Keluarga merupakan kehidupan pertama (alam syahadah) bagi seorang anak dalam memenuhi kebutuhan dasar untuk mendapatkan pengetahuan, memiliki sikap dan pengembangan keterampilan dalam menjalani kehidupan. Peran orang tua dalam menanamkan karakter kepada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh anak yang diterapkan dari orangtua untuk anak.
Al-Qur’an sebagai kitab pedoman umat manusia telah menyuguhkan beberapa kisah antara orang tua dan anak, seperti kisah Ibrahim dan anaknya Ismail, Ya’qub dan anaknya Yusuf, Luqman dan putranya. Kisah-kisah tersebut telah melahirkan berbagai bentuk pola asuh yang sangat menakjubkan. Pada tulisan ini kita akan membahas pola asuh yang diterapkan istri Imran terhadap Maryam, sehingga dia menjadi wanita pilihan karena sifat-sifatnya dan kelebihan khusus yang tidak akan didapati oleh wanita seluruh dunia.
Kisah istri Imran dalam mendidik Maryam terdapat dalam QS. al-Imran [3]: 35-37
اِذۡ قَالَتِ امۡرَاَتُ عِمۡرٰنَ رَبِّ اِنِّىۡ نَذَرۡتُ لَـكَ مَا فِىۡ بَطۡنِىۡ مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلۡ مِنِّىۡ ۚ اِنَّكَ اَنۡتَ السَّمِيۡعُ الۡعَلِيۡمُ ﴿3:35﴾ فَلَمَّا وَضَعَتۡهَا قَالَتۡ رَبِّ اِنِّىۡ وَضَعۡتُهَاۤ اُنۡثٰىؕ وَاللّٰهُ اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡؕ وَ لَيۡسَ الذَّكَرُ كَالۡاُنۡثٰىۚ وَاِنِّىۡ سَمَّيۡتُهَا مَرۡيَمَ وَاِنِّىۡۤ اُعِيۡذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيۡطٰنِ الرَّجِيۡمِ ﴿3:36﴾ فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُوۡلٍ حَسَنٍ وَّاَنۡۢبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا ۙ وَّكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا ؕ كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيۡهَا زَكَرِيَّا الۡمِحۡرَابَۙ وَجَدَ عِنۡدَهَا رِزۡقًا ۚ قَالَ يٰمَرۡيَمُ اَنّٰى لَـكِ هٰذَا ؕ قَالَتۡ هُوَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰهِؕ اِنَّ اللّٰهَ يَرۡزُقُ مَنۡ يَّشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٍ ﴿3:37
35. (ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.
36. Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai Dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk.”
37. Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.”
Baca juga: Isytiqaq Saghir: Cara Kerja dan Perannya dalam Melacak Makna Bahasa
Ayat di atas mengisahkan tentang istri Imran ketika sedang mengandung. Uniknya, Al-Qur’an tidak menyebut nama istri Imran secara langsung, melainkan dengan laqab. Dalam tafsir Al-Misbah juz ke-15 Quraish Shihab menjelaskan bahwa apabila Al-Qur’an mengungkap seseorang dengan nama aslinya, itu mengisyaratkan bahwa kisah tersebut tidak akan terulang kembali, seperti kisah Isa bin Maryam dan Adam.
Akan tetapi, jika Al-Qur’an mengungkap seseorang melalui gelarnya seperti Fir’aun, abu Lahab, istri Imran, dan sebagainya, hal itu mengisyaratkan bahwa kisah serupa akan terulang di lain waktu. Maka, kaidah tersebut mengisyaratkan bahwa kisah istri Imran dalam mendidik anaknya, dapat terulang kembali.
