BerandaTafsir TematikTafsir Tarbawi3 Hikmah Puasa Bagi Seorang Muslim

3 Hikmah Puasa Bagi Seorang Muslim

Puasa dalam bahasa Arab disebut shiyam atau shaum, yang artinya adalah menahan. Di dalam peraturan syarak dijelaskan bahwasanya shiyam menahan makan, minum dan bersetubuh suami isteri dari waktu fajar sampai waktu maghrib, karena menjunjung tinggi perintah Allah. Maka setelah nenek-moyang memeluk agama Islam, digunakan kata “puasa” untuk menjadi arti daripada shiyam tersebut. Karena memang sejak agama terdahulu, peraturan puasa itu telah ada. Sebagaimana firman Allah Swt.,“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan kepada kamu puasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu.” (pangkal Albaqarah [2]: 183)

Dengan adanya ibadah puasa di bulan Ramadan, seorang muslim dapat mengambil 3 hikmah penting untuk dijadikan sebagai kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Hikmah Puasa Dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 183

Menjadi pribadi yang pandai bersyukur

Dalam KBBI, bersyukur artinya berterima kasih. Sedangkan syukur merupakan pujian yang diberikan kepada yang memberikan kebaikan. Dalam kehidupan, selalu timbul asumsi indah kepada sesuatu yang belum dimiliki, sehingga mengakibatkan kurang bahagia dan bahkan bersedih atas apa yang sudah dimiliki. Bahkan menjadikan kehidupan orang lain sebagai tolok ukur.

Bersyukur terkadang memang sulit, selalu ada alasan untuk mengeluh terhadap keadaan, bahkan sampai berani untuk menyalahkan kehendak Tuhan. Bagi orang yang memiliki ekonomi cukup, puasa tentunya tidak memiliki hambatan selain hawa nafsunya. Namun, bagaimana dengan orang yang sedang berada di masa yang sulit? Tentu tidak mudah bagi orang-orang miskin.

Ikut berbagi rasa kepada orang yang membutuhkan merupakan salah satu bentuk bersyukur atas nikmat dan keselamatan yang masih diberikan oleh Allah Swt. Bersyukur hingga saat ini masih dapat menolong manusia yang tengah berjuang melawan kesulitan. Berbagi makanan untuk berbuka puasa, ataupun melaksanakan sahur bersama salah satunya yang dapat dilaksanakan di bulan Ramadan. Sebagaimana firman Allah Swt:

ٱعْمَلُوٓا۟ ءَالَ دَاوُۥدَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِىَ ٱلشَّكُورُ

“…Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur. Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur” ( Saba’ [34]: 13)

Berdasarkan penafsiran Ibnu Katsir  (Jilid 6, 557), ayat ini menjelaskan, bahwa Allah memerintahkan kepada mereka untuk bekerja sebagai tanda syukur atas segala nikmat yang diberikan kepada mereka, baik dalam agama maupun dunia.  Kata “ شُكْرًا “ merupakan bentuk mashdar dari bukan fi’il atau menjadi maf’ul lahu. Atas dasar kedua asumsi tersebut terkandung petunjuk bahwa, syukur dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat pula dengan perkataan dan niat. Sebagaimana seorang penyair berkata:

أفَادَتْكُمُ النّعْمَاء منِّي ثَلاثةً:. يدِي، ولَسَاني، وَالضَّمير المُحَجَّبَا …

“Nikmat-nikmat itu memberikan manfaat bagi kalian dari-Ku (sebagai rasa terima kasihku), dengan tiga hal; melalui tanganku, lisanku, dan hati yang tidak kelihatan”.

Abu ‘Abdirrahman as-Salami berkata, “Salat adalah syukur, shaum adalah syukur dan setiap kebaikan yang dikerjakan karena Allah adalah syukur. Seutama-utama syukur adalah pujian. (HR. Ibnu Jarir).

Baca Juga: Kitab Maqashid al-Shaum: Inilah Tujuh Keutamaan Puasa Ramadhan

Menjadi pribadi yang sabar

Sabar merupakan tindakan untuk menahan diri dari hal-hal yang ingin dilakukan, menahan diri agar tidak terpancing emosi, tidak mengeluh saat dalam kondisi yang sulit ataupun sedang mengalami musibah.

