Tiga Karakter Pemuda Ideal Menurut Al-Qur’an

Karakter Pemuda Ideal Menurut Al-Qur'an
Karakter Pemuda Ideal Menurut Al-Qur'an

Membaca bagaimana gerak laju para pemuda selalu menarik. Perubahan sosial dan dinamika masyarakat secara substansial biasanya tidak dapat luput dari serba-serbi aktivitas pemuda. Isu-isu hangat dan tren dewasa ini tentu sebagian besar merupakan implikasi pemuda dalam berbagai gelagatnya. Dalam Al-Qur’an ataupun hadis, banyak diungkapkan bagaimana karakteristik sebagai pemuda ideal menurut Al-Qur’an yang dapat dijadikan teladan bagi para pemuda.

Eksistensi dan peranan para pemuda sangat penting. Melalui merekalah perjalanan serta suksesi bangsa ini ditentukan. Bagaimana tidak, peran yang begitu besar oleh para pemuda nampak jelas apabila kita hendak menengok pada muka sejarah bangsa Indonesia, di mana mereka tercatat sebagai penggerak sekaligus penginisiasi satu peristiwa yang amat bersejarah bagi bangsa ini, yakni sumpah pemuda. Peristiwa yang terjadi pada 28 Oktober 1928 dan diperingati setiap tahunnya ini merupakan buah dari kegigihan para pemuda yang hendak mengintegrasikan serta memperkuat kesadaran akan kebangsaan dan persatuan Indonesia. Oleh karenanya, tak salah apabila kita mengakui bahwa pemuda adalah agent of change.

Baca juga: Meneladani Semangat Pemuda Ashabul Kahfi dalam Al-Quran

Di antara sekian banyak karakteristik pemuda ideal dalam Al-Qur’an ialah sebagai berikut.

Beriman dan Beramal Saleh

 وَالْعَصْرِۙ ١ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ٢ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ ٣

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” (Q.S. al-‘Asr [103]: 1-3)

Tafsir QS. Al-Asr [103]: 1-3 Tentang Urgensi Waktu Sebagai Sarana Untuk Beramal Saleh

Imam asy-Syafi’i dalam mukadimah kitab Al-Majmu’ karya Imam Nawawi disebutkan bahwa beliau berkata, “Sekiranya Allah tidak menurunkan hujjah kepada makhluk-Nya, kecuali surah ini, tentu itu sudah cukup bagi mereka.” Perkataan Imam Syafi’i ini mengindikasikan bahwasanya kandungan surat Al-Asr ini sarat akan makna untuk kita pelajari dan amalkan.

Prof. Quraish Shihab, penulis Tafsir al-Misbah (15, 587) menafsirkan surat di atas dengan menegaskan bahwa seluruh manusia diliputi oleh kerugian yang besar dan beraneka ragam. Kemudian, pada ayat terakhir dalam surat al-‘Asr mengecualikan (tidak termasuk golongan yang merugi) bagi mereka yang melakukan empat kegiatan pokok, yakni: orang-orang yang beriman dan melakukan amalan-amalan yang saleh, yaitu yang bermanfaat, serta saling berwasiat tentang kebenaran, kesabaran, dan ketabahan.

Sementara itu, Ibnu Katsir (4, 675) menafsirkan illaladzîna âmanû wa ‘amilusshâlihât dengan mengecualikan (dari golongan yang merugi) yakni umat manusia yang beriman dengan hatinya dan mengerjakan amal saleh dengan anggota tubuhnya. Kemudian, lafaz wa tawâshau bilhaqq ditafsirkan dengan melaksanakan ketaatan dan meninggalkan hal-hal terlarang. Setelah itu, lafaz wa tawâshau bishabr ditafsirkan dengan sabar terhadap musibah dan takdir, serta mencelakakan orang yang hendak mencelakakan orang lain, memerintahkan untuk berbuat baik (amar ma’rûf) dan melarang mereka berbuat mungkar (nahi munkar).

