BerandaTafsir TematikTafsir Surat Al Baqarah Ayat 222: Tuntunan Al-Quran Memperlakukan Perempuan Haid

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 222: Tuntunan Al-Quran Memperlakukan Perempuan Haid

Sewaktu Alquran diturunkan di abad ke-7 H, perempuan haid dianggap kotor. Alquran membela perempuan dengan ayat-ayatnya. Secara khusus, terdapat dalam Q.S Al Baqarah ayat 222. Artikel ini akan menguraikan tentang tuntunan Al-Quran memperlakukan perempuan haid. Allah SWT berfirman:

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ  قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri. (terjemah Kemenag)

Dalam Tafsir Ayat Al Ahkam, M. Ali As Shabuniy menceritakan latar belakang turunnya ayat ini. diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Nabi ditanya tentang status perempuan yang sedang haid, dan cara memperlakukannya. Karena kebiasaan orang Yahudi ketika keluarga perempuan mereka sedang haid mereka akan menghindari perempuan tersebut. Mereka mejauhinya tidak makan dan minum bersama mereka. Mereka juga tidak mau serumah dengan perempuan haid apalagi tidur dengannya. Di riwayat yang lain, dikatakan bahwa menyentuh perempuan yang sedang haid maka seketika itu dihukumi najis.

Ketika dikonfirmasi terhadap Nabi, berdasar ayat ini Nabi diminta menjawab bahwa haid adalah adza. As Shabuniy mengartikan adza tersebut dengan qadzr (kotoran), karena baunya yang menyengat dan faktor najisnya. Az Zuhaili juga sama, memaknainya dengan qadzr (kotoran), meski penjelasannya tidak sama dengan As Shabuniy. Sementara itu, M. Quraish Shihab menafsirkan adza dengan gangguan.  Disebut gangguan karena keluarnya darah haid mengakibatkan gangguan bagi perempuan baik fisik maupun psikis.

Gangguan fisik misalnya rasa sakit yang melilit perut, karena terjadi kontraksi rahim. Sakit perut ini beda dengan sakit perut biasanya yang disebabkan sakit maag dan masuk angin. Selain sakit perut, perempuan yang sedang haid kebanyakan juga sakit punggung bagian bawah, yang tentu berbeda dengan sakit punggung dalam kondisi di luar haid. Bahkan ada pula yang ketika datang bulan, semua badannya terasa sakit disertai demam, lemas, muntah-muntah dan ada yang sampai pingsan, sehingga ia tidak bisa beraktifitas sperti biasanya. Sedangkan gangguan psikis biasanya terjadi pada emosi yang tidak stabil, faktor hormonal yang berubah menyebabkan emosi tidak tentu. (Baca juga: Tafsir Surat An-Nur ayat 33: Al-Quran Menghapus Praktik Perdagangan Perempuan)

Gangguan seperti di atas sedikit banyak akan mempengaruhi komunikasi perempuan tersebut dengan orang di sekitarnya, terlebih suaminya. Kemudian, bagaimana tuntunan Al-Quran memperlakukan perempuan haid ini?

Jawabannya dapat kita temukan dalam lanjutan ayat tersebut, Fa’tazilun Nisa’a Fil Mahidh (Jauhilah istri yang sedang haid). Perintah jauhi yang seperti apa yang dimaksud oleh ayat ini?

Meski tidak sama dalam memaknai haid, tiga mufassir di atas satu suara mengatakan bahwa yang dimaksud jauhi di sini adalah dengan tidak melaksanakan hubungan seksual, bukan hal yang lainnya. Perempuan yang sedang haid bukan sesuatu yang menjijikkan sehingga harus dihindari ketika makan, minum, tidur atau bahkan sekadar berbicara dengan mereka. Pun bukan najis, sehingga ketika menyentuhnya saja akan dihukumi najis pula seperti pemahaman orang-orang Yahudi.

Hal ini diperjelas oleh hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA. Ketika ia ditanya tentang apa saja yang diperbolehkan bagi suami dari istri yang sedang haid? Aisyah menjawab, semuanya boleh, apapun boleh, kecuali jima’ (berhubungan seksual). Dasar ini juga dipegangi oleh Imam Syafii. 

Haid memang terjadi hanya pada perempuan, sakit atau gangguan yang dialami akibat haid pun dirasakan dan dialami oleh perempuan. Tapi bukan berarti laki-laki tidak dapat memahami dan mengerti masalah ini. Sebagai sesama manusia, masalah ini juga harus menjadi perhatian laki-laki sebagaimana khitab awal dari ayat yang sedang kita bahas ini, yaitu tuntunan Alquran kepada para suami ketika istri mereka haid.

Mengganggap perempuan haid sebagai najis, kotoran yang menjijikkan dan sesuatu yang harus dijauhi tentu akan menambah gangguan psikis seorang perempuan haid. Ketika perempuan haid sudah menanggung semua gangguan dan sakit pada fisik dan psikisnya, laki-laki dapat memahaminya, setidaknya dengan tidak menambah sakitnya.

Wallahu A’lam.

Limmatus Sauda
Limmatus Sauda
Santri Amanatul Ummah, Mojokerto; alumni pesantren Raudlatul Ulum ar-Rahmaniyah, Sreseh Sampang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU