BerandaUlumul QuranUlumul Quran: Mengenal Konsep Manthuq dan Mafhum

Ulumul Quran: Mengenal Konsep Manthuq dan Mafhum

Artikel ini akan membahas dengan ringkas dua kaidah kebahasaan untuk memahami Al-Quran, yaitu apa yang diistilahkan oleh para ulama dengan manthuq dan mafhum. Apa itu? Apa saja macam-macamnya? Simak ulasannya berikut.

Urgensi Bahasa Arab untuk Menafsirkan Al-Quran

Allah menurunkan Al-Quran kepada nabi Muhammad dan sekalian umat manusia dalam bahasa Arab, maka untuk memahami isi kandungannya seorang pengkaji Al-Quran perlu kiranya menguasai bahasa Arab. Dalam hal ini Imam Malik pernah mengatakan,

لا أوتى برجل غير عالم بلغة العرب يفسر القرآن إلا جعلته نكالا

Tidaklah diberikan kepada seseorang yang tidak menguasai bahasa Arab, kemudian ia menafsirkan Al-Quran, melainkan pasti aku akan menghukumnya”.

Bahasa adalah rumah ilmu, jika kita tidak menguasai bahasa Al-Quran bagaimana mungkin akan bisa menafsirkannya?

Definisi Manthuq dan Mafhum

Al-Suyuthi dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an mendefinisikan manthuq sebagai berikut,

المنطوق: ما دل عليه اللفظ في محل النطق

manthuq adalah apa (makna) yang ditunjukkan oleh lafaz, sesuai dengan ucapannyat’. Yakni sesuai dengan kandungan makna lafal tersebut.

Kebalikannya adalah mafhum yakni apa (makna) yang ditunjukkan oleh lafal, namun tidak secara langsung melalui kata-kata tersebut dengan kata lain makna yang tersirat.

المفهوم: ما دل عليه اللفظ لا في محل النطق

Makna yang ditunjukkan oleh lafaz, namun tidak langsung sama dengan arti kandungan lafaz tersebut’.

Kalau disederhanakan, manthuq adalah makna tersurat yang bisa dipahami dari ayat-ayat dalam Al-Quran, sedangkan mafhum adalah sebaliknya yakni makna tersirat dari ayat-ayat Al-Quran.

Macam-Macam Manthuq

Dalam kitab yang sama, al-Suyuthi mengklasifikasikan ada tiga jenis manthuq berdasarkan tingkat kepastian maknanya,

Pertama, beliau menyebutnya al-nash. Yakni manthuq yang menunjukkan satu makna tertentu secara pasti, tanpa ada kemungkinan sama sekali untuk mena’wilkannya. Misalnya dalam firman Allah Qs. Al-Bqarah [2]: 196,

…فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ …

“…Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna…”.

Baca Juga: Jalaluddin As-Suyuthi: Pemuka Tafsir yang Multitalenta dan Sangat Produktif

Penyifatan kata kamilah (sempurna) kepada kata ‘asyrah (sepuluh) itu menegaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah agar seseorang melakukan puasa selama sepuluh hari, bukan sepuluh yang lain secara majaz. Jadi ayat ini tidak membuka kemungkinan untuk adanya makna lain selain kewajiban untuk berpuasa sepuluh hari bagi yang bersangkutan.

Kedua, disebut al-Zhahir. Yaitu manthuq yang membuka kemungkinan untuk adanya ambiguitas makna, namun diantaranya ada makna yang lebih unggul daripada makna-makna yang lain. Misalnya pada kata al-baghi pada Qs. Al-Baqarah [2]: 173,

…فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ…

…Namun barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas…

Kata al-baghy sendiri secara bahasa memiliki beberapa makna seperti menginginkan, zalim, jahil dan aniaya. Namun pada konteks ayat ini makna menginginkan dan zalim lebih kuat daripada makna-maknanya yang lain.

Ketiga, dinamakan ta’wil. Yakni ketika suatu lafal memiliki beberapa makna, ada yang kuat dan ada yang lemah, namun yang dipilih adalah makna yang marjuh (lemah) karena didukung oleh dalil dan alasan tertentu. Misalnya kata janah pada Qs. Al-Isra’ [17]: 24 berikut,

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ…

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan…”.

