BerandaKhazanah Al-QuranTradisi Al-QuranTradisi Pembacaan Takbir Ketika Khataman Alquran

Tradisi Pembacaan Takbir Ketika Khataman Alquran

Salah satu hal yang menarik dari tradisi khataman Alquran adalah pembacaan takbir (baca: Allahuakbar) sebelum membaca surah selanjutnya ketika sampai pada akhir juz 30. Pertanyaannya adalah apakah pembacaan takbir ini merupakan kesunnahan dari Rasulullah? Atau bentuk ijtihad dari para ulama? Mengapa yang dibaca kalimat takbir kok tidak yang kalimat tasbih, istighfar, dst.? Lantas berdasarkan dalil apa para ulama mempraktikan hal yang demikian?

Secara umum, isi artikel ini ingin berusaha menjawab beberapa problem pertanyaan yang telah disampaikan sebelumnya. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, penulis berbasis pada sumber utama berupa artikel jurnal berbahasa Arab karya Salim ibn Gharm Allah al-Zahrani yang berjudul al-Takbir bayn al-Suwar ‘inda Khatm Alquran wa ‘Inayah al-‘Ulama’ bi al-Ta’lif fihi. Artinya, dapat dikatakan artikel ini semacam review singkat dari jurnal tersebut.

Baca Juga: Dzikir Yasin Fadhilah KH. Maimun Zubair Serta Tata Cara Bacanya

Basis keabsahan pembacaan takbir antara dua surah di akhir juz 30 ini didasarkan pada sebuah riwayat yang disampaikan oleh Abu al-Hasan Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abdillah ibn Abi Bazzah atau yang lebih dikenal dengan nama al-Bazzi (170-250 H). Imam al-Bazzi ini merupakan muqri’ (pakar ilmu qira’at) Makkah, mu’adzin Masjidil Haram dan menjadi salah satu mata rantai penting dari sanad qira’at. Selama hidupnya al-Bazzi berguru kepada Muhammad ibn ‘Abdillah (ayahnya), ‘Abdullah ibn Ziyad, ‘Ikrimah ibn Sulayman, dan Abu al-Ikhrith Wahab ibn Wadih. Banyak ulama yang berguru dan meriwayatkan sanad qiraat kepada al-Bazzi salah satunya adalah Imam Qunbul.

Tradisi pembacaan takbir ini dapat dilacak dalam sebuah hadis marfu’ yang di kodifikasi oleh al-Hakim dalam karyanya al-Mustadrak, melalui jalur sanad al-Bazzi, sebagaimana dalam kutipan berikut:

عَنِ البَزِّيْ، قَالَ: سَمِعْتُ عِكْرِمَةَ بْنِ سُلَيْمَانَ يَقُوْلُ: قَرَأْتُ عَلَى إِسْمَاعِيْلَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ قَسْطَنْطِيْنَ فَلَمَّا بَلَغْتُ ﴿وَالضُّحٰىۙ ١ ﴾ قَالَ: كَبِّرْ عِنْدَ كُلِّ خَاتِمَةِ السُّوْرَةِ حَتَّى تَخْتِمَ، فَإِنِّيْ قَرَأْتُ عَلَى عَبْدِ اللهِ بْنِ كَثِيْرِ فَلَمَّا بَلَغْتُ ﴿وَالضُّحٰىۙ ١ ﴾ قَالَ: كَبِّرْ عِنْدَ كُلِّ خَاتِمَةِ السُّوْرَةِ حَتَّى تَخْتِمَ، وَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَرَأَ عَلَى مُجَاهِدِ فَأَمَرَهُ بِذَلِكَ، وَأَخْبَرَهُ مُجَاهِدُ أَنَّ اِبْنَ عَبَّاسٍ أَمَرَهُ بِذَلِكَ، وَأَخْبَرَهُ اِبْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ أُبَيْ بْنِ كَعْبٍ أَمَرَهُ بِذَلِكَ، وَأَخْبَرَهُ أُبَيْ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَمَرَهُ بِذَلِكَ

Dari al-Bazzi, ia berkata: Aku mendengar ‘Ikrimah b. Sulayman berkata, “aku membaca (Alquran) kepada Isma’il b. ‘Abdillah b. Qastantin (guru qiraat Imam Syafi’i), tatkala aku sampai surah al-Dhuha, ia berkata, bacalah kalimat takbir setiap akhir surah sampai engkau mengkhatamkannya.

Hal ini dikarenakan ketika aku membaca di hadapan ‘Abdullah b. Katsir dan tatkala sampai pada surah al-Dhuha, ia berkata, bacalah kalimat takbir setiap akhir surah sampai engkau mengkhatamkannya. Hal yang demikian juga dilakukan oleh Mujahid, Ibn ‘Abbas, hingga Ubay b. Ka’ab yang diperintah langsung oleh Nabi Muhammad saw.

