Sebelumnya Allah memerintahkan kepada orang yang mau meninggal untuk berwasiat dan mewajibkan kepada orang mukmin untuk berpuasa. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 184-185 masih membahas tentang puasa wajib.
Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 180-183
Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 184-185 dijelaskan hari yang diwajibkannya berpuasa yaitu hari selama di bulan Ramadan. Wajib untuk semua orang beriman kecuali orang sakit dan musafir.
Ayat 184
Ayat 184 dan permulaan ayat 185, menerangkan bahwa puasa yang diwajibkan ada beberapa hari yaitu pada bulan Ramadan menurut jumlah hari bulan Ramadan (29 atau 30 hari).
Nabi Besar Muhammad saw semenjak turunnya perintah puasa sampai wafatnya, beliau selalu berpuasa di bulan Ramadan selama 29 hari, kecuali satu kali saja bulan Ramadan genap 30 hari.
Sekalipun Allah telah mewajibkan puasa pada bulan Ramadan kepada semua orang yang beriman, namun Allah yang Mahabijaksana memberikan keringanan kepada orang-orang yang sakit dan musafir, untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan dan menggantinya pada hari-hari lain di luar bulan tersebut.
Pada ayat tersebut tidak dirinci jenis/sifat batasan dan kadar sakit dan musafir itu, sehingga para ulama memberikan hasil ijtihadnya masing-masing antara lain sebagai berikut:
- Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit atau musafir tanpa membedakan sakitnya itu berat atau ringan, demikian pula perjalanannya jauh atau dekat, sesuai dengan bunyi ayat ini. Pendapat ini dipelopori oleh Ibnu Sirin dan Dawud az-Zahiri.
- Dibolehkan tidak berpuasa bagi setiap orang yang sakit yang benar-benar merasa kesukaran berpuasa, karena sakitnya. Ukuran kesukaran itu diserahkan kepada rasa tanggung jawab dan keimanan masing-masing. Pendapat ini dipelopori oleh sebagian ulama tafsir.
- Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit atau musafir dengan ketentuan-ketentuan, apabila sakit itu berat dan akan mempengaruhi keselamatan jiwa atau keselamatan sebagian anggota tubuhnya atau menambah sakitnya bila ia berpuasa. Juga bagi orang-orang yang musafir, apabila perjalanannya itu dalam jarak jauh, yang ukurannya paling sedikit 16 farsakh (kurang lebih 80 km).
- Tidak ada perbedaan pendapat mengenai perjalanan musafir, apakah dengan berjalan kaki, atau dengan apa saja, asalkan tidak untuk mengerjakan perbuatan maksiat. Sesudah itu Allah menerangkan pada pertengahan ayat 184 yang terjemahannya, “Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin.” Menurut ayat itu (184), siapa yang benar-benar merasa berat menjalankan puasa, ia boleh menggantinya dengan fidyah, walaupun ia tidak sakit dan tidak musafir.
Termasuk orang-orang yang berat mengerjakan puasa itu ialah:
- Orang tua yang tidak mampu berpuasa, bila ia tidak berpuasa diganti dengan fidyah.
- Wanita hamil dan yang sedang menyusui. Menurut Imam Syafii dan A¥mad, bila wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui khawatir akan terganggu kesehatan janin/bayinya, lalu mereka tidak puasa, maka wajib atas keduanya mengqada puasa yang ditinggalkannya, dan membayar fidyah. Bila mereka khawatir atas kesehatan diri mereka saja yang terganggu dan tidak khawatir atas kesehatan janin/bayinya, atau mereka khawatir atas kesehatan dirinya dan janin/bayinya, lalu mereka tidak puasa, maka wajib atas mereka diqada puasa saja. Sedangkan menurut Abu Hanifah, ibu hamil dan yang sedang menyusui dalam semua hal yang disebutkan di atas, cukup mengqada puasa saja.
- Orang-orang sakit yang tidak sanggup berpuasa dan penyakitnya tidak ada harapan akan sembuh, hanya diwajibkan membayar fidyah.
- Mengenai buruh dan petani yang penghidupannya hanya dari hasil kerja keras dan membanting tulang setiap hari, dalam hal ini ulama fikih mengemukakan pendapat sebagai berikut:
1) Ibnu Hajar dan Imam al-Azra’i telah memberi fatwa, Sesungguhnya wajib bagi orang-orang pengetam padi dan sebagainya dan yang serupa dengan mereka, berniat puasa setiap malam Ramadan. Apabila pada siang harinya ia ternyata mengalami kesukaran atau penderitaan yang berat, maka ia boleh berbuka puasa. Kalau tidak demikian, ia tidak boleh berbuka. )
2) Kalau seseorang yang pencariannya tergantung kepada suatu pekerjaan berat untuk menutupi kebutuhan hidupnya atau kebutuhan hidup orang-orang yang harus dibiayainya dimana ia tidak tahan berpuasa maka ia boleh berbuka pada waktu itu, (dengan arti ia harus berpuasa sejak pagi).
Akhir ayat 184 menjelaskan orang yang dengan rela hati mengerjakan kebajikan dengan membayar fidyah lebih dari ukurannya atau memberi makan lebih dari seorang miskin, maka perbuatan itu baik baginya. Sesudah itu Allah menutup ayat ini dengan.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Ke Manakah Kita Mengarahkan Pandangan Mata saat Salat?