Kata janah disini mustahil dimaknai sesuai makna literalnya, karena pada kenyataannya tidak ada manusia yang bersayap, sehingga harus dita’wil. Secara bahasa kata janah berarti sayap, dimana pada ayat ini kata sayap merupakan ungkapan metaforis untuk menunjukkan keindahan bahasa Al-Quran dan menegaskan bahwa setinggi apapun posisi seseorang, ia tetap harus rendah diri dihadapan kedua orang tuanya.

Macam-Macam Mafhum

al-Qattan dalam Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an (244-246), sebagaimana al-Suyuthi mengklasifikasikan mafhum menjadi dua jenis, yaitu.

Pertama, Mafhum muwafaqah. Yaitu makna tersirat yang hukumnya sama atau sesuai dengan manthuq-nya. Jenis ini terbagi lagi menjadi dua macam,

  1. fahwa al-khitab, yakni ketika makna yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnya daripada manthuq. Misalnya pada Qs. Al-Isra [17]: 23,

…فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ…

“…maka janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’…”

Dilalah manthuq pada ayat diatas adalah sekedar larangan untuk berkata ah atau yang semisalnya kepada kedua orang tua, karena bisa menyakiti hati keduanya. Maka dari itu mafhum-nya semua hal yang bisa menyakiti hati kedua orang tua seperti mencaci maki, memukul dan lain sebagainya tentu lebih terlarang daripada sekedar gerutuanah’.

  1. lahn al-khitab, yaitu apabila hukum mafhum sama dengan hukum manthuq-nya. Seperti terdapat pada Qs. Al-Nisa [4]: 10,

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا…

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim…”.

Dari ayat diatas dapat dipahami mafhum-nya bahwa membakar harta anak yatim, menyia-nyiakan atau menghilangkannya dengan cara apapun hukumnya sama haramnya dengan memakan harta anak yatim secara zalim.

Kedua, Mafhum mukhalafah. Yakni jika mafhum atau makna tersirat itu berkebalikan dengan manthuq. Mafhum jenis ini terbagi menjadi empat macam, sebagai berikut.

  1. Mafhum Sifat, misalnya pada firman Allah Qs. Al-Hujurat [49]: 6,

…إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا…

…jika datang kepada kalian orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti…”.

Manthuq-nya adalah perintah untuk melakukan tabayyun pada tiap berita yang dibawa oleh orang fasiq. Lalu mafhum mukhalafah-nya, jika si pembawa berita bukan seorang yang punya sifat fasiq, maka tak wajib tabayyun. Ini oleh sebagian muhaddith dijadikan dalil bolehnya menerima khabar ahad dari perawi yang adil.

  1. Mafhum Syarth, seperti pada Qs. Al-Thalaq [65]: 6 berikut,

…وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ…

…Dan jika mereka (istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan…”.

Baca Juga: Ulumul Quran: Asal Usul dan Sinonimitas Kata Alquran

Mafhum mukhalafah-nya, jika istri yang ditalak tersebut tidak hamil, maka tidak wajib memberikannya nafkah terebut -karena syaratnya adalah jika ditalak dalam keadaan hamil-.

  1. Mafhum Ghayah, contohnya pada Qs. Al-Baqarah [2]: 230,

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ…

kemudian jika sang suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain…”.

Mafhum mukhalafah-nya, jika si perempuan telah menikah dengan laki-laki lain, kemudian bercerai lagi, maka perempuan itu halal lagi untuk suaminya yang pertama.

  1. Mafhum Hashr, misalnya terdapat pada Qs. Taha [20]: 98,

إِنَّمَا إِلَٰهُكُمُ اللَّهُ…

Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah…”. Pemahaman terbaliknya, segala sesuatu selain Allah bukanlah tuhan yang berhak disembah.

Demikianlah penjelasan tentang Manthuq dan Mafhum sebagaimana diterangkan para ulama ahli Bahasa dan Ulumul Quran. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Achmad Syariful Afif
Achmad Syariful Afif
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, peminat kajian Ilmu Al-Quran dan Tafsir
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU