Keistimewaan al-Qur’an selanjutnya ialah kitab yang dijaga langsung oleh Allah Swt. tidak seperti kitab-kitab sebelumnya yang penjagaannya diberikan atau diamanahkan kepada ahl-nya. Bentuk penjagaan yang Allah berikan kepada al-Qur’an ialah menjaganya dari tahrif dan tabdil (perubahan substansi) yang kerap terjadi pada nash/teks sebagaimana yang telah terjadi terhadap Taurah dan Injil.
Menurut al-Qaradlawi ada alasan mendasar yang menyebabkan kedua kitab pendahulu al-Qur’an tersebut tidak dijaga langsung oleh Allah melainkan diwakilkan kepada ahl-nya. Ia menjelaskan bahwa kedua kitab tersebut merupakan kitab mauqut (kitab yang temporal masa berlakunya) yang membawa risalah yang sifatnya temporal serta ditujukan secara khusus kepada kaum yang ada di masanya saja. Berbeda halnya dengan al-Qur’an yang membawa risalah universal yang tidak hanya berlaku bagi masyarakat yang menjadi audiens pertamanya dan pada waktu tertentu itu saja. Oleh sebab itulah Allah menjaga langsung al-Qur’an dan menegaskannya dalam Q.S. al-Hijr: 9:
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.
Proses pemeliharaan al-Qur’an secara langsung oleh Allah, menurut al-Qardlawi dapat dilihat dari skenario pra-turunnya al-Qur’an dan pasca turunnya al-Qur’an. Pada skenario pra-turunnya al-Qur’an, Allah telah mendesain umat yang akan menjadi audiens pertama al-Qur’an sebagai umat yang memiliki keistimewaan dalam kualitas hafalannya sehingga al-Qur’an yang diwahyukan dalam bentuk oral, dapat mereka hafalkan. Ini menjadi salah satu keistimewaan al-Qur’an.
Baca Juga: 7 Keistimewaan Al-Qur’an Menurut Yusuf al-Qaradlawi Bagian I: Al-Qur’an Kitab Ilahi
Selanjutnya jika melihat skenario penjagaan Allah pasca-turunnya al-Qur’an, maka akan didapati beberapa bentuk, mulai dari keputusan Nabi Muhammad yang memerintahkan kepada para kuttab/juru tulisnya untuk menulis setiap wahyu yang turun selain menghafalkannya dan melarangnya mereka menuliskan hal lain selain al-Qur’an. Melalui kebijakan Rasulullah ini, al-Qur’an langsung terjaga baik secara hafalan maupun tulisan.
Kemudian pasca wafatnya Nabi Muhammad, banyak terjadi peperangan yang menjadikan banyak penghafal al-Qur’an syahid dan yang paling terkenal ialah perang Yamamah. Banyaknya ahli al-Qur’an yang syahid kala itu, menyebabkan Umar ibn Khattab gusar dan mengusulkan pada Abu Bakr al-Shiddiq yang menjadi Khalifah saat itu untuk mengadakan penulisan al-Qur’an secara resmi yang diinisiasi oleh negara. Maka Abu Bakr pun menyetujuinya meskipun melalui beberapa perdebatan dan menunjuk orang-orang pilihan sebagai panitianya.
Dipilihlah Zaid ibn Tsabit sebagai ketua dan ia pun menetapkan dua metode dalam pengumpulan al-Qur’an pada saat itu. Pertama melalui proses pengumpulan naskah-naskah al-Qur’an yang ditulis di masa Nabi Muhammad dan kedua melalui hafalan para Sahabat yang telah diverfikasi kebenarannya oleh dua orang saksi. Setelah naskah berhasil terkumpul sempurna dan ditetapkan sebagai mushaf resmi, mushaf tersebut kemudian dipergunakan sejak masa kepemimpinan Abu Bakar selesai hingga purna masa kepemimpinan Umar ibn Khattab sebagai Khalifah kedua. Lalu mushaf tersebut disimpan oleh Hafshah.