Tafsir Surat al-Imran Ayat 35-37
Teks ayat 35 menjelaskan bahwa sejak mengandung, istri Imran telah bernazar. Raghib Al-Asfahani mengatakan bahwa nazar adalah kewajiban-kewajiban yang diwajibkan terhadap diri sendiri bukan kerena tuntutan syariat, seperti puasa yang dilakukan Maryam yang tidak berbicara dengan manusia. Dan makna nazar menurut Ibnu Manzur dalam kitabnya lisanul Al-‘Arab adalah nahbu (ratapan dan tangisan).
Penjelasan tersebut mendeskripsikan bahwa selama mengandung, istri Imran melakukan hal-hal yang tidak wajibkan Allah (sunah) serta berdoa sambil menangis dan meratap. Menurut Quraish Shihab itu adalah bentuk mendekatkan diri kepada Allah agar Allah berkenan mengabulkan permintaannya, yaitu menjadikan janin yang dikandungnya muharran: anak yang terbebas dari segala ikatan, maksudnya ketundukan mutlak hanya kepada Allah, tidak terganggu oleh apa dan siapa pun dalam mengabdi kepada-Nya.
Baca juga: Tafsir Pop Gus Baha’: Fenomena Pengajian Tafsir Al-Quran di New Media
Pola asuh yang tergambar dari penjelasan tersebut adalah selama mengandung seorang ibu dituntut untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mulai mencita-citakan masa depan buah hati sejak dalam kandungan.
Memberi Nama yang Bagus, Berharap Memiliki Akhlak yang Bagus
Selanjutnya, ayat 36 menjelaskan tentang istri Imran yang telah melahirkan anak perempuan yang diberi nama Maryam, wa inni sammaituha maryama. Maryam bermakna seorang pengabdi, Zamakhsayari dalam kitabnya yakni al-Kasyaf menjelaskan bahwa pemberian nama Maryam bukan tanpa maksud. Hal ini karena istri Imran pada awalnya sangat menginginkan anak laki-laki agar dapat menjadi pengabdi Baitu al-Maqdis karena keadaan sosial pada saat itu hanya laki-laki yang boleh mengabdi di sana.
Walaupun istri Imran melahirkan anak perempuan, hal itu tidak menyurutkan tekadnya untuk menjadikan Maryam sebagai ‘pengabdi’ melalui namanya. Penjelasan tersebut mendeskripsikan bahwa pola asuh yang dilakukan istri Imran adalah memberi nama kepada anak sesuai dengan harapan yang diinginkan.
Sebagaimana penjelasan Ibnu Qayyim dalam kitabnya Maudud bi Ahkami al-Maulud, bahwa secara umum akhlak, perilaku dan perbuatan buruk mengarah kepada nama-nama yang buruk juga dan perilaku yang bagus mengarah pada nama-nama yang bagus.
Ketulusan dan keikhlasan yang sempurna dalam bernazar serta keridhaan hati dalam menerima ketentuan Allah membuahkan hasil, Allah mengabulkan nazar Istri Imran, sehingga apa yang dimohonkan dikabulkan oleh Allah secara bertahap dari waktu ke waktu, sebagaimana dipahami dari kata taqabbala. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Allah juga mendidik Maryam dengan pendidikan yang baik, dengan memilih seorang pengasuh dan pendidik terbaik, yaitu Zakaria seorang nabi dari Bani Israil dan juga seorang pengabdi untuk Baitul al-Madis.
Baca juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 9-10: Sifat Manusia dalam Rencana Saudara-Saudara Nabi Yusuf
Pengasuhan Maryam di bawah nabi Zakaria bukan sebuah ketetapan Allah tanpa ada sebab, melainkan juga atas nazar yang kuat dan doa yang khusyuk. Memilih pengasuh dan guru yang terbaik merupakan pola asuh yang diterapkan Istri Imran terhadap anaknya. Memilih guru adalah hal yang sangat penting karena akan memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan. Sebagaimana nasehat Abu Hanifah dalam kitab ta’lim muta’alim carilah guru yang berakhlak mulia, wara’, penyantun dan penyabar.
Demikianlah, beberapa pola asuh yang diterapkan istri Imran kepada Maryam. Wallahu A’lam