Dalam sejarah para nabi, kisah Nabi Ibrahim as. menonjol karena intensitas ujian-ujian yang beliau hadapi, terutama yang berkaitan dengan keluarga. Ujian Nabi Ibrahim menggambarkan dengan jelas tentang seorang hamba Allah yang tulus harus bisa menyeimbangkan ketaatan mutlak kepada Sang Pencipta dan kasih sayang terhadap keluarga yang dicintainya.
Di era modern, ketika banyak orang mengalami dilema antara melaksanakan kewajiban agama dan tanggung jawab terhadap keluarga, kisah Nabi Ibrahim as. bisa menjadi panduan yang sangat relevan. Beliau membuktikan bahwa seseorang dapat menjadi hamba Allah yang taat sekaligus anggota keluarga yang penuh kasih sayang dan bertanggung jawab.
Baca Juga: Kisah Rencana Penyembelihan Nabi Ismail dan Asal-Usul Ibadah Kurban
Ujian Penyembelihan
Ujian Nabi Ibrahim paling dramatis dalam kehidupan Nabi Ibrahim as. adalah perintah Allah untuk menyembelih putranya. Allah swt. mengabadikan peristiwa ini dalam Alquran, surah as-Shaffat ayat 102.
al-Maraghi (23/73) selain menyiratkan tentang kegelisahan dan kegundahan Nabi Ibrahim tentang mimpi tersebut, al-Maraghi juga menafsiri ayat tersebut dengan menjelaskan respons dari Nabi Ismail ketika diberitahu oleh sang ayah mengenai mimpinya. Nabi Ismail menjawab dengan ketaatan dan kepatuhan total dengan berkata, “Wahai ayahku, engkau telah memanggil orang yang mendengar, dan meminta kepada orang yang menjawab, dan menuju kepada orang yang rela dengan ujian Allah dan takdir-Nya. Laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, dan bagiku hanyalah tunduk dan menjalankan perintah, dan Allah-lah yang memberi pahala dan Dia adalah sebaik-baik penolong.”
Nabi Ismail menguatkan ketaatannya dengan perkataan: “Insya Allah, kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Al-Maraghi menyebutkan bahwa Nabi Ismail benar-benar menepati janjinya, bersabar menghadapi takdir tersebut tanpa mengeluh atau resah dengan apa yang telah ditakdirkan. Oleh karena itu, Allah memujinya dalam Al-Quran sebagai “orang yang benar janjinya” (QS. Maryam [9]: 54).
Sikap Nabi Ibrahim dan Ismail dalam menghadapi ujian ini menunjukkan puncak ketaatan kepada Allah. Mereka meletakkan perintah Allah di atas segala-galanya, termasuk di atas ikatan kasih sayang antara ayah dan anak yang sangat kuat.
Baca Juga: Kisah Nabi Ismail, Siti Hajar dan Asal Usul Air Zamzam
Ujian Kepercayaan
Ujian Nabi Ibrahim yang tidak kalah beratnya adalah ketika Allah memerintahkannya untuk meninggalkan Hajar dan Ismail yang masih bayi di lembah Makkah yang kala itu gersang dan tidak berpenghuni.
Peristiwa ini diisyaratkan dalam doa Nabi Ibrahim yang diabadikan dalam Alquran, surah Ibrahim ayat 37.
Ibnu Katsir (4/441) menjelaskan bahwa doa ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim memohon kepada Allah setelah menempatkan Hajar dan putranya Ismail di lembah Makkah yang tandus. Ibnu Katsir menerangkan bahwa ini adalah doa kedua Nabi Ibrahim, setelah doa pertama yang beliau mohonkan ketika pertama kali meninggalkan Hajar dan Ismail. Doa pertama dilakukan sebelum Kabah dibangun, sedangkan doa kedua ini dilakukan setelah Kabah berdiri, sehingga beliau menyebutkan “di dekat rumah Engkau yang dihormati.”
Ibnu Katsir juga menukil pendapat Ibnu Jarir yang mengatakan bahwa frasa “agar mereka mendirikan salat” berkaitan dengan “rumah Engkau yang dihormati,” artinya Allah menjadikan Kabah sebagai tempat yang dihormati agar penduduknya dapat melaksanakan salat di sana. Ini menunjukkan tujuan spiritual yang tinggi di balik perintah Allah yang secara lahiriah tampak sangat berat.
