pikiran penafsir Al-Qur’an, dapat ditemukan pada pluralisme dan kontradiksi makna atas teks Al-Quran, tepatnya pada penafsiran surah Ar-Rahman [55]:19 —maraja al-bahrayni yaltaqiyāni—. Selama ini, ayat tersebut ditafsirkan secara umum dengan makna bahwa “Tuhan membiarkan dua laut mengalir, lalu keduanya bertemu.”

Penafsiran ini terefleksikan dalam Tafsīr al-Mishbah karya M. Quraish Shihab yang berkomentar bahwa “Dia mengalirkan dengan bebas dua lautan secara berdampingan, yang satu tawar lezat dan yang lain sangat asin lagi pahit, lalu keduanya bertemu pada permukaannya” (Shihab, Ar- Rahmān/55:19).

Penafsiran ini tidak menawarkan aspek kebaruan (novelty) karena ia hanya merupakan repetisi dari makna yang sudah menjadi standar umum dalam literatur tafsīr. Ide repetisi makna ini menunjukkan bahwa penafsiran Al-Qur’an di dunia modern, yang antara lain terefleksikan pada Tafsīr al-Mishbah, bergantung pada penafsiran Al-Qur’an di fase pra-modern. Hal ini terbukti dengan pemaknaan albahrayni yang sudah menjadi makna standar dalam penafsiran Al-Qur’an pada fase pra-modern.

Dalam Tafsīr al-Jalalayn, kategori tafsīr yang populer untuk madrasah, As-Suyūtī dan al-Mahallī juga menafsirkan Al-Qur’an, surah Ar-Rahman [55]:19 dengan makna bahwa “Tuhan telah melepaskan dua laut, yang satu manis dan yang satu lagi asin, sehingga keduanya bertemu” (As-Suyūtī dan al-Mahallī, Ar-Rahmān/55:19). Penafsiran al-bahrayni merujuk pada dua laut, yang satu manis dan yang lain asin, juga dapat ditemukan dalam tafsīr Anwār al-Tanzīl karya al-Baydāwī (w. 719/1319), Tafsīr Ibn Kathīr (w. 1373), dan Rūh al-Ma‘ānī karya al-Ālusi (w.1270/1854).

Yang menarik adalah penafsiran yang umum itu bukanlah satu-satunya makna atas teks Al-Quran yang diproduksi oleh penafsir. Sebagai produsen makna, sejumlah penafsir awal dan abad pertengahan Islam justru mengeksplorasi kemungkinan makna-makna lain atas al-bahrayni yang selama ini, menurut saya, seringkali terabaikan dan sengaja dilupakan dalam tradisi penafsiran Al-Qur’an di fase Islam modern.

Survei sekilas atas produksi makna al-bahrayni dalam literatur tafsīr awal dan pertengahan Islam semakin meneguhkan tesis utama risalah ini bahwa makna atas teks Al-Quran adalah sepenuhnya produk penafsiran manusia (a product of human interpretation), tidak terwahyukan secara ilahi, dan karena itu, makna-makna yang muncul dari pikiran penafsir tidak pernah satu dan sama, melainkan plural dan kontradiktif.

Baca Juga: Konflik Bacaan Al-Quran, Preferensi Bacaan atas Surah Al-Isra Ayat 106

Abū Ja‘far b. Jarīr Ath-Thabari (w. 310/923) adalah penafsir agung awal abad pertengahan Islam yang untuk pertama kalinya merekam kemungkinan makna lain atas al-bahrayni ini. Dalam tafsīrnya yang momumental, Jāmi‘ al-bayān ‘an ta’wīl āy al-Qur’ān, 30 vol. (Cairo: Mustafa al-Bābi al-Halabi, 1986), Ath-Thabari merekam penafsiran yang berbeda dari dua otoritas penafsir, yang menafsirkan al-bahrayni dengan makna yang berbeda.

Makna al-bahrayni tidak lagi dipahami sebagai rujukan atas dua laut yang satu manis dan satunya lagi asin, tetapi ditafsirkan oleh sebagian otoritas penafsir awal dengan makna yang sedikit berbeda, yakni “laut yang berada di langit” (al-bahr fi al-samā’; a sea in heaven) dan “laut yang berada di bumi” (al-bahr fi al-ard; a sea on earth). Bahkan, Ath-Thabari merujuk otoritas terbesar dalam tafsīr awal, yakni sahabat Nabi itu sendiri, ‘Abd Allāh Ibn ‘Abbās (w. 68/688), yang menafsirkan al-bahrayni dengan makna yang lengkap: “laut yang berada di langit dan laut yang di bumi itu keduanya bertemu setiap tahun.” Penafsiran Ibn ‘Abbās ini juga direkam oleh As-Suyūthi dalam al-Durr al-Manthūr fī al-Tafsīr bi al- Ma’thūr, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyya, 2014).

