Dalam penetapan awal Ramadan, tak jarang terjadi selisih pendapat, seperti pada Ramadan tahun ini. Sebagai contoh, dua ormas besar Islam Indonesia, NU dan Muhammadiyah, yang mengeluarkan keputusan berbeda soal awal Ramadan. NU menetapkan awal Bulan Ramadan jatuh pada Ahad, 3 April, sementara Muhammadiyah menetapkan awal Ramadan bertepatan dengan 4 April.
Baca juga: Keistemewaan Bulan Ramadan: Bulan Diturunkannya Kitab Suci
Pendapat-pendapat ini tentu memiliki landasan hukum masing-masing. Tetapi, seperti dalam perbedaan pendapat Bulan Ramadan pada tahun-tahun lalu, terdapat sejumlah pihak yang sangsi soal khilaf tersebut, bahkan kerap memantik pertikaian. Karena itulah, edukasi mengenai variasi cara menetapkan awal Bulan Ramadan penting dilakukan.
Mengamati Posisi Hilal (Rukyat al-Hilal)
Cara penetapan awal Bulan Ramadan yang pertama ini dilakukan dengan mengamati posisi Hilal (rukyat al-hilal). Rukyat al-hilal dilakukan menggunakan alat bantu berupa alat optik dan hitung seperti teleskop dan rubu’. Cara ini merupakan cara utama dalam menetapkan awal Bulan Ramadan dan bulan Hijriyah lainnya. Pasalnya, Bulan menjadi dasar penghitungan Kalender Hijriyah. Dengan mengamati Hilal, waktu ibadah berbatas waktu pun dapat diketahui. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Albaqarah [2] 189:
يَسـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.”
Ayat tersebut menunjukkan bahwa Bulan merupakan dasar penentuan waktu untuk peribadatan umat Islam. Mengutip pembacaan al-Thabari terhadap ayat tersebut, pergerakan Bulan menjadi pijakan penetapan waktu dalam syariat Islam, seperti jatuh tempo utang, sewa-menyewa, puasa, haji, dan lain sebagainya. (Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayy al-Qur’an, Jilid, 1, 514-515)
Baca juga: Tahapan Turun Ayat-Ayat Puasa dalam Alquran
Tidak ada perdebatan soal rukyat al-hilal sebagai cara utama dalam penentuan awal Bulan Ramadan. Fuqaha 4 mazhab juga sepakat. Mereka bertendensi pada hadis dalam Sahih Bukhari dan Muslim:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيتن فإن غمي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين يوما
“Berpuasalah dan berbukalah kalian karena telah melihat hilal. Jika hilal tertutup, maka sempurnakanlah hitungan Bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Qism al-‘Ibadah, 432)
Menyempurnakan Bulan Syakban
Jika cara pertama tidak memungkinkan karena kondisi cuaca esktrem, penetapan awal Bulan Ramadan dilakukan dengan menyempurnakan hitungan Bulan Syakban menjadi 30 hari. Cara ini juga disepakati oleh Jumhur Fuqaha. Mereka bertendensi pada hadis muttafaqun ‘alaih di atas.
Pendapat kedua inilah yang dipakai kelompok yang berpuasa tanggal 3 April. Bagi kelompok ini, penentuan awal Bulan Hijriyah harus dilakukan dengan cara yang pasti dan hasil yang pasti pula, lebih-lebih jika Bulan tersebut berkaitan dengan waktu pelaksanaan ritual keagamaan seperti puasa. Karena itulah, kelompok ini tidak menjadikan hisab sebagai alternatif cara menetapkan awal Ramadan.
Mayoritas Fuqaha 4 Mazhab juga berpendapat demikian. Bahkan mereka menandaskan, para astronom yang menghitung titik koordinat posisi Hilal pun tidak wajib berpuasa sebab hitungan yang mereka buat sendiri. (Fiqih ‘ala Mazahib al-Arba’ah, 434; Rawa’i al-Bayan, al-Shabuni, 210)
Hisab
Hisab yang dikenal dengan astronomi atau falak direkomendasikan oleh sejumlah ulama sebagai salah satu cara alternatif penetapan Ramadan saat cara pertama tak memungkinkan. Ini sekaligus menjadi antitesis dari cara kedua. Meski pendapat minoritas, landasan pendapat ini cukup kuat. Ulama yang melegalkan hisab seperti Taqiyuddin al-Subki dan Ibnu Suraij mendasarkan argumennya pada Q.S. Yunus ayat 5:
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu).”
Ayat tersebut menunjukkan cukup jelas bahwa hisab memang diakui pada penetapan bulan dalam Kalender Hijriyah. Diksi qaddara, qamar, manazil, dan hisab identik dengan perhitungan astronomis. Mengutip pemaknaan Ibnu ‘Asyur, manazil berarti titik koordinat posisi Bulan di jalur orbitnya. Sedangkan kosakata hisab dimaknai dengan perhitungan hari dan bulan. (al-Tahrir wa al-Tanwir, Jilid 11, 96)
Pendapat legalitas hisab sebagai cara menetapan Ramadan ini juga diperkuat dengan hadis sahih riwayat Abdullah bin Umar:
لا تصوموا حتى تَرَوُا الهلالَ ، ولا تُفْطِروا حتى تَرَوْهُ ، فإن غُمَّ عليكم فاقْدُروا له
“Janganlah kalian berpuasa sampai Hilal (awal Ramadan) tampak, dan janganlah kalian berbuka sampai Hilal (awal Syawal) tampak. Jika kalian terhalangi (sehingga tidak dapat mengamati hilal), maka perkirakanlah.” (Jami’ Shahih Bukhari, 1900)
Landasan normatif yang memperkuat legalitas hisab ini tentu relevan dengan situasi sekarang. Perkembangan IPTEK meniscayakan teknologi penghitungan astronomis semakin mutakhir dan akurat. Sehingga, tidak bijak rasanya jika menganggap penetapan awal Bulan Ramadan dengan hisab merupakan tindakan yang salah. Hal ini berbeda dengan kondisi yang mengitari para ulama di masa Islam klasik dan pertengahan, yang memang belum didukung oleh teknologi canggih, sehingga waktu itu hisab dianggap kurang akurat, karena peranti pakar hisab kurang memadai, sehingga hasil hitungan mereka pun berbeda-beda.
Dari penjelasan tersebut kiita tahu bahwa menyempurnakan hitungan Bulan Syakban dan hisab sama-sama memiliki landasan argumen yang kokoh. Dua-duanya bertendensi pada Alquran dan hadis sahih. Tinggal persoalan per individu, mau condong pada cara yang mana. Tidak perlu memperpanjang kontradiksi pada tindakan menyimpang. Karena, Islam mengakui keragaman, bahkan menganggapnya sebagai rahmat. Wallahu a’lam[]