Zoroastrianisme dianggap sebagai salah satu agama tertua yang masih eksis hingga saat ini, jauh lebih tua dari pada Kristen dan Islam. Kehadirannya banyak memengaruhi peradaban manusia terutama agama-agama yang lahir di daerah timur tengah. Agama ini digagas oleh Zoroaster, atau juga dikenal sebagai Zarathustra, seorang tokoh bersejarah yang hidup di antara abad ke-18 hingga ke-6 SM.
Zoroaster lahir di wilayah Persia (sekarang Iran) dan dipercaya oleh para pengikutnya sebagai seorang Nabi yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Penganut ajaran ini terbilang sangat sedikit, mungkin sekitar 130.000 orang yang mayoritas berada di India barat (Gujarat dan Mumbai), dengan beberapa komunitas kecil di Iran dan beberapa negara lain di seluruh dunia.
Pokok ajaran Zoroastrianisme adalah meyakini satu Tuhan tertinggi, yang mereka namai Ahura Mazda. Para sejarawan meyakini bahwa Zoroastrianisme merupakan agama monoteis pertama yang hadir di muka bumi. Mereka mendeskripsikan Ahura Mazda sebagai Tuhan Yang Maha Bijaksana, Maha Kuasa, dan Pencipta segala sesuatu di alam semesta.
Zoroaster juga mengajarkan tentang dualitas antara kebaikan (Asha) dan kejahatan (Druj). Menurutnya, manusia harus memilih kebaikan dan kebenaran untuk mencapai kesempurnaan dan mendapatkan kemuliaan tempat di sisi Ahura Mazda, kelak setelah mereka mati. (John R. Hinnels, The Penguin Dictionary of Religions: from Abraham to Zoroaster, 361-363)
Salah satu konsep dasar dalam ajaran Zoroastrianisme adalah “Fravashi” yang berarti keterwakilan roh ilahi yang ada di dalam diri setiap manusia. Konsep ini mengajarkan bahwa seluruh manusia memiliki potensi untuk mencapai kesempurnaan dan mengungkapkan aspek rohaniahnya.
Zoroaster menuliskan seluruh ajarannya dalam kitab suci yang dikenal sebagai Avesta. Kitab suci ini berisi himpunan tulisan yang sangat penting dalam agama tersebut dan merangkum berbagai aspek seperti doa, nyanyian, ritual, hukum, dan naskah literari lain yang membentuk inti keyakinan dan amalan dalam agama Zoroastrianisme.
Buku The Hymns of Zoroaster: A New Translation of the Most Ancient Sacred Texts of Iran karya Martin Litchfield West mencoba menghadirkan ulang puisi dan nyanyian yang berasal dari Yasna, salah satu bagian kitab suci Avesta.
Di antara nilai-nilai kebaikan yang diajarkan dalam Zoroastrianisme adalah tuntutan bagi manusia untuk senantiasa berada di jalan kebenaran dengan mengamalkan kebenaran tersebut dan menghindari segala bentuk kejahatan serta ketidakadilan. Penganut Zoroastrianisme juga selalu diingatkan untuk memelihara pemikiran, etika berbicara, dan bertindak dengan perbuatan baik.
Nilai-nilai kebaikan ini juga yang agaknya menginspirasi para tentara Jerman dalam Perang Dunia I untuk membaca karya sastra Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, selain juga membaca Alkitab. Dalam buku tersebut, Nietszche dianggap berhasil menghadirkan nilai perjuangan, arah hidup, pengorbanan dan dedikasi terhadap kebaikan, yang bersumber dari yang apa Dia pahami dari Zarathustra.
Baca Juga: Surat at-Tin dan Simbol Ketersinambungan Antaragama
Zoroastrianisme dalam Alquran
Islam merupakan agama yang datang belakangan, jauh setelah kemunculan Zoroastrianisme. Kehadiran Islam setelah Zoroastrianisme sendiri-pun masih diselingi oleh agama-agama Abrahamik lainnya, Yahudi dan Kristen. Kelahiran Zoroastrianisme, Yahudi, Kristen, dan Islam secara geografis tidak berselisih jauh. Hampir dipastikan semuanya muncul di wilayah timur tengah dan saling berdekatan satu sama lain.