Baca juga: Fungsi Al-Quran, Kitab Samawi yang Lain dan Cara Mendakwahkannya

Berwawasan Luas

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ ١١

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Mujadalah [58]: 11)

Tafsir QS. Al-Mujadalah [58]: 11 Tentang Urgensi Ilmu Pengetahuan Sebagai Perhiasan Diri

Prof. Quraish Shihab, penulis Tafsir al-Misbah (13, 491) menafsirkan ayat di atas dengan menekankan bahwasanya alladzîna ûtul ‘ilm berarti mereka (orang-orang) yang beriman dan menghiasi dirinya dengan pengetahuan. Menurut beliau, ayat ini membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar. Pertama, ialah mereka sekadar beriman dan beramal saleh. Kedua, orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Oleh karenanya, derajat kelompok kedua ini lebih tinggi, bukan saja karena nilai (value) ilmu yang ada padanya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain, baik secara verbal ataupun non-verbal (keteladanan). Ilmu pengetahuan yang dimaksud oleh ayat di atas bukan saja ilmu agama, melainkan ilmu apapun yang bermanfaat. Hal ini senada dengan hadis Nabi Muhammad Saw.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ مِنْ دُعَاءِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ دُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ وَمَنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ

Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah r.a berkata: Salah satu doa yang biasa dipanjatkan Nabi Saw. adalah: Allahumma inni a’udhu bika min ‘ilmin la yanfa’u, wa mindu’a’in la yusma’u, wa min qalbin la yakhsha’u, wa min nafsin la tashba’u [Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari doa yang tidak didengar, dari hati yang tidak takut (pada-Mu) dan dari jiwa yang tidak puas. (H.R. Ibnu Majah No. 250)

Berakhlak Mulia

وَقُلْ لِّعِبَادِيْ يَقُوْلُوا الَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ كَانَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوًّا مُّبِيْنًا ٥٣

“Katakan kepada hamba-hamba-Ku supaya mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (dan benar). Sesungguhnya setan itu selalu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (Q.S. al-Isra’ [17]: 53)

Tafsir QS. Al-Isra’ [17]: 53 Tentang Urgensi Akhlak Mulia Melalui Bertutur Kata

Buya Hamka, penulis Tafsir al-Azhar (6, 4071-4073) menafsirkan bahwasanya ayat di atas merupakan pesan Allah SWT. yang disampaikan melalui perantara Rasul-Nya kepada orang-orang yang beriman. Kemudian Allah berkenan memanggil mereka (orang-orang yang beriman) dengan ungkapan, “hamba-hamba-Ku”, betapa lembutnya! Di mana itu merupakan panggilan yang menjadi kebanggaan mukmin diakui statusnya sebagai hamba Allah.

Lebih jauh, Hamka menjelaskan bahwa di dalam mengucapkan kata-kata, seyogyanya kita memilih dan memilah kata-kata yang lebih baik. Kalau ada beberapa kalimat yang serupa maksudnya, maka pilihlah kata-kata yang enak didengar telinga, yang menunjukkan sopan santun atas orang yang mengucapkannya, baik bercakap kepada sesama muslim ataupun selainnya. Sebab, menurut beliau terkadang kita sebagai manusia pada umumnya berucap dengan kata-kata yang tidak terpilih (spontan), di mana maksud ucapan tersebut boleh jadi baik pada mulanya, yaitu hendak mengajak orang lain kepada kebenaran. Akan tetapi, cara menyampaikannya keliru sehingga yang tadinya memiliki maksud mulia malah berakhir sebaliknya.

Baca juga: Kunci Kesebelas dan Keduabelas Menggapai Kebahagiaan: Bersabar dan Bersyukur

Pada intinya, ayat ini mengajak kepada kita untuk memilih kata-kata yang baik ketika hendak berucap. Sebab, kata-kata yang baik merupakan salah satu dari akhlak yang mulia.

Dari uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa apabila seorang muslim, terutama para pemuda sebagai aset bangsa mampu mengamalkan nilai-nilai dan karakter pemuda ideal dalam Al-Qur’an dan hadis, yakni beriman dan beramal saleh, berwawasan luas, serta berakhlak mulia maka bukan tidak mungkin bangsa Indonesia ini akan menjadi bangsa yang makmur, sejahtera, serta mampu bersaing dengan negara lain dengan berlandaskan nilai-nilai luhur Islam. Wallahu a’lam[]