Wujud Peran Cahaya Allah dalam Penafsiran Surah An-Nur Ayat 35

Peran Cahaya Allah dalam Penafsiran Surah An-Nur Ayat 35
Peran Cahaya Allah dalam Penafsiran Surah An-Nur Ayat 35

Allah swt menggambarkan diri-Nya secara langsung, salah satunya melalui Surah an-Nur ayat 35, selain itu juga pada Surah al-Ikhlas [112]: 1-4. Allah menggambarkan diri-Nya, dengan “nur” (cahaya), demikian kata Ibn ‘Arabi. Dia menyifati diri-Nya dengan istilah ruh al-‘alam, suatu padanan istilah dari nur Muhammad.

Istilah ruh al-‘alam sendiri adalah istilah yang dipakai Ibn Arabi guna menunjukkan cahaya, namun tidak seperti cahaya yang kita ketahui sebagaimana pada umumnya. Guna menelisik bagaimana Allah menggambarkan diri-Nya dengan cahaya, maka artikel ini mengkajinya dengan menggunakan perseptif tafsir sufistik, seperti al-Baghawy, Ibn ‘Ajibah, Makki bin Abi Thalib, Ibn Arabi, dan Muqatil bin Sulaiman. Simak selengkapnya di bawah ini.

Baca juga: Surah At-Taubah [9] Ayat 34-35: Ancaman Bagi Orang Yang Meninggalkan Zakat

Allah adalah Nur

Al-Baghawy dalam tafsirnya, Ma’alim al-Tanzil dan Makki bin Abi Talib dalam Tafsir al-Hidayah ila Bulugh al-Nihayah menafsirkan redaksi Allahu nur al-samawat wal ardh dengan menukil beberapa pendapat di antaranya Ibn ‘Abbas mengatakan, “Allah berperan sebagai petunjuk di langit dan bumi (haadi ahl al-samawat wal ardh), dari petunjuk itu, Dia memberikan nur kebenaran sehingga mereka terhindar dari kesesatan” (fahum binurihi ilal haqqi yahtaduna wa bihudahu min al-dhalalah).

Hampir senada dengan Ibn Abbas, al-Dhahhak memaknainya dengan Allah adalah menerangi bumi dan langit (munawwir al-samawat wal ardh). Dalam pendapat lain dikatakan yang menerangi di langit adalah cahaya malaikat, sedangkan di bumi ialah cahaya kenabian. Ibn Mas’ud, misalnya, menuturkan bahwa perumpamaan cahaya itu (matsalu nurihi) bagaikan menerangi hati orang mukmin.

Dalam tafsiran yang lain, Ibn Ajibah dan Ibn Mas’ud misalnya, dikatakan nur itu mampu membuat aman dan nyaman bagi siapapun (matsalu nurihi man amana bihi). Adapun Hasan dan Zaid bin Aslam sebagaimana disitir al-Baghawy, nur itu bermakna Al-Quran.

Baca juga: Inilah Delapan Ciri-Ciri Mukmin Sejati Menurut Surah Al-Furqan

Mufassir sufi berikutnya adalah Ibn Ajibah. Dalam al-Bahr al-Madid, ia memaknai Allahu nur al-samawat wal ardh dengan cahaya Islam dan iman bagi orang beriman (nur al-islam wal iman li ahl al-iman), nur ihsan kepada orang ihsan (nur al-ihsan li ahl al-ihsan). Tidak jauh berbeda, Ibn Arabi menafsiri Allahu nur al-samawat wal ardh dengan,

النور هو الذي يظهر بذاته وتظهر الأشياء به، وهو مطلقاً اسم من أسماء الله تعالى باعتبار شدّة ظهوره وظهور الأشياء به

“Nur ialah sesuatu yang mampu menjelaskan Dzat-Nya dan memancarkannya kepada yang lain. Nur itu bersifat mutlak, ia adalah salah satu nama Allah yang penuh kharismatik, yang dengannya nur itu mampu menerangi sesuatu”.

Lalu, Ibn Arabi juga mengumpamakan nur itu adalah sifat, wujud dan emanasi-Nya yang dengannya mampu menerangi alam semesta seisinya (shifatu wujudihi wa dzuhurihi fil ‘alamin bi dzuhuriha bihi). Begitupun Muqatil bin Sulaiman juga memaknai bahwa nur itu berperan sebagai petunjuk di langit dan bumi. Muqatil memaknai redaksi matsalu nurihi bagikan Nur Muhammad saw.