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa hakikat kehidupan ini, antara lain ditandai oleh keniscayaan adanya cobaan yang beraneka ragam. Ujian atau cobaan yang dihadapi itu pada hakikatnya sedikit, sehingga betapapun besarnya, ia sedikit jika dibandingkan dengan imbalan dan ganjaran yang akan diterima. Cobaan itu sedikit, karena betatapun besarnya cobaan, ia dapat terjadi dalam bentuk yang lebih besar daripada yang telah terjadi. Bukankah ketika mengalami setiap bencana, ucapan yang sering terdengar adalah “Untung saja…” Ia sedikit, karena cobaan dan ujian yang besar adalah kegagalan menghadapi cobaan, khususnya dalam kehidupan beragama.

Pada fakta yang terjadi saat ini, apakah masih mampu untuk menjadi orang yang bersabar? Dengan kondisi keadaan yang tentunya banyak tuntutan dalam hidup, dan tidak sedikit pula yang melakukan segala cara untuk mendapatkan ambisi-ambisi yang diinginkan, sehingga menghalalkan segala cara yang haram untuk mendapatkannya. Cara untuk melatih diri untuk bersabar dari keinginan-keinginan tersebut itu tidak lain dengan berpuasa, dengannya akan semakin terdidik untuk bertakwa kepada Allah dan taat kepada-Nya. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah Saw. bersabda:

الصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ

 “Puasa adalah separuh kesabaran.” (HR. Tirmidzi: Kitab ad-Da’awat no. 3519)

Dengan demikian, seseorang yang melaksanakan ibadah puasa dengan baik dan benar, secara bersamaan juga mengasah kesabaran dirinya. (Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 1, 418)

Baca Juga: Sejarah Puasa dan Rahasia Dipilihnya Bulan Ramadhan Menurut Para Tokoh Tafsir

Menjadi pribadi yang senantiasa jujur

Seorang muslim, harus bersikap jujur dalam melakukan sesuatu apapun. Sifat jujur, tentunya akan banyak memberikan manfaat untuk mengantarkan kita ke surga, karena orang jujur sangat dicintai oleh Allah, dan begitupun sebaliknya jika manusia tidak memilikinya maka akan mengantarkannya ke dalam neraka.

Salah satu bentuk refleksi ketakwaan seorang muslim kepada Allah adalah bersikap jujur. Sebab ibadah puasa ini hubungannya langsung antara manusia dengan Allah.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَكُونُوا۟ مَعَ ٱلصَّٰدِقِينَ

 “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”. (Altaubah [9]: 119)

Menurut Buya Hamka, ayat ini menjelaskan, meskipun terkadang ujian itu berat untuk ditempuh, namun takwa hendaklah terus ditegakkan. Seperti halnya dengan kejujuran, yang terkadang meminta pengorbanan dan penderitaan, tetapi harus tetap bertahan pada kejujuran. Sebagaimana kisah Ka’ab bin Malik dan orang-orang yang menempuh jalan yang benar, mereka memiliki pendirian, biarlah menderita secara zahir, namun bahagia secara batin. (Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 4, 3161)

Pada fakta yang terjadi saat ini, jujur merupakan sifat yang langka untuk ditemukan. Semakin takut mengungkapkan kebenaran dan justru memilih jalan sebaliknya untuk mencapai tujuannya. Maka sudah seharusnya, sejatinya puasa bukan hanya sekadar untuk menahan lapar dan haus sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, namun intinya adalah untuk pengendalian diri.

Ketika melaksanakan ibadah puasa, seseorang bisa saja berbohong pada orang lain. Seakan-akan ia masih dalam keadaan berpuasa. Namun, ketika tiba waktunya berbuka, antusias ikut berbuka. Mungkin ia bisa saja menutupi kebohongannya dari manusia, namun tidak dengan hati dan dari Allah Swt.

Lalu, perihal sabar dan syukur, keduanya tidak dapat dipisahkan. Karena dalam syukur terdapat rasa untuk bersabar dan dalam kesabaran terdapat rasa syukur, sehingga tidak bisa sabar tanpa syukur, begitupun sebaliknya. Sedangkan Jujur, akan membawa pada lapangnya hidup, karena Allah tidak akan luput dari segala pembalasan amal yang telah kita perbuat.

Wallahu a’lam.

- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...