Diskursus keadilan gender memang masih menjadi diskursus yang hangat dibincangkan dalam ruang-ruang akademik. Terlebih diskusi gender yang menjadikan al-Quran maupun Hadis sebagai objek materilnya. Kehadiran qiraah mubadalah bisa dianggap sebagai sebuah deklarasi bahwa al-Quran dan Hadis tidak pilih kasih dan bukanlah nash yang patriarki. Kehadiran qiraah mubadalah sekaligus juga menjadi perspektif tandingan terhadap tafsir-tafsir yang terlalu berbau patriarki.
Dalam mengurai gagasannya, sang penulis sekaligus pencetus teori Qiraah Mubadalah, Faqihuddin Abdul Qadir menggunakan basis metode penafsiran maudhui yakni mengumpulkan ayat-ayat setema yang kemudian dianalisis. Analisis linguistik dan konteks juga menjadi alat yang digunakan oleh sang penulis. Salah satu penjelasan menarik yang diutarakan adalah mengenai maskulinitas maupun femininitas dhomir (kata ganti orang) yang digunakan oleh al-Quran.
Baca Juga: Mengenal Faqihuddin Abdul Kodir, Perintis Metode Qira’ah Mubādalah
Baginya, itu adalah taghlib atau kebiasaan yang sudah terjadi dalam kultur Arab yang diadopsi oleh Quran. Jadi meskipun Quran menggunakan dhomir maskulin bukan berarti hanya laki-laki saja yang di-taklif, begitupun juga jika Quran menggunakan dhomir (kata ganti) feminin tidak berarti bahwa hanya perempuan saja yang dibebankan oleh Quran. Dengan begitu pembacaan mubadalah ini hadir juga untuk menunjukkan substansi pesan yang pada dasarnya menunjuk kepada laki-laki maupun perempuan.
Pembacaan ini juga berlaku saat membaca Hadis. Jadi sederhananya, konsep qiraah mubadalah adalah konsep yang mencoba menggali makna eksplisit dibalik teks-teks agama yang hanya menyebutkan salah satu dari jenis kelamin yang ada, sedangkan konteks kalimatnya (siyaqul kalam) menunjuk pada kedua jenis kelamin, atau dalam ilmu Majaz dikenal dengan kaidah ithlaq al-juz wa iradah al-kull (menyebutkan sebagian namun sejatinya yang diinginkan adalah keseluruhan).
Dalam salah satu pembahasan bukunya yaitu “Tauhid Sebagai Basis Mubadalah”, uraian awal sang penulis menjadi salah satu uraian paragraf yang paling menarik. Ia mengungkapkan:
“Selain terkandung didalam ayat-ayat al-Quran, gagasan dan konsep mubadalah juga memiliki akar yang kuat pada ajaran yang paling fundamental dalam Islam, yaitu Tauhid. Saat seorang insan mengucapkan lafadz la ilaha illallah, itu bermakna bahwa ia telah memproklamirkan diri untuk meyakini akan keesaan Allah.
Memproklamirkan ketauhidan berarti menyatakan dua hal, yaitu pengakuan akan keesaan Allah dan pernyataan atas kesetaraan manusia dihadapan-Nya. Meyakini tidak ada Tuhan selain Allah itu berarti meyakini tidak ada perantara antara hamba dan Tuhannya, dan bahwa sesama manusia tidak boleh ada satu pihak yang menjadi Tuhan terhadap yang lain. Raja bukan Tuhan bagi rakyatnya, majikan bukan Tuhan bagi buruhnya, dan suami bukan Tuhan bagi istrinya (pun sebaliknya).”
Pemikiran tauhid dalam perspektif mubadalah ini, setidaknya menunjukkan dua hal yang ingin ditekankan. Pertama, tauhid adalah asas fundamental bagi keberadaan mubadalah. Maksudnya tauhid merupakan kerangka dasar yang membentuk konsep mubadalah, sebab ketauhidan akan mengantarkan seseorang pada pemahaman tunggal bahwa Tuhan adalah entitas satu-satunya yang memiliki kedudukan tertinggi sehingga selainnya (makhluk) berada pada posisi yang setara.
Baca Juga: Inilah Tiga Prinsip Kesetaraan Gender dalam Al Quran
Kedua, tauhid tidak hanya diwujudkan dalam laku ibadah vertikal, namun juga dalam laku ibadah horinsontal. Adapun yang dimaksud dengan ibadah horisontal ini adalah pergaulan sosial yang melibatkan sesama makhluk. Maka wujud dari tauhid horisontal adalah dengan terwujudnya kesetaraan sosial dalam konstruk sosial masyarakat yang akan menjadi alasan utama teraktualisasinya konsep mubadalah.
Tawaran konsep Qiraah Mubadalah yang digagas oleh Faqihuddin Abdul Qadir atau Kang Faqih ini memberikan tambahan amunisi bagi perbendaharaan perspektif dalam membaca teks-teks induk dalam ajaran Islam. Semoga kedepannya ada juga tawaran pembacaan baru yang bernuansa ekologis dan dapat memberikan kontribusi pada umat Islam khususnya dalam menyikapi kerusakan alam yang semakin menjadi-jadi. Wallahu alam.