Ayat 185
Ayat ini menerangkan bahwa pada bulan Ramadan, Alquran diwahyukan. Berkaitan dengan peristiwa penting ini, ada beberapa informasi Alquran yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menetapkan waktu pewahyuan ini. Ayat-ayat itu antara lain surah al Qadar/97: 1, ayat ini mengisyaratkan bahwa Alquran diwahyukan pada malam yang penuh dengan kemuliaan atau malam qadar.
Surah ad Dukhan/44: 3, ayat ini mengisyaratkan bahwa Alquran diturunkan pada malam yang diberkahi. Surah al-Anfal/8: 41, ayat ini mengisyaratkan bahwa Alquran itu diturunkan bertepatan dengan terjadinya pertemuan antara dua pasukan, yaitu pasukan Islam yang dipimpin Nabi Muhammad dengan tentara Quraisy yang dikomandani oleh Abu Jahal, pada perang Badar yang terjadi pada tanggal 17 Ramadan.
Dari beberapa informasi Alquranini, para ulama menetapkan bahwa Alquran diwahyukan pertama kali pada malam qadar, yaitu malam yang penuh kemuliaan, yang juga merupakan malam penuh berkah, dan ini terjadi pada tanggal 17 Ramadan, bertepatan dengan bertemu dan pecahnya perang antara pasukan Islam dan tentara kafir Quraisy di Badar, yang pada saat turun wahyu itu Muhammad berusia 40 tahun.
Selanjutnya peristiwa penting ini ditetapkan sebagai turunnya wahyu yang pertama dan selalu diperingati umat Islam setiap tahun di seluruh dunia.
Berkenaan dengan malam qadar, terdapat perbedaan penetapannya, sebagai saat pertama diturunkannya Alquran, dan malam qadar yang dianjurkan Nabi Muhammad kepada umat Islam untuk mendapatkannya. Yang pertama ditetapkan terjadinya pada tanggal 17 Ramadan, yang hanya sekali terjadi dan tidak akan terulang lagi.
Sedangkan yang kedua, sesuai dengan hadis Nabi, terjadi pada sepuluh hari terakhir Ramadan, bahkan lebih ditegaskan pada malam yang ganjil. Malam qadar ini dapat terjadi setiap tahun, sehingga kita selalu dianjurkan untuk mendapatkannya dengan persiapan yang total yaitu dengan banyak melaksanakan ibadah sunah pada sepuluh hari terakhir Ramadan.
Ayat ini juga menjelaskan puasa yang diwajibkan ialah pada bulan Ramadan. Untuk mengetahui awal dan akhir bulan Ramadan Rasulullah saw telah bersabda:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِيَ عَلَيْكُمْ (وَفِي رِوَايَةٍ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ) فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ (وَفِي رِوَايَةِ مُسْلِمٍ فَاقْدِرُوْا ثَلاَثِيْنَ)
(رواه البخاري ومسلم)
Berpuasalah kamu karena melihat bulan (Ramadan) dan berbukalah kamu, karena melihat bulan (Syawal), apabila tertutup bagi kamu, (dalam satu) riwayat mengatakan: Apabila tertutup bagi kamu disebabkan cuaca yang berawan), maka sempurnakanlah bulan Syaban tiga puluh hari (dan dalam satu riwayat Muslim takdirkanlah atau hitunglah bulan Syaban tiga puluh hari). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Mengenai situasi bulan yang tertutup baik karena keadaan cuaca, atau memang karena menurut hitungan falakiyah belum bisa dilihat pada tanggal 29 malam 30 Sya’ban, atau pada tanggal 29 malam 30 Ramadan, berlaku ketentuan sebagai berikut: Siapa yang melihat bulan Ramadan pada tanggal 29 masuk malam 30 bulan Sya’ban, atau ada orang yang melihat bulan, yang dapat dipercayai, maka ia wajib berpuasa keesokan harinya.
Kalau tidak ada terlihat bulan, maka ia harus menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari. Begitu juga siapa yang melihat bulan Syawal pada tanggal 29 malam 30 Ramadan, atau ada yang melihat, yang dapat dipercayainya, maka ia wajib berbuka besok harinya. Apabila ia tidak melihat bulan pada malam itu, maka ia harus menyempurnakan puasa 30 hari.
Dalam hal penetapan permulaan hari puasa Ramadan dan hari raya Syawal agar dipercayakan kepada pemerintah, sehingga kalau ada perbedaan pendapat bisa dihilangkan dengan satu keputusan pemerintah, sesuai dengan kaidah yang berlaku:
حُكْمُ اْلحَاكِمِ يَرْفَعُ الْخِلاَفَ
Putusan pemerintah itu menghilangkan perbedaan pendapat.
Orang yang tidak dapat melihat bulan pada bulan Ramadan seperti penduduk yang berada di daerah kutub utara atau selatan di mana terdapat enam bulan malam di kutub utara dan enam bulan siang di kutub selatan, maka hukumnya disesuaikan dengan daerah tempat turunnya wahyu yaitu Mekah dimana daerah tersebut dianggap daerah mu’tadilah (daerah sedang atau pertengahan) atau diperhitungkan kepada tempat yang terdekat dengan daerah kutub utara dan kutub selatan.
Pada ayat 185 ini, Allah memperkuat ayat 184, bahwa walaupun berpuasa diwajibkan, tetapi diberi kelonggaran bagi orang-orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan dan menggantikannya pada hari-hari lain.
Pada penutup ayat ini Allah menekankan agar disempurnakan bilangan puasa dan menyuruh bertakbir serta bersyukur kepada Allah atas segala petunjuk yang diberikan.
Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 186-188
(Tafsir kemenag)