Doa Nabi Ibrahim ini menunjukkan kepercayaannya yang mutlak kepada Allah. Meskipun secara logika manusia, meninggalkan istri dan anak bayi di lembah tandus tampak sebagai tindakan yang kejam, Nabi Ibrahim memahami bahwa perintah Allah selalu mengandung hikmah dan kebaikan. Beliau percaya sepenuhnya bahwa Allah akan menjaga keluarganya.
Kepercayaan ini terbukti benar ketika Allah memunculkan mata air Zamzam untuk Hajar dan Ismail, yang kemudian menjadi sumber kehidupan di lembah tersebut dan menarik kabilah-kabilah Arab untuk menetap di sekitarnya. Lembah tandus itu akhirnya berkembang menjadi kota Makkah yang makmur dan menjadi pusat ibadah haji hingga saat ini.
Baca Juga: Momentum Hari Arafah: Nabi Ibrahim a.s. dan Pengorbanan Cinta
Bentuk Kasih Sayang Seorang Ayah
Meskipun harus meninggalkan keluarganya demi ketaatan kepada Allah, Nabi Ibrahim tidak pernah melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Beliau terus mendoakan keselamatan dan kesejahteraan keluarganya, sebagaimana diabadikan dalam Alquran, surah al-Baqarah ayat 128,
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَآ اُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَۖ وَاَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۚ اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 128).
ar-Razi dalam tafsirnya (4/52) memberikan perspektif teologis yang mendalam terkait doa ini. Beliau menjelaskan bahwa doa Nabi Ibrahim menunjukkan bahwa pahala yang diberikan Allah atas perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas adalah murni anugerah dan karunia dari-Nya, bukan kewajiban yang harus dipenuhi-Nya.
ar-Razi mengajukan argumen menarik, yaitu jika pemberian pahala adalah kewajiban bagi Allah, maka doa dan permohonan Nabi Ibrahim ini tidak akan ada gunanya, mirip seperti seseorang yang berdoa “Ya Allah, jadikanlah api panas dan es dingin.” Doa semacam itu tidak bermakna karena api yang panas dan es yang dingin adalah keniscayaan alami. Namun, ketika Nabi Ibrahim tetap berdoa memohon taufik dan petunjuk, ini menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban bagi Allah untuk memberikan apa pun kepada hamba-Nya; semua pemberian-Nya adalah murni karunia dan rahmat.
Doa ini mencerminkan perhatian Nabi Ibrahim yang mendalam terhadap kehidupan spiritual keluarganya. Beliau tidak hanya mendoakan keselamatan fisik, tetapi juga keselamatan agama dan ketundukan kepada Allah. Hal ini mencerminkan pemahaman Nabi Ibrahim bahwa bentuk kasih sayang tertinggi seorang ayah kepada anaknya adalah mendoakan dan mengupayakan agar anaknya menjadi hamba Allah yang taat.
Penutup
Kisah Nabi Ibrahim as. khususnya di bagian ujian Nabi Ibrahim mengajarkan bahwa keseimbangan antara ketaatan kepada Allah dan kasih sayang terhadap keluarga bukan tentang memilih salah satu, melainkan tentang menjalankan keduanya dengan cara yang harmonis. Ketaatan sejati kepada Allah mencakup juga pemenuhan tanggung jawab terhadap keluarga dengan penuh kasih sayang.
Nabi Ibrahim membuktikan bahwa ketika dihadapkan pada pilihan sulit antara perintah Allah dan kecintaan terhadap keluarga, prioritas utama seorang mukmin sejati adalah ketaatan kepada Allah. Namun, ketaatan ini tidak menafikan kasih sayang dan tanggung jawab terhadap keluarga. Bahkan, ketaatan kepada Allah justru menjadi bentuk tertinggi dari kasih sayang terhadap keluarga, karena membimbing mereka menuju keselamatan dunia dan akhirat.
Alhasil, ketaatan Nabi Ibrahim tidak didasarkan pada ketakutan atau paksaan, melainkan pada kerelaan dan cinta yang mendalam kepada Allah. Begitu pula, kasih sayangnya kepada keluarga tidak didasarkan pada kelekatan emosional semata, melainkan pada kesadaran bahwa kebaikan tertinggi bagi keluarga adalah menuntun mereka kepada ketaatan kepada Allah. Wallahu a’lam.