Menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan merupakan definisi umum takwa kepada Allah Swt. Memang tidak mudah untuk melaksanakan dua hal tersebut. Hanya pribadi yang muttaqin yang mampu menjiwai makna takwa itu sendiri. Di sinilah tantangan sekaligus kesulitannya.
Berkali-kali Allah mengutarakan janji-Nya bagi orang yang mampu bertakwa. Dia berfirman, “Siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan menganugerahkannya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (Q.S. At-Talaq [65]: 2-3). Arah datangnya kasih sayang Allah meliputi segala tempat, tidak hanya di tempat keramaian, maupun sepi, jalan rezeki Allah, sebagaimana diungkapkan Emha Ainun Nadjib, adalah di jalan takwa setiap orang.
Secara etimologi, takwa berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayatan. Artinya, menjaga, melindungi diri, dan memperbaiki diri, sebagaimana dijelaskan K.H. Ahmad Warson Munawwir dalam Kamus Al-Munawwir. Sedangkan secara terminologis, takwa merupakan sikap kehati-hatian atau kewaspadaan dari segala sesuatu yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah. Ringkasnya, takwa itu menjaga, melindungi, dan memperbaiki diri menuju sesuatu yang diridai Allah.
Syekh Izzuddin bin Abdussalam dalam Maqashid al-Ri’ayah, pada bab Fashl fi Rutabi Masyaqqah al-Taqwa wal Muhasabah, menjelaskan setidaknya ada tiga tingkatan takwa, sebagai berikut.
Takwa sebagai lifestyle
Takwa sebagai gaya hidup (lifestyle) dan bahkan way of life (jalan hidup). Bagi pribadi yang terbiasa menjalani ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan, bertakwa bukanlah persoalan yang rumit. Syekh Izzuddin bin Abdussalam menuturkan,
أَحَدُهُمْ شَابٌّ نَشَأَ فِيْ عِبَادَةِ اللهِ لاَ تَقَعُ مِنْهُ اِلَّا الصَّغَائِرُ فِيْ أَنْدَرِ الْأَوْقَاتِ
Pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah. Dia hanya sesekali melakukan dosa kecil.
Menjaga tobat dan takwa bagi orang semacam ini mudah dan ringan karena takwa sudah menjadi kebiasaan yang membuatnya merasa tenang dan damai. Ketika bersalah, dia langsung merasa takut, bergegas meninggalkan kesalahan dan bertobat. Sekali saja meninggalkan ketaatan, dia merasa risau, gelisah, dan tidak tenang. Pribadi-pribadi seperti inilah yang oleh Syekh Izzudin sebut sebagai seseorang yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah.
Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 134-135: Empat Perilaku Orang yang Bertakwa
Takwa amatiran
Yang kedua adalah seseorang yang bertakwa, tetapi tingkatannya tergolong amatiran. Artinya, dia masih menuruti kemauan hawa nafsu dan syahwatnya, di samping juga bertobat setelahnya. Ibaratnya, ketakwaan semacam ini masih rawan terdisrupsi oleh hal-hal yang mengarah pada kemaksiatan. Dalam hal ini, Syekh Izzuddin mengatakan,
مَنْ تَابَ مِنْ ذُنُوْبِهِ وَأَقْلَعَ عَنْ عُيُوْبِهِ بَعْدَ مَا أَلِفَ الْمَعَاصِيْ وَالْمُخَالَفَةَ
Orang ini bertobat dari dosa dan meninggalkan aib-aibnya setelah jatuh pada maksiat dan pelanggaran.
Nafsu mengingatkannya dengan beragam syahwat agar orang tersebut terus mengulanginya. Sedangkan setan mendorong dan mengajaknya untuk mengikuti syahwat. Menjaga takwa dan tobat atas ujian ini cukup berat, karena si pelaku sempat memperturutkan syahwat dan berpaling dari ketaatan.
Takwa yang tidak berdaya
Yang paling sulit adalah tingkatan takwa yang ketiga, yaitu ketika takwa sudah tidak menjadi gaya hidup (lifestyle) atau dia sudah tidak berdaya dalam menghadapi kemaksiatan yang mengepungnya dari segala penjuru. Pribadi semacam ini dilukiskan Syekh Izzuddin sebagai berikut,
مُسْلِمٌ مُوَحِّدٌ مُرْتَكِبٌ لِجَمِيْعِ مَا يَهْوَاهُ مِنَ الْمَعَاصِيْ وَالْمُخَالَفَاتِ قَدْرِيْنَ عَلَى قَلْبِهِ بِسُوْءِ كَسْبِهِ
Adalah muslim yang memperturutkan semua maksiat dan pelanggaran yang dibisikkan hawa nafsu. Hatinya telah mati sebab perilaku buruknya.
Menjaga takwa dan tobat atas ini sangat berat karena banyak waktu yang sudah terlewatkan dan karena ketaatan-ketaatan yang baginya berat dilaksanakan.
Baca juga: Memahami Qalbun Munib sebagai Karakter Orang yang Bertakwa
Akhir kata, mempertahankan predikat muttaqin memang sangat berat daripada meraihnya. Meski sulit, bukan berarti seseorang lantas putus asa dan menyerah begitu saja alias pasrah. Islam melarang hal tersebut. Islam mengajarkan agar manusia tidak menyerah dan putus asa untuk terus berjuang meraih kebaikan. Sebab, Allah sudah berjanji dan menggaransi, bahwa bersama dengan kesulitan itu ada kemudahan. Kesulitan satu paket dengan kemudahan, itu janji Allah.
Dia tidak membiarkan manusia tercampak begitu saja, dan Allah sungguh selalu memenuhi janji-Nya. Di sinilah letak kesulitan untuk mempertahankan derajat ketakwaan. Sebagai penutup, kami ingin mengutip sebuah refleksi dari Emha Ainun Nadjib, cendekiawan dan budayawan muslim Indonesia,
“Takwa itulah target puasa. Takwa merupakan cakrawala perjalanan kemusliman manusia. Takwa lebih tinggi daripada nilai kebenaran dan nilai cinta, apalagi dibandingkan dengan tataran norma, hukum formal, adat, serta tabung-tabung formal kultural lainnya dalam komunitas atau kejemaahan umat manusia. Takwa itu suatu atmosfer yang bukan main menyejukkan, menenteramkan, dan membahagiakan, yang terletak di garis kemungkinan “liga rabb”, yakni kemungkinan pertemuan hamba-hamba hina dina semacam kita ini dengan Allah.”
Oleh karenanya, Islam mengajarkan kepada kita untuk fokus utamanya kepada diri sendiri. Gerak pertama kita harus ke dalam sebelum ke luar. “Jaga dirimu dan keluargamu dari api neraka,” begitu firman Allah dalam Q.S. At-Tahrim: 6. Wallahu a’lam.
Baca juga: Bertakwalah, Maka Allah Akan Mengajarimu!