Walaupun terdapat sebagian ulama—seperti Abu Hatim al-‘Uqayli—yang menilai riwayat tersebut sebagai hadis dha’if (lemah) disebabkan kelemahan al-Bazzi dalam periwayatan hadis. Namun, para ulama menjelaskan bahwa hal tersebut tidak bisa dijadikan justifikasi untuk menolak semua riwayat yang diriwayatkan oleh al-Bazzi, serta tidak bisa digunakan untuk mendelegitimasi kepakaran al-Bazzi dalam bidang qira’at. Oleh karena itu, kelemahan al-Bazzi dalam bidang riwayat hadis tidak bisa menggugurkan kesahihan pembacaan takbir dalam tradisi ilmu qira’at Alquran.

Selanjutnya, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait surah yang menjadi permulaan disunnahkannya pembacaan takbir. Menurut Abu ‘Ali al-Baghdadi, Ibn al-Faham, dan Ibn al-Jazari berpendapat bahwa pembacaan takbir dimulai ketika awal surah al-Dhuha. Sedangkan Abu al-‘Izz dari jalur al-Naqasy dari Abu Rabi’ah memulai pembacaan takbir pada akhir surah al-Dhuha.

Silang pendapat juga terjadi dalam menentukan akhir dari pembacaan takbir, terdapat yang menyebut sebelum surah al-Nas, terdapat juga yang menyebut setelah surah al-Nas. Dua pandangan tersebut sama benarnya. Menurut ‘Abd al-Fattah al-Marsafi, ia menyimpulkan bahwa pembacaan takbir dibaca hanya sebelum basmalah baik ia hanya dibaca pada permulaan surah, atau dilanjutkan hingga akhir surah.

Dalam praktiknya, shighah (bentuk) bacaan takbir yang dipraktikkan oleh para ulama terbagi menjadi tiga pendapat, yaitu:

  1. Hanya melantunkan kalimat takbir tanpa tambahan apapun.

(الله أكبر)

(بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (وَالضُّحٰىۙ

  1. Melantunkan kalimat takbir dengan diawali tambahan kalimat tahlil.

(لا إله إلا الله والله أكبر)

(بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (وَالضُّحٰىۙ ١

  1. Melantunkan kalimat tahlil, takbir, dan ditutup dengan lafal wa lillahi al-hamd.

(لا إله إلا الله والله أكبر ولله الحمد)

 (بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (وَالضُّحٰىۙ ١

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa yang dibaca adalah kalimat takbir, kenapa tidak kalimat-kalimat tayyibah lainnya? Dalam menjawab pertanyaan ini, Salim ibn Gharm Allah al-Zahrani menguraikan sebanyak lima pendapat, yaitu: pertama, pada saat wahyu tidak kunjung turun, kaum kafir mengejek Nabi dengan mengatakan bahwa Tuhan telah membenci Muhammad. Tak berselang lama kemudian turun QS. al-Dhuha dan Nabi pun segera mengucapkan takbir sebagai bentuk syukur dan bahagia, yang pada kelanjutannya Nabi menyuruh para sahabat untuk mengamalkan pembacaan takbir tersebut.

Baca Juga: Surah Al Fatihah dan Ijazah Doa KH Achmad Asrori  Al-Ishaqi

Kedua, pembacaan lafal takbir ini sebagai wujud kebahagiaan Nabi atas balasan ganjaran dan keridaan Allah yang diberikan kepada Nabi dan umatnya, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Dhuha [93]: 5. Ketiga, Nabi membaca takbir ketika turun QS. al-Dhuha, karena pada proses penyampaian wahyu, Malaikat Jibril menampakkan diri kepada Nabi dengan wujud asli sebagaimana ia diciptakan oleh Allah.

Terakhir, keempat, menurut Makki ibn Abi Thalib al-Qisi, pembacaan takbir ketika khatam Alquran tersebut merupakan bentuk pengagungan hamba terhadap Tuhan-nya, sebagaimana diperintahkan Allah dalam QS. al-Muddatstsir [74]: 3, QS. al-Baqarah [2]: 185, QS. al-Isra’ [17]: 111, QS. al-‘Ankabut [29]: 45, QS. al-Hijr [15]: 98, QS. al-Thur [52]: 49. Wallahu A’lam

Moch Rafly Try Ramadhani
Moch Rafly Try Ramadhani
Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

0
Manusia hidup dan berkembang seiring perubahan zaman. Berbagai aspek kehidupan manusia yang meliputi bidang teknologi, sosial, ekonomi, dan budaya terus berubah seiring berjalannya waktu....