Kedekatan geografis ini menjadikan genealogis dari keempat agama ini bisa jadi tidak terbantahkan, sekalipun kemudian tiga agama terakhir (Yahudi, Kristen, Islam) dianggap memiliki keterikatan yang lebih kuat sebagai agama samawi (berasal dari langit) atau agama abrahamik (berasal dari satu Bapak, Ibrahim atau Abraham).
Ketersinggungan tersebut semakin jelas dalam Islam ketika Zoroastrianisme disebutkan dalam firman Allah, Q.S. Alhajj [22]: 17 berikut:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصارى وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيامَةِ إِنَّ اللَّهَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
Zoroastrianisme dalam ayat di atas disebut dengan kata al-Majus atau Majusi, dituliskan berdampingan dengan penyebutan pemeluk agama lain; Haaduu (penganut Yahudi), al-Shaabi’in (penganut Sabiyan), al-Nashaaraa (penganut Nasrani). Majusi merupakan istilah historis yang merujuk kepada para penganut agama Zoroastrianisme yang tinggal di Persia pada masa kuno.
Pada saat agama ini masih berada di puncak pengaruhnya pada abad-abad awal Masehi, banyak orang Persia yang mengamalkan agama Zoroastrianisme. Namun, pada abad ke-7 M, ketika Islam mulai tersebar ke berbagai wilayah Persia, banyak penduduk Persia memeluk agama Islam, dan penganut Zoroastrianisme mengalami penurunan pesat. Sebagai hasilnya, istilah “Majusi” mulai digunakan oleh komunitas Muslim untuk merujuk kepada penganut agama Zoroastrianisme yang masih ada di Persia.
Sejak zaman itu, persepsi negatif tentang Majusi seringkali beredar di kalangan masyarakat Muslim, dan mereka sering diperlakukan dengan prasangka dan diskriminasi. Istilah “Majusi” lalu sering digunakan secara derogatif dan mencirikan sesuatu yang “kafir” atau “tidak Islami”. Seperti dalam penjelasan Zamakhsyari (w. 1143 M di Iran) dalam menafsirkan ayat tersebut.
Baca Juga: Kaitan antara Taurat dan Alquran: Kajian Surah Alisra’ Ayat 2
Zamakhsyari menerangkan bahwa dari beberapa golongan yang disebutkan pada ayat di atas, empat di antaranya merupakan para penganut setan dan satu sisanya adalah agama yang diridai oleh Yang Maha Pengasih (arba’atun li asy-syaiṭān wa wahid li ar-raḥmān). Satu agama yang dimaksud adalah Islam, sementara sisanya adalah Yahudi, Nasrani (termasuk Sabiyan), Majusi, dan golongan lain yang menyekutukan Tuhan. “Al-Kasysyaf (j.3 h.148)”
Bahkan dalam karya mufassir lainnya, Ibnu Asyur (w. 1973 di Tunisia) menjelaskan sentimen negatif tentang Majusi dengan mendeskripsikan pokok ajaran mereka secara keliru. Ibnu Asyur menyampaikan bahwa Majusi merupakan golongan yang menyembah dua Tuhan; Tuhan Kebaikan dan Tuhan Keburukan (fa ammā al-majūs: fa hum ahl dīn yutsbit ilāhayn: ilāh li al-khayr wa ilāh li asy-syarr).
Padahal tidak demikian adanya. Memang benar bahwa di dalam ajaran Zoroastrianisme dikenal dualisme kebaikan-keburukan, tetapi Tuhan yang mereka sembah tetap satu sebagaimana agama monoteis yang lain.
Kesalahpahaman Ibnu Asyur tersebut agaknya berhasil beliau tutupi pada penjelasan selanjutnya. Mufasir asal Tunisia ini menyampaikan bahwa salah satu inti ajaran kelompok Majusi adalah menafikan dan melarang penyembahan kepada berhala dan hal-hal lain yang diyakini sebagai Tuhan (wa min uṣūl syarī’atih tajannub ‘ibādat at-tamātsīl). “al-Tahrir wal-Tanwir (j. 17 h. 223-225)”
Meskipun demikian, tetap saja, argumentasi yang telah terbangun mapan hingga saat ini yang menyatakan bahwa agama Majusi atau Zoroastrianisme merupakan ajaran yang sesat dan harus dihindari sudah melekat di telinga dan pikiran bawah sadar umat Islam. Sebuah kenyataan yang pemahamannya perlu direkonstruksi ulang melalui pendekatan historis yang mendalam dan terukur. Wallah a’lam