Adanya ketimpangan, deviasi dan disonansi antara pengajaran konten pendidikan Islam dengan ajaran Islam itu sendiri lebih banyak disebabkan “absennya” rasionalitas sebagai pilar atau pembentuk manusia itu sendiri. Selama ini, pengajaran pendidikan Islam lebih banyak didominasi penggunaan “keimanan” (belief) sentris daripada “rasionalitas”. Memang betul, sebagian konten agama perlu diajarkan berbasis keimanan, akan tetapi harusnya hal tersebut tetap dikemas dalam kerangka rasio sehingga peserta didik benar-benar mendayagunakan kemampuan berpikir kritisnya (critical thinking) dalam mencerna dan memahami materi.
Berpijak dari itu, artikel ini berusaha mendiskusikan tentang pentingnya rasionalitas dalam pendidikan Islam dengan merujuk pada penafsiran Surat Al-Hasyr ayat 21.
Tafsir Surat al-Hasyr Ayat 21
لَوْ اَنْزَلْنَا هٰذَا الْقُرْاٰنَ عَلٰى جَبَلٍ لَّرَاَيْتَهٗ خَاشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ اللّٰهِ ۗوَتِلْكَ الْاَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Seandainya Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah karena takut kepada Allah. Perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir. (Q.S. al-Hasyr [59]: 21).
Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan menafsirkan ayat di atas dengan menukil qaul Ibn Abbas sebagai berikut,
عن ابن عباس قوله: { لَوْ أنْزَلْنا هَذَا القُرآنَ عَلَى جَبَلٍ لرأيْتَهُ خاشِعاً مُتَصَدّعاً مِن خَشْيَةِ اللَّهِ }… إلى قوله: { لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ } قال: يقول: لو أني أنزلت هذا القرآن على جبل حملته إياه تصدع وخشع من ثقله ومن خشية الله، فأمر الله عز وجل الناس إذا نزل عليهم القرآن، أن يأخذوه بالخشية الشديدة والتخشع. وقوله: { لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ } يقول: يضرب الله لهم هذه الأمثال ليتفكروا فيها، فينيبوا، وينقادوا للحق
“Andaikan Aku (Allah) menurunkan Al-Quran ini kepada gunung untuk memikulnya niscaya meledaklah, pecahlah ia karena begitu beratnya rasa khasyah (takut, tunduk) kepada-Ku, maka Aku memerintahkan kepada manusia agar mengambil Al-Quran ini dengan penuh ketundukan, penuh kesungguhan, dan penuh kekhusyukan kepadaKu. Dan makna la’allahum yatafakkaruna ialah sebuah perumpamaan (amtsal) agar manusia berpikir dan senantiasa menuju kebenaran”.
Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Epistemologi ‘Irfani dalam Pendidikan Islam
Senada dengan al-Tabari, Ibn Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Adzim menuturkan bahwa Allah swt berfirman dengan menyebutkan keagungan Al-Quran seraya menjelaskan kedudukan agung Al-Quran bahwa sudah selayaknya hati manusia menjadi lunak dan khusyu’ serta tawadhu ketika mendengarnya sehingga terus mengingat dan mengkaji apa yang berada di dalam Al-Quran.
Lanjut Ibn Katsir, jikalau gunung saja yang begitu keras, kokoh, dan perkasa dapat memahami Al-Quran dan merenungkan makna yang terkandung di dalamnya, niscaya ia tunduk dan terpecah atau meledak karena saking patuhnya kepada Allah swt. Lantas, bagaimanakah dengan manusia? Sungguh mengapa hatimu tidak lunak, patuh dan tunduk penuh ketawadhu’an dan bergetar ketika menerima Al-Quran, padahal kamu telah diberi segenap potensi dan akal untuk memahami firman Allah di dalam-Nya.
Lebih jauh, Al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib memaknai ayat di atas dengan seandainya gunung-gunung tersebut dianugerahi akal sebagaimana kalian (manusia), lalu Allah turunkan Al-Quran kepadanya tentu mereka lebih tunduk (takut), patuh (dengan rendah diri), dan penuh kesungguhan amanah dalam menerima Al-Quran (lau ja’ala fil jabali ‘aqlun kama ja’ala fikum, tsumma anzala alaihil qur’ana likhusyu’in, wa khudhu’in, wa tasyaqquqin min khasyatillah). Sedangkan redaksi la’allahum yatafakkaruna bermakna perumpamaan demikian ini Kami buat agar manusia berpikir di tengah kerasnya hati mereka (qasawah al-qalb), tertutupnya hati mereka, dan tebalnya hati mereka (ghaldzu thiba’ahum).
Tidak jauh berbeda dengan al-Razi, al-Mawardi dalam al-Nukat wal ‘Uyun merinci makna ayat di atas dengan dua hal. Pertama,
أحدهما: أن يكون خطاباً لرسول الله صلى الله عليه وسلم إننا لو أنزلنا هذا القرآن على جبل لما ثبت له بل انصدع من نزوله عليه، وقد أنزلناه عليك وثبتناك له، فيكون ذلك امتناناً عليه أن ثبته لما لا تثبت له الجبال
“Hal itu merupakan pesan (message) kepada Rasul saw bahwa sesungguhnya andaikan Al-Quran ini Kami turunkan kepada gunung niscaya tidak berbekaslah ia alias terpecah belah meledak dan seterusnya. Karena itu, Kami tetapkan dan Kami turunkan kepadamu sebagai anugerah atasnya dan berbekas kepadanya dan tidak seperti gunung-gunung”.