Misykat, Misbah dan al-Zujajah

Misykat, kata al-Baghawy dan Ibn ‘Ajibah, adalah sesuatu yang tidak dapat atau sulit ditembus (al-kuwwatu al-lati la munfidzu laha fa inkana laha munfidzu fahiya kuwwatun). Mujahid berkata, “misykat ialah al-qindil (lampu, pelita)”. Masih tetap al-Baghawy, kata Misbah juga ditafsirkan Muqatil bin Sulaiman dengan siraj (lampu atau sinar yang nyala), siraj ini berasal dari dhau’ (sinar), bermakna ka misbahu fi misykat (bagaikan pelita di lubang misykat). Al-Zujajah, bagi al-Baghawy, ia bermakna,

قال الزجاج: إنما ذكر الزجاجة لأن النور وضوء النار فيها أبين من كل شيء، وضوؤه يزيد في الزجاج، ثم وصف الزجاجة

Zujajah adalah sebuah cahaya (nur) yang memantulkan api dan kemudian memuaikan segala sesuatu, dan pantulan itu semakin bertambah di dalam zujajah (kaca), dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga berkas cahaya itu rapi dan teratur yang membentuk zujajah (kaca, cermin)”.

Jika al-Baghawy memaknai al-Zujajah secara definitif lain halnya dengan Makki bin Abi Thalib, ia justru menafsiri redaksi matsalu nurihi ka misykatin fiha misbah dengan cahaya petunjuk kepada hati orang mukminn (hudahu fi qalb al-mu’min). Al-Zujajah, demikian kata Makki dan Muqatil, adalah shafiyatun al-laun (warna yang bersih nan murni) dan shafiyatun tammatun al-shafa (sebersih-bersihnya, sesempur-sempurnanya warna). Al-Zujajah juga bermakna cahaya iman dan hikmah.

Baca juga: Mengungkap Makna dan Pesan Lafaz Khusr dalam Al-Quran

Tidak jauh berbeda, Ibn ‘Arabi justru mengatakan bahwa misykat dan misbah adalah sebuah isyarat bagi jasad manusia yang sesungguhnya adalah gelap gulita, maka kedua cahaya ini berperan menerangi ruh (jiwa) agar jiwanya terang benderang. Demikian pula al-zujajah adalah sebuah isyarat kepada hati orang mukmin bahwa ia akan diterangi dan menerangi (al-mutanawwir bi al-ruh) dengan cahaya-Nya.

Mufassir era awal, sebut saja Muqatil bil Sulaiman memaknai al-misbah fi zujajah dengan misykat sulbinya Abdullah, ayahnya Nabi Muhammad saw. Sedangkan yang dimaksud al-Zujajah adalah jasad Nabi Muhammad saw. Lebih dari itu juga bermakna siraj al-iman fi jasadi muhammad saw (pelita, sinar iman dalam jasad Nabi Muhammad saw).

Syajarah Mubarakah dan Zaitun

Al-Baghawy, Ibn Ajibah dan Muqatil bin Sulaiman memaknai pohon zaitun sebagai syarajah mubarakah (pohon yang diberkati) karena pohon tersebut memiliki banyak manfaat dan keberkahan di antaranya menghasilkan minyak yang paling jernih dan bersih, buahnya nikmat dimakan, serta pohon ini tidak membutuhkan bantuan angin untuk dapat menghasilkan minyak dan buah yang lezat dan nikmat (ashfa al-adhan, idam wa fakihah).

La Syarqiyyah wa La Gharbiyyah

Al-Baghawy mengatakan pada hakikatnya tidak ada arah Barat maupun Timur, namun Allah swt selalu memberikan cahaya pada keduanya, cahaya Allah swt tidak tenggelam maupun terbit sebagaimana cahaya matahari. Hal serupa juga disampaikan Ibn Ajibah dalam al-Bahr al-Madid, hanya saja beliau mengontekskannya dengan buah zaitun, yaitu tidak ada timur dan barat itu (laisat minal masyriqi wa la minal maghribi), akan tetapi yang ada adalah di tengah (bal fil wasth minhu), yakni Kota Syam, dan zaitun ada di kota Syam.

