Pemilik kitab tafsir pertama 30 juz di Bugis ini bernama AG.H. Daud Ismail (akronim Anrégurutta, gelar untuk ulama). Dikenal sebagai salah seorang ulama fenomenal di Sulawesi Selatan, terutama di bilangan wilayah Wajo, Soppeng dan sekitarnya. Disebut juga berperan penting dalam pengembangan syiar Islam di Sulawesi Selatan. AG.H. Daud lahir di Cenrana, Lalabata, kab. Soppeng, 31 Desember 1907 M. Ayahnya bernama H. Ismail bin Baco dan ibunya Hj. Pompola binti Latalibe dan memiliki 11 orang saudara.
AG.H Daud Ismail mengenyam pendidikan di Pesantren As’adiyah di Sengkang kab. Wajo. Sebelum itu juga pernah menimba ilmu pada banyak guru, baik di Soppeng maupun di Barru. AG.H. Daud Ismail belajar langsung kepada AG.H. Muhammad As’ad (w.1952 M): pendiri Pondok Pesantren As’adiyah di Sengkang selama 12 tahun (1929-1942). Kemudian beliau dipercayakan untuk mengajar pada tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, ketika itu belum ada tingkat aliyah. Di tahun 1942 Anrégurutta Daud meninggalkan kota Sengkang.
Baru kemudian kembali setelah diminta untuk melanjutkan pembinaan madrasah. Disebabkan karena wafatnya AG.H. Muhammad As’ad. Kembalinya pun juga merupakan wasiat untuk memimpin As’adiyah. Selama kurang lebih delapan tahun memimpin As’adiyah, tercatat hingga tahun 1961. Setelah itu kembali lagi ke Soppeng, Anrégurutta Daud mendirikan sekaligus menjadi ketua Yayasan Perguruan Islam Beowe (YASRIB).
Baca Juga: Mengenal Majid Tamim, Mufasir dan Penerjemah Kitab Klasik dari Madura
Dalam perjalanannya, Anrégurutta Daud pernah menjadi imam besar di Lalabata Soppeng, guru pribadi Datuk Pattojo, pernah diangkat menjadi qadi (hakim) kab. Soppeng, ketua MUI kab. Soppeng, juga pegawai di bidang kepenghuluan di Kementerian Agama. Mengenai waktu wafatnya, AG.H. Daud Ismail meninggal di hari senin tanggal 21 Agustus tahun 2006 di usianya yang ke 99 tahun.
Kitab Tafsir al-Munir: Kitab Tafsir Pertama 30 Juz di Bugis
Di antara banyak karyanya, tafsir al-Munir merupakan sebuah masterpiece yang memiliki tempat khusus dalam kajian tafsir. Apalagi kitab tafsir ini adalah kitab tafsir pertama lengkap 30 juz yang pernah ada Bugis dengan aksara lontara. Mulai ditulis pada tahun 1981, dengan tulis tangan, kemudian diterbitkan tahun 1985. Pada mulanya Tafsir al-Munir terdiri dari 30 jilid, tiap jilid terdiri dari satu juz Al-Qur’an.
Lalu usaha pengembangan berikutnya terdiri dari 10 jilid memuat 3 juz di setiap jilidnya. Diterbitkan oleh CV. Bintang Lamumpitue Jl. Tondongkura No.8 Ujung Pandang. Bagian yang tidak biasa tertera pada bagian halaman, jika pun terdiri dari tiga juz dalam satu jilid, tapi masing-masing satu juz tafsir tersebut memiliki halamannya sendiri-sendiri yang dimulai dari awal.
Latar belakang penulisan Tafsir al-Munir, menjadi salah satu upaya untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat Bugis dalam memahami kandungan Al-Qur’an. Penggunaan aksara lontara Bugis dalam penulisan tafsir dimaksudkan untuk melestarikan bahasa Bugis agar tidak lenyap. Usaha selanjutnya, agar karya tafsirnya disimpan di masjid-masjid, dengan begitu dapat memudahkan siapa saja untuk membacanya. Cara-cara demikianlah yang ditempuh dalam menjaga bahasa Bugis di dalam kehidupan sehari-hari. Penjelasan ini sebagaimana yang dipaparkan oleh Anrégurutta Daud dalam mukaddimah kitab tafsirnya.
Di mukaddimah tafsir al-Munir juga disebutkan sebab-sebab khusus dalam penulisannya. Setidaknya dipaparkan bahwa belum ada kitab tafsir di Bugis yang utuh dan lengkap 30 juz. Disamping itu pula, belum ditemukan juga kitab tafsir berbahasa Bugis yang tersebar luas dan mudah diakses di kalangan masyarakat Bugis.
Menurut Anrégurutta Daud akan sangat baik ketika ada kitab tafsir dengan bahasa Bugis sebagaimana di daerah-daerah lainnya di Nusantara. Sebab lainnya dengan keberadaan kitab tafsirnya, orang Bugis yang tidak memahami tafsir bahasa Arab sebagaimana tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, dimudahkan dengan adanya tafsir al-Munir.
Hal yang tidak kalah pentingnya yakni informasi kepada masyarakat suku lainnya tentang keberadaan suku Bugis dengan aksara yang dimilikinya. Lebih lanjut sebagai pedoman bagi anak cucu, bagaimana menerjemah dan memberi makna Al-Qur’an yang bahasa Arab menggunakan bahasa Bugis. Tentu dengan usaha-usaha tersebut dapat menjaga sekaligus melestarikan bahasa lokal.
Contoh Penafsiran yang termuat dalam Tafsir Al-Munir:
“Nayi mata essoé neniya ulengngé pada loloi maccenné ri onrong onrong mattentunnatoha sibawa hisabé mattentu namarissengeng yinaé duwaé nassabari natakkatoro sininna urusang urusanna toripancaji monroé ritanaé nenniya yitonaé napakkéguna rupatauwwé riurusang urusang laonrrumana, padapadanna wettu napanona binéna nenniya wéttu mengngalana”
“Adapun matahari dan bulan beredar dalam garis edarnya masing-masing, dengan perhitungan yang tertentu pula. Dapat diketahui dari kedua hal ini yang menjadi sebab teraturnya segala urusan makhluk yang diciptakan di bumi. Dari dua hal ini juga dipergunakan oleh manusia dalam urusan-uruan pekerjaan mereka, dalam hal ini terkait bertani, baik ketika musim menabur benih maupun ketika musim panen”
Beberapa contoh penafsiran dalam al-Munir, berkaitan erat dengan realitas masyarakat Bugis. Seperti misalnya dalam penafsiran QS. Ar-Rahman (55):5 dengan menyinggung mengenai keteraturan benda langit pada orbitnya berkaitan dengan urusan bertani.
Baca Juga: Mengenal Muhammad Abduh Pabbajah, Mufasir Nusantara Asal Sulawesi
Tentu hal ini sesuai dengan mata pencaharian kebanyakan masyarakat Bugis ketika itu. Tidak hanya satu atau dua kali hal seperti ini disinggung dalam tafsir. Di beberapa tempat lainnya bahkan disinggung mengenai kebiasaan-kebiasaan dan hal-hal yang dekat dengan keseharian masyarakat Bugis.
Tafsir al-Munir jika diperhatikan, tampaknya lebih condong kepada tafsir dengan metode ijmāli. Di beberapa bagian tafsir ini juga menunjukkan ciri tafsir dengan corak al-adabi al-Ijtimā’i. Dua hal penting yang mendukung corak tersebut dalam tafsir al-Munir adalah unsur kebahasaan dan unsur praksis budaya. Wallahu a’lam []