Lalu di masa Utsman ibn Affan, didapati kembali peristiwa yang berpotensi membahayakan eksistensi al-Qur’an. Kala itu Hudzaifah al-Yamani yang telah berhasil mengusai daerah Armenia dan Azerbaijan melaporkan kepada Utsman bahwa di masyarakat kerapkali terjadi perselisihan yang mempermasalahkan bacaan al-Qur’an. Hudzaifah mengatakan bahwa di antara sesama muslim (kala itu sudah masuk era Tabi’in), satu sama lain tidak segan untuk saling berdebat membenarkan bacaan al-Qur’an yang mereka bawa bahkan saling mengafirkan (padahal yang diperdebatkan ialah masalah Qira’at). Problem ini pun dijawab Utsman dengan menggelar pengumpulan al-Qur’an kembali sebagaimana yang telah dilakukan di era Khalifah Abu Bakr untuk mencetak sebuah mushaf standar.
Dengan dukungan para Sahabat, Utsman pun menunjukan beberapa tokoh yang berperan dalam peristiwa monumental tersebut di antaranya Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Zubair, Sa’id ibn ‘Ash, serta Abdurrahman ibn Harits. Para panitia ini menjadikan mushaf Abu Bakr sebagai pedoman penulisan dan memberikan beberapa ketetapan lainnya seperti penulisannya harus dalam bahasa Quraisy dengan alasan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka. Kemudian menghilangkan seluruh syarh maupun ta’liqat (keterangan atau komentar yang ditulis di pinggir mushaf dan bukan bagian dari al-Qur’an).
Lalu tulisan pada mushaf dibebaskan dari nuqath (titik) dan syakl (baris/ harokat) dan memiliki kekhasan tersendiri—disebut sebagai rasm utsmani. Hal ini bertujuan untuk memberi kesempatan dalam membaca al-Qur’an dengan ahruf sab’ah yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pewahyuan al-Qur’an itu sendiri. Maka dalam penyusunan mushaf standar ini, Utsman sama sekali tidak memilih salah satu riwayat Qira’at dan tidak juga menggugurkan salah satunya dan justru memberikan kebebasan atas pilihan bacaan yang akan digunakan. Selanjutnya setelah tersusun, mushaf tersebut dikirim ke beberapa kota besar yang menjadi pusat peradaban Islam kala itu dan sampai saat ini mushaf yang disusun di masa Utsman masih menjadi rujukan mushaf standar di dunia.
Baca Juga: Metodologi dan Pendekatan dalam Penelitian Studi al-Quran dan Tafsir
Beberapa poin yang diuraikan oleh al-Qaradlawi dan telah diulas di atas merupakan bukti bahwa Allah dengan kekuasaan-Nya yang tak terbatas, telah menjaga otentisitas al-Qur’an bahkan hingga saat ini. Selama beraabad-abad, bacaan al-Qur’an tidak pernah berubah namun maknanya selalu berkembang dari masa ke masa atau dalam istilah Syahrur disebut tsabat al-nas wa harakah al-muhtawa. Dinamisasi makna al-Qur’an ini sejatinya, menurut penulis, juga menjadi bukti penjagaan Allah Swt atas al-Qur’an.
Sebagaimana dikatakan al-Qaradlawi di atas bahwa perbedaan al-Qur’an dengan kitab-kitab sebelumnya ialab bahwa al-Qur’an bukanlah kitab mauqut melainkan kitab salih li kulli azminah wa amkinah. Maka, dinamisasi makna al-Qur’an menjadi bukti universalitas al-Qur’an dan menjadi alasan mendasar bagi umat Islam untuk selalu membaca dan mengkajinya sepanjang masa sehingga eksistensi al-Qur’an bagi kehidupan manusia tidak akan lekang ditelan waktu. Wallah a’lam.