Tidak jauh berbeda, Ibn ‘Arabi dalam tafsirnya mengisahkan la syarqiyyatan wa la gharbiyyatan dengan,

ومعنى كونها { لا شرقية ولا غربية } إنها متوسطة بين غرب عالم الأجساد الذي هو موضع غروب النور وبروزه عن الحجاب النوراني لكونها ألطف وأنور من الجسد وأكثف من الروح

“Adapun makna la syarqiyyatan wa la gharbiyyatan ialah sesungguhnya zaitun ini tudak tumbuh di Barat secara lahiriyah, di mana tempat terbenamnya matahari dan kemunculannya dari selubung cahaya karena zaitun lebih lembut, halus nan mencerahkan daripada jasad (fisik) dan lebih padat daripada ruh (jiwa)”.

Artinya Ibn ‘Arabi menggambarkan keistimewaan pohon zaitun ini dengan penuh esoterik. Pohon ini tidak tumbuh sembarangan, tidak di Barat atau di Timur, tapi yang jelas kemanfaatannya begitu kentara bagi alam semesta. Senada dengan itu, Muqatil bin Sulaiman mengatakan tidak di Timur atau di Barat itu adalah Nabi Ibrahim a.s., Dia tidak berdoa atau menghadapkan wajahnya ke Timur, yaitu kepada orang Nasrani. Begitu pula tidak di Barat, yaitu orang Yahudi. Melainkan, Nabi Ibrahim berdoa menghadapkan wajahnya ke Ka’bah baitullah.

Nur ‘ala Nur (Cahaya di atas Cahaya)

Allah adalah cahaya di atas cahaya. Cahayanya berlapis-lapis, tidak terbatas ruang dan waktu. Cahayanya begitu indah, terang benderang nan lembut (nur al-misbah mutadha’ifun ‘ala nur al-zait al-shafi), demikian kalam Ibn Ajibah dalam al-Bahr al-Madid. Katanya, nur itu adalah nur iman, islam, dan ihsan.

Ibn Ajibah mengatakan,

أي نور الإيمان مُضَافٌ إلى نور الإسلام، أو نور الإحسان مضاف إلى نور الإيمان والإسلام

“Cahaya iman diintegrasikan dengan cahaya Islam, atau cahaya ihsan adalah gabungan cahaya iman dan islam”.

Agak berbeda dari Ibn ‘Ajibah, namun esensinya sama, yaitu penafsiran Muqatil bin Sulaiman menjelaskan maksud nur ‘ala nur (cahaya di atas cahaya) adalah nur Muhammad saw, sebagai emanasi cahaya Allah atau bagian daripada cahaya Allah. Berikut perkataannya,

ثم قال عز وجل: { نُّورٌ عَلَىٰ نُورٍ } قال محمد صلى الله عليه وسلم نبي خرج من صلب نبي، يعني إبراهيم، عليهما السلام

“Nur ‘ala nur adalah Rasulullah Muhammad saw yang berasal dari keturunan Nabi Ibrahim a.s.”

Baca juga: Inilah Tiga Istilah Cahaya dalam Al-Quran

Sebagai penutup, penulis tidak ingin menyampaikan sebuah kesimpulan karena sedemikian esoterisnya para ulama sufi dalam menafsirkan dan menginterpretasikan Allah sebagai cahaya. Namun sebagai pegangan, ayat ini sebetulnya sangat menginspirasi – untuk tidak mengatakan mengilhami – ulama sufi untuk mengkaji makna Allah sebagai cahaya (Allahu nur al-samawat wal ardh.. ila akhirihi).

Karena itu, tak heran jika kemudian term cahaya (nur) menjadi salah satu tema sentral dalam beberapa karya mereka sampai saat ini. Cahaya dalam banyak hal memang menjadi konsep favorit terminologi tasawuf yang dilukiskan secara majazi (metafor).

Mengutip perkataan Emha Ainun Nadjib, sosok cendekiawan muslim Indonesia asal Jombang dan pengampu jamaah Ma’iyah, ia mengatakan bahwa seakan-akan Allah melalui surat al-Nur khususnya ayat ini hendak menawarkan kepada manusia bahwa ada satu metode penelitian untuk bisa sampai kepada Allah (wushul ilallah).

Dalam metode ini, Allah menginstruksikan kepada manusia untuk mencari cahaya itu dengan berbagai metode berikut rambu lalu lintas, dan penandanya.

Dalam perspektif al-Ghazali, cahaya Allah berlapis-lapis (nur ‘ala nur) di mana cahaya itu, al-Ghazali memaknainya sebagai daya-daya yang ada pada diri manusia seperti daya spiritual, daya imajinasi, daya berpikir, intuisi dan sebagainya. Dengan berbekal daya itu, manusia akan mampu meraih cahaya-Nya. Wallahu A’lam.