Inilah salah satu pendapat sebagian penafsir yang direkam oleh Ath-Thabari dalam memproduksi makna albahrayni. Menariknya lagi adalah Ath-Thabari juga merekam pendapat dari sebagian otoritas komunitas penafsir awal, seperti Qatāda b. Di‘āma (w. 117/735), yang menafsirkan al-bahrayni dengan rujukan makna “laut Persia” (bahr fāris, a sea of the Persians) dan “laut Romawi dan Yunani” (bahr al-Rūm, a sea of the Romans and Greeks). Di tengah konflik dua penafsiran yang berbeda dan dengan konstruksi makna yang berbeda pula, Ath-Thabari secara jelas menunjukkan posisi intelektualnya bahwa penafsiran yang benar merujuk pada pendapat pertama, yakni mereka yang menafsirkan al-bahrayni dengan makna “laut di langit” dan “laut di bumi.” Ekspresi atas klaim kebenaran ini menunjukkan posisi intelektualnya bahwa dia sendiri meyakini penafsiran albahrayni sebagai rujukan dua laut, satu di langit dan satunya lagi di bumi, adalah penafsiran yang benar.

Yang mengejutkan adalah penafsir Al-Qur’an awal tetap mengeksplorasi kemungkinan makna lain dari al-bahrayni yang tidak terkait sama sekali dengan dua laut dan rasanya, satu terasa manis dan satunya lagi asin, serta lokasinya, satu berada di langit dan satunya di bumi, tetapi lebih terkait dengan laut dalam diri manusia. Penafsiran Al-Qur’an yang bercorak sufistik ini dapat ditemukan antara lain pada pemikiran teolog Islam Sunnī dan penafsir sufistik, Sahl ‘Abd Allāh al-Tustari (w. 283/896). dalam karyanya, Tafsir al-Qur’ān al-‘Azīm (1908:145).

al-Tustari menafsirkan Al-Qur’an, surah Ar-Rahman [55]:19—maraja al-bahrayni yaltaqiyāni—dengan rujukan makna atas dua laut dalam manusia: “Salah satu lautan ini adalah hati, yang berisi berbagai permata: permata iman, permata gnosis (ma’ rifa), permata kesadaran keesaan Tuhan, permata kepuasan (ridā), permata cinta (mahabba), permata kerinduan (shawq), permata kesedihan (huzn), permata kebutuhan akan Tuhan (faqr), dan permata lainnya. Laut lainnya adalah diri (nafs).”

Penafsiran yang bercorak sufistik ini tidak terekam dalam tradisi penafsiran Ath-Thabari sehingga maknanya tidak tersebar luas di kalangan Islam Sunnī. Padahal, makna lautan dalam “hati” dan “diri” manusia ini memberikan metafor yang bermakna dalam kehidupan spiritual manusia.

Makna pun terus berubah dalam pikiran penafsir. Setelah merekam keragaman penafsiran atas al-bahrayni, al-Tha‘labi (w. 427/1035) dalam tafsirnya yang belum lama ini diterbitkan dengan judul Kashf wa-al-Bayān (Beirut: Dār Ihya’ al-Turāth al-‘Arabī, 2002), akhirnya berhasil memproduksi makna baru atas teks Al-Qur’an, surah Ar-Rahman [55]:19, “Ada dua laut antara hamba dan Tuhannya. Pertama adalah laut keselamatan (bahr al-najat) dan itu adalah Al-Qur’an. Dan barangsiapa berpegang teguh pada Al-Qur’an, maka dia akan selamat. Kedua adalah laut kebinasaan (bahr al-halāk) dan itulah dunia. Siapapun yang menggenggam dunia dan menjadikannya sebagai tempat peristirahatannya, maka dia akan binasa.”

Baca Juga: Lokus Makna Al-Quran: Otoritas Teks atau Otoritas Penafsir?

Akhirnya, penafsiran Al-Qur’an, surah Ar-Rahman [55]:19 ini tidak pernah bermakna satu dan sama dalam tradisi penafsiran Islam, tetapi plural dan kontradiktif. Pluralisme dan kontradiksi makna ini terekam secara eksplisit dalam tradisi penafsiran Al-Qur’an awal dan abad pertengahan yang bersifat multivokal, yang tidak ditemukan dalam tafsīr moderen.

Para penafsir wahyu di fase awal dan pertengahan Islam terbiasa dengan multivokalitas penafsiran atas Al-Qur’an. Pluralisme dan kontradiksi makna Al-Qur’an ini meneguhkan tesis utama risalah ini bahwa makna atas teks Al-Qur’an yang plural dan kontradiktif itu bukanlah bersumber dari Tuhan yang terwahyukan, tetapi murni sebagai produk pemikiran manusia.

Sukidi Mulyadi
Sukidi Mulyadi
Doktor bidang kajian Islam Harvard University, Kader Muhammadiyah
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Keutamaan Waktu antara Maghrib dan Isya

Keutamaan Waktu antara Maghrib dan Isya

0
Dalam Islam, setiap waktu memiliki keutamaan dan keberkahan tersendiri. Salah satunya ialah waktu antara Maghrib dan Isya. Di waktu yang singkat tersebut umat Islam...