Allah Swt menciptakan alam semesta dan telah menentukan fungsi-fungsi dari setiap elemen alam ini. Matahari punya fungsi, bumi punya fungsi, udara punya fungsi, begitulah seterusnya; bintang-bintang, awan, api, air, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya, termasuk manusia pun diciptakan di muka bumi ini, juga memiliki kedudukan dan tugasnya sendiri.
Sebagaimana dijelaskan di dalam banyak ayat, bahwa manusia memiliki dua predikat atau status yaitu sebagai hamba Allah Swt (`abdullah) dan sekaligus sebagai wakil Allah Swt (khalifatullah) di muka bumi. Sebagai hamba Allah, manusia hanya sekadar makhluk sebagaimana makhluk lain ciptaan-Nya.
Oleh karena itu, tugasnya adalah menyembah dan berpasrah diri kepada-Nya. Di sisi lain, sebagai khalifatullah, manusia diberi tugas dan tanggung jawab sangat besar di muka bumi, yaitu memakmurkannya.
Tugas dan Kedudukan Manusia di Muka Bumi Perspektif Surah Al-Baqarah: 30 dan Surah Adz-Dzariyat: 56
Allah berfirman dalam al-Qur`an surah Al-Baqarah ayat 30 sebagai berikut.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ (٣٠)
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah [3]: 30).
Ayat tersebut menyebutkan bahwasannya salah satu tugas manusia di muka bumi ini sebagai khalifah. Merujuk dari Tafsir Ibnu Katsir bahwasannya Allah Swt hendak menjadikan khalifah di bumi, yakni suatu kaum yang akan menggantikan satu kaum lainnya, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi (Tafsir Ibnu Katsir: 99).
Di dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ke-khalifahan di bumi ini tidak hanya menghendaki Nabi Adam saja. Allah Swt lah yang paling mengetahui tentang mengapa kedudukan manusia di muka bumi ini dijadikan sebagai khalifah, sebagaimana yang dinyatakan dalam potongan ayat أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ .
Allah Swt mengetahui dalam penciptaan manusia ini terdapat kemaslahatan yang lebih besar daripada kerusakan yang dikhawatirkan dan tidak diketahui oleh malaikat. Allah menjadikan di antara mereka para nabi dan rasul. Dan di antara mereka juga terdapat para shiddiqun, syuhada`, orang-orang shalih, orang-orang yang taat beribadah, ahli zuhud, para wali, orang-orang yang dekat dengan Allah, para orang khusyu`, dan orang-orang yang cinta kepada-Nya serta orang-orang yang mengikuti rasul-Nya.
Beberapa mufassir mengatakan bahwasanya makna manusia dijadikan sebagai khalifah yaitu orang yang memutuskan perkara secara adil di antara semua makhluk (Pengantar Ulumul Qur’an: 145). Khalifah tersebut adalah Adam dan mereka yang menempati posisinya dalam ketaatan kepada Allah dan pengambil keputusan secara adil di tengah-tengah umat manusia. Manusia tidak akan dapat menanggung beban tugasnya sebagai khalifah jika dalam dirinya tidak terbentuk perasaan tunduk, patuh, pasrah (ibadah) yang total kepada Allah. (Tafsir Ibnu Katsir: 100).
Baca juga: TGB Zainul Majdi: Makna Khalifah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 Tidak Memuat Tendensi Politis
Sedangkan di dalam surah Adz-Dzariyat ayat 56 dijelaskan bahwa mengabdi pada Allah Swt juga adalah tugas manusia.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (٥٦)
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Ibnu Katsir menjelaskan makna dari ayat ini, yaitu “Aku ciptakan mereka itu dengan tujuan untuk menyuruh mereka beribadah kepadaku. Bukan karena aku membutuhkan mereka. Ali bin Abi Thalhah menjelaskan sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas makna dari إِلا لِيَعْبُدُون adalah “melainkan mereka tunduk beribadah kepada-Ku baik secara sukarela ataupun terpaksa (Tafsir Ibnu Katsir: 546).
Bermula dari mufrodat(يَعْبُدُونِ) ini ketemulah istilah ‘abd yang muncul dengan peran sebagai hamba yang hidup hanya untuk menghamba kepada Tuhan. Terlepas dari realita yang ada bahwa manusia hidup membutuhkan aktifitas yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup, di sini ditegaskan semua aktivitas manusia hanya semata untuk menghamba kepada Tuhan. Dengan memerankan itu tadi maka ‘abd (hamba) telah memenuhi nilai yang terkandung di dalam dirinya, yaitu menyembah kepada Sang Pencipta.
Baca juga: Makna Khalifah dan Tugasnya Menurut Para Mufasir
Salah satu tugas manusia di bumi adalah menjadi seorang khalifah. Tugas manusia sebagai seorang khalifah ini sendiri memiliki berbagai versi penafsiran. Tafsir Kemenag yang merupakan salah satu tafsir modern menjelaskan bahwa di dalam surah Al-Baqarah ayat 30 Allah menjelaskan khalifah itu akan terus berganti dari satu generasi ke generasi sampai hari kiamat nanti dalam rangka melestarikan bumi ini dan melaksanakan titah Allah yang berupa amanah atau tugas-tugas keagamaan. (Tafsir Kemenag RI, QS. Al-Baqarah (2) 30)
Penciptaan manusia adalah rencana besar Allah di dunia ini. Allah Maha Tahu bahwa pada diri manusia terdapat hal-hal negatif sebagaimana yang dikhawatirkan oleh malaikat, tetapi aspek positifnya jauh lebih banyak. Dari sini bisa diambil pelajaran bahwa sebuah rencana besar yang mempunyai kemaslahatan yang besar jangan sampai gagal hanya karena kekhawatiran adanya unsur negatif yang lebih kecil pada rencana besar tersebut.
Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh tokoh pimpinan yang dimaksudkan itu, antara lain ialah: adil serta berpengetahuan yang memungkinkannya untuk bertindak sebagai hakim dan mujtahid, tidak mempunyai cacat jasmaniah, serta berpengalaman cukup, dan tidak pilih kasih dalam menjalankan hukum-hukum Allah.
Kemudian di dalam surah Adz-Dzariyat ayat 56 dijelaskan juga kedudukan manusia sebagai hamba Allah. Sebagaimana dijelaskan di dalam tafsir Kemenag RI bahwa ayat ini menegaskan bahwa Allah tidaklah menjadikan jin dan manusia melainkan untuk mengenal-Nya dan supaya menyembah-Nya (Tafsir Kemenag RI: 472).
Pendapat tersebut sama dengan pendapat az-Zajjaj, tetapi ahli tafsir yang lain berpendapat bahwa maksud ayat tersebut ialah bahwa Allah tidak menjadikan jin dan manusia kecuali untuk tunduk kepada-Nya dan untuk merendahkan diri. Maka setiap makhluk, baik jin atau manusia wajib tunduk kepada peraturan Tuhan, merendahkan diri terhadap kehendak-Nya. Menerima apa yang Dia takdirkan, mereka dijadikan atas kehendak-Nya dan diberi rezeki sesuai dengan apa yang telah Dia tentukan.
Baca juga: Menyingkap Relasi Makna Kata Khalifah dan Khilafah dalam Al-Qur’an