Perkembangan kajian tafsir dan mufasir Indonesia abad modern telah banyak dilakukan oleh para sarjana. Salah satu studi representatif dilakukan oleh Howard M Federspiel dengan meneliti 58 buku terkait studi al-Quran di Indonesia dalam rentang publikasi antara tahun 1950-1980.
Menurut Federspiel, telah terjadi perubahan penting di periode ini, yakni adanya sistematisasi kajian tafsir yang meliputi karya tafsir lengkap 30 juz seperti Tafsir al-Quran al-Karim karya Mahmud Yunus (1899-1973), dan juga buku-buku tentang metode tafsir al-Quran yang diwakili Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir karya T.M Hasbi Ash-Shiddieqy (1904-1975).
Penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya yang dilakukan oleh sarjana lokal fokus pada pemikiran tokoh mufasir Indonesia tertentu. Milhan Yusuf, misalnya, mengkaji pemikiran Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) (1908-1981) tentang penafsiran ayat-ayat hukum yang tertuang dalam Tafsir Al-Azhar. Milhan menyoroti tiga tema pokok dalam Tafsir Al-Azhar, yaitu poligami, nikah beda agama, dan riba. Hasil penelitian Milhan menyimpulkan bahwa pemikiran tafsir HAMKA mengenai tiga tema tadi, tidak berbeda dengan penafsiran para mufasir klasik yang menekankan aspek kebahasaan tanpa mengindahkan konteks sosio-historis, sehingga hasilnya tidak berbeda dengan makna literal ayat.
Baca Juga: Mengenal Sachiko Murata dan Pendekatannya dalam Membaca Ayat Relasi Gender
Pemikiran Mahmud Yunus, sebagai mufasir Indonesia abad modern, dapat ditemukan dalam artikel jurnal Ilmu Ushuluddin dengan judul “Mahmud Yunus: Pelopor Pola Baru Penulisan Tafsir al-Quran Indonesia.” M. Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy, penulis artikel, menilai bahwa aspek kebaruan Tafsir Quran Karim karya Mahmud Yunus terletak pada tiga aspek; pemakaian huruf latin yang menggantikan huruf Arab dan aksara pegon, gaya penulisan model karya tafsir yang ringkas, dan memunculkan elemen modernitas hingga corak tefsirnya bercorak ilmiah.
Selain Mahmud Yunus dan HAMKA, sepanjang penelusuran penulis, ada beberapa tokoh mufasir Indonesia modern yang telah diteliti oleh para pengkaji. Pertama, A. Hassan (1887-1958). A. Hassan merupakan tokoh yang sangat berpengaruh bagi perkembangan organisasi Persatuan Islam (Persis). Beliau menghasilkan karya tafsir yang diberi judul Al-Furqon Tafsri Quran. Bagi para anggota Persis, Al-Furqon Tafsir Quran adalah rujukan utama. Metode dan corak yang ditampilkan oleh A. Hassan adalah penerjemahan, uraian singkat, dan senapas dengan reformasi Islam yang dilakukan oleh Persis yang menjauhkan diri dari unsur sinkretisme Islam dan kultur feodal. Selengkapnya dapat dilihat artikel yang ditulis Nur Hizbullah berjudul “Ahmad Hassan: Kontribusi Ulama dan Pejuang Pemikiran Islam di Nusantara” dalam Turats Mimbar Sejarah, Sastra, dan Agama.
Kedua, Hasbi Ash-Shiddiqy (1904-1975). Selama hidupnya, Hasbi menuliskan dua karya tafsir; pertama Tafsir Al-Nur yang terbit pada tahun 1960 dan kedua Tafsir al-Bayan 1966. Karya yang kedua memiliki kedudukan sebagai penyempurna dari karya tafsir pertama. Hasbi menempuh beberapa langkah metode penafsiran: menerjemahkan makna lafal dan kalimat, memaparkan alternatif makna, dan menerangkan pendapat para mufasir terkait dengan makna ayat. Hal ini sebagaimana disampaikan Surahman Amin dan Ferry Muhammadiyah Siregar melalui artikelnya berjudul “Telaah Atas Karya Tafsir di Indonesia: Studi atas Tafsir al-Bayan Karya TM. Hasbi Ash-Shiddiqy” dalam jurnal Afkaruna.
Ketiga, Bisri Musthofa (1915-1977). Berbeda dengan mufasir periode modern lainnya, Bisri Musthofa yang lahir dari rahim Pesantren menyusun karyanya dengan bahasa jawa ngoko dan menggunakan tulisan aksara pegon. Meski demikian, istilah bahasa Indonesia seperti kata nenek moyang, pembesar, terpukul, berangkat dan juga mempelajari, diikutsertakan dalam penjelasan beliau. Pilihannya terhadap media bahasa jawa ngoko, mengisyaratkan bahwa Bisri Musthofa mengedepankan ekspresi totalitas atas tanggung jawab terhadap lingkungan sosial masyarakatnya. Hal ini sebagaimana diungkapkan Maslukhin dalam artikelnya berjudul “Kosmologi Budaya Jawa dalam Tafsir al-Ibriz Karya Bisri Musthofa” yang terbit di jurnal Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis.
Baca Juga: Kritik Angelika Neuwirth atas Pendekatan Revisionisme Wansbrough dalam Studi Al-Quran
Keempat, Quraish Shihab (l.1944). Nama ini merupakan tokoh yang paling banyak menghiasi hasil studi para mahasiswa tafsir di berbagai jenjang pendidikan tinggi. Munirul Ikhwan menulis pemikiran Quraish Shihab dengan fokus pada refleksinya terhadap agama di era modern, konteks Indonesia yang plural, dan upayanya membumikan al-Quran dengan segala kegiatannya termasuk dakwahnya di televisi dan dengan mendirikan Pusat Studi Quran (PSQ). Munirul Ikhwan memandang bahwa konsep Quraish Shihab tentang membumikan al-Quran adalah memosisikan al-Quran sebagai sumber inspirasi dan petunjuk yang paling utama untuk menjawab segala bentuk tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Muslim. Quraish Shihab, menurut Ikhwan, menggunakan analogi dan mengedepankan maslahat serta mengupayakan pengkaderan untuk meneruskan pemahaman al-Quran yang membumi dengan mendirikan PSQ.
Demikian beberapa mufasir Indonesia modern yang diulas pada tulisan ini. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.