Artinya, Jikalau Allah menetapkan untuk menurunkan Al-Quran kepada gunung yang begitu kokoh nan keras, niscaya akan meledak karena tidak mampu menyokong keagungan Al-Quran. Untuk itulah, Allah swt menurunkannya kepada manusia sebagai bentuk pemberian anugerah dariNya agar terus merenungi dan dapat mentadabburi sehingga dapat mengambil makna dan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Kedua, kata Al-Mawardi, khitab (objek pembicaraan) ayat tersebut bermakna kepada umat secara umum (annahu khitabun lil ummah). Menurutnya, manusia dapat menerima Al-Quran dengan baik dikarenakan secara fisik lebih tidak memberatkan (aqallu quwwatan) dan lebih membekas jikalau diamanahi sesuatu (aktsaru tsabatan) itulah yang menjadi alasan Kami untuk menurunkan Al-Quran kepadanya. Mengamini penafsiran al-Mawardi, Ibn Atiyyah dalam al-Muharrar al-Wajiz menyatakan bahwa sesungguhnya Allah ta’ala membuat perumpamaan seperti itu agar manusia dapat merenungi dan mentadabburi dengan penuh ketawadhu’an dan ketaatan kepada-Nya.
Pentingnya Penggunaan Rasio dalam Mencerna Materi Pendidikan Islam
Berdasarkan penafsiran mufassir di atas, menunjukkan bahwa sesungguhnya Allah swt tengah “menyindir” manusia untuk menggunakan akalnya dalam memahami Al-Quran. Tak pelak, memang selama ini, sebagian institusi pendidikan Islam masih “mendikotomikan” (memisahkan) antara akal dan wahyu, antara berpikir dan berdzikir, yang pada gilirannya menimbulkan kepelikan tersendiri, salah satunya ketidakseimbangan pola pikir. Ketidakseimbangan itu antara lain disebabkan karena dominasi pengajaran berbasis doktriner atau lebih berorientasi pada konsep ‘abdullah (manusia sebagai hamba Allah), ketimbang sebagai khalifatullah (manusia sebagai khalifah Allah).
Dalam pada itu, peserta didik tak ubahnya diperlakukan bak wadah kosong yang harus dijejali setumpuk materi sehingga keterampilan berpikir kritis (critical thinking) dalam Kurikulum 2013 sedikit banyak mengalami kendala yang berarti. Jika dirunut secara historis, dalam historiografi modern, rasionalisme sendiri berarti pengetahuan ilmiah yang didasarkan pada rasio sebagai pembenaran mendasar dari pengetahuan atau keyakinan. Ide ini pada dasarnya mirip dengan cita-cita tertinggi ketika masa Pencerahan Eropa (the European Enlightenment) (17-19 SM), yang berusaha untuk menggantikan agama dengan rasionalitas manusia.
Namun, rasio yang dimaksud dalam artikel ini tidak merujuk pada masa Pencerahan Eropa yang liberal-sekuler, melainkan adalah menitikberatkan pada penggunaan rasio dalam mengamat, memproses, mencerna dan menelan teks-teks keagamaan sebagaimana yang diadvokasikan Allah swt di dalam firman di atas. Periode awal rasionalisme dalam pemikiran Islam sendiri dipimpin oleh aliran pemikiran Islam yang dikenal sebagai Mutazilah (rasionalis), pada paruh kedua abad pertama Islam (Abad ke-7 M).
Gambaran pergeseran epistemologis ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam (epistemological shifts in knowledge and education in Islam) sendiri telah dilukiskan Amra Sabic El-Rayess. Menurutnya, setidaknya ada tiga pergeseran; pertama, merasionalkan pengetahuan ilmiah melalui keyakinan agama pada awal Islam (rationalizing scientific knowledge through religious belief in early Islam); kedua, mengutamakan ilmu agama dan “menceraikan” rasionalitas dalam Islam (privileging religious knowledge and divorcing rationality in Islam); ketiga, keyakinan dan rasionalitas yang retak dalam Islam kontemporer (fractured belief and rationality in contemporary Islam), yang selengkapnya dapat dibaca dalam artikelnya di sini.
Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Pentingnya Perencanaan Bagi Guru Sebelum Mengajar
Dalam konteks pendidikan Islam, mengikuti El-Rayess, bahwa selama ini perkembangan pendidikan Islam telah menunjukkan hubungan baru (a novel connection) antara stagnasi praktik pengetahuan dalam Islam dan kebangkitan radikalisasi saat ini. Menurut Amra, para ekstremis membelokkan narasi Islam dengan mengedepankan versi ideal kekhalifahan Islam (Islamic caliphate) yang terpisah dari rasionalitas. Dunia Muslim sekarang harus mempertimbangkan untuk memulihkan hubungan asli Islam antara keyakinan dan rasionalitas.
Oleh karena itu, penting bagi seorang pendidik atau siapapun yang menggeluti dunia pendidikan Islam, untuk kiranya menyajikan materi pembelajaran berikut cara penyampaiannya dengan cara melibatkan akal peserta didik (student centered learning) sehingga mereka tidak hanya paham dan mampu menghafal saja, tetapi mampu memahami dan mengonsepsi materi yang mereka terima sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang utuh. Dengan begitu, sejatinya kita telah mengamalkan perintah Allah swt untuk menggunakan rasionalitas dalam memahami realitas yang ada. Wallahu A’lam.