Tujuan dari kajian filologi sejatinya adalah mengupayakan teks sajian yang dapat dinikmati khalayak umum, ‘making a text available’. Sehingga dengan ini, ia mampu menjembatani gap yang terjadi antara pengarang di masa lalu dengan pembaca di masa kini. Setidaknya hal itu yang coba disampaikan Oman Fathurahman dalam Filologi Indonesia.
Masih menurut Oman, untuk dapat mencapai tujuan ini, salah satu unsur terpenting dalam filologi adalah kritik teks (textual criticism). Upaya rekonstruksi yang sedapat mungkin menghasilkan versi terbaik yang mendekati ‘bentuk semula’ tulisan pengarang (autograph).
Mengapa ‘bentuk semula’ ini begitu penting? Dalam sudut pandang filologi tradisional, tradisi penulisan umumnya dilakukan dengan tulisan tangan yang sangat mungkin membuka variasi bacaan ‘baru’, entah karena kesengajaan atau murni kesalahan dari penyalin.
Baca Juga: Disimpan British Library, Beginilah Potret Empat Al-Qur’an Kuno dari Jawa
Lantas bagaimana jika teks yang tengah dikaji secara filologis adalah mushaf Al-Qur’an? Kitab suci yang menjadi petunjuk umat Islam dan ditransmisikan secara mutawatir dari generasi ke generasi. Yang karenanya ia akan terus disalin, lagi dan lagi, sampai ratusan, ribuan atau bahkan jutaan kali.
Mengacu pada ulasan ‘bentuk semula’ Oman sebelumnya, ada fakta menarik yang membedakan mushaf Al-Qur’an dengan naskah-naskah kuno lainnya. Ia, mushaf Al-Qur’an, memiliki ‘bentuk semula’ yang cukup jauh berbeda dari ‘bacaan semula’-nya. Adalah rasm ‘utsmany yang dalam banyak kesempatan memiliki perbedaan dengan versi bacaannya.
Perbedaan ‘bentuk’ dan ‘bacaan semula’ ini yang menurut penulis mengharuskan perbedaan standar acuan dalam melakukan kritik teks. Ia, kritik teks, tidak diperkenankan menghasilkan ‘bentuk terbaik’, produk transkripsi suara bacaannya. Tetapi ia, diharuskan menghasilkan ‘bentuk terasli’, sebagaimana mushaf Al-Qur’an ditulis untuk pertama kali.
Oleh karenanya, metode kritik teks yang digunakan pun menjadi berbeda. Tidak menempuh langkah inventarisasi naskah, yang lantas dipilih mana yang dianggap paling otoritatif dengan berdasar usia naskah, kejelasan bacaan, kelengkapan isi dan lain sebagainya. Melainkan dengan mengacu kaidah-kaidah yang telah disusun dalam disiplin ilmu rasm.
Mungkin pembaca akan bertanya-tanya, bukankah seharusnya langkah metodis yang ditempuh juga sama, mengingat hal itu akan membawa pada naskah mushaf tertua yang menjadi bagian awal Islam, atau paling tidak mendekati? Jawabannya adalah Ya! Memang seharusnya dilakukan inventarisasi naskah sebagaimana pada naskah yang lain. Akan tetapi, apakah hal itu memungkinkan?
Dalam tulisan penulis yang lain berjudul, Sejarah yang Hilang dalam Penulisan Rasm Mushaf Al-Qur’an, disebutkan setidaknya enam mushaf yang berasal dari abad pertama hingga kedua hijriyah. Keenam mushaf itu adalah mushaf Dar al-Kutub al-Misriyya (The Egyptian National Library), mushaf Masjid Al-Hussein, keduanya berada di Kairo; mushaf Turkish and Islamic Art Museum, mushaf Museum Topkapi, keduanya di Istanbul; mushaf Tasykent Uzbekistan; dan mushaf St. Petersburg Rusia.
Keenam mushaf ini dipercaya sebagai mushaf salinan tertua yang ada saat ini. Beberapa diantaranya bahkan diklaim menjadi bagian masa khalifah ‘Utsman. Namun setelah melalui kajian dan penelitian lebih lanjut, klaim itu pun dengan sendirinya terbantahkan.
Kalau pun ada mushaf yang benar-benar menjadi bagian dari salinan periode ‘Utsman, langkah verifikasi yang dilakukan, sebagaimana mushaf-mushaf lainnya, pun juga akan menggunakan rasm ‘utsmany sebagai standar penilaiannya. Jika demikian, mengapa tidak sejak awal menggunakan rasm ‘utsmany?
Baca Juga: Edwin Wieringa, Tentang Al-Qur’an Kuno-kunoan dan Santri NU
Disamping itu, menurut catatan yang diberikan Zainal Arifin dalam Perbedaan Rasm Usmani Mushaf Standar Indonesia dan Mushaf Madinah, literatur yang menjadi acuan rasm ‘utsmany saat ini, seperti Al-Muqni‘ fi Rasm Mashahif al-Amshar karya Abu ‘Amr al-Dany (w. 444 H.) dan Al-Tabyin li Hija’ al-Tanzil karya Abu Dawud Sulaiman Najah (w. 496 H.), jika dirunut secara genealogis akan membawa pada karya-karya yang berisi perbandingan antara mushaf-mushaf periode ‘Utsman, seperti Ikhtilaf Mashahif al-Syam wa al-Hijaz wa al-‘Iraq dan Maqthu‘ al-Qur’an wa Maushuluhu karya ‘Abdullah bin ‘Amir al-Yahsubi (w. 118 H./736 M.), salah satu imam qira’ah yang masyhur dengan sebutan Ibn ‘Amir.
Maka dari itu, katimbang harus melakukan inventarisasi naskah mushaf Al-Qur’an, menggunakan kaidah rasm sebagai langkah kritik teks terdengar lebih masuk akal.
Atas dasar ini penulis kemudian berkesimpulan bahwa kajian filologis terhadap naskah mushaf Al-Qur’an kuno mau tidak mau harus menyertakan kajian terhadap rasm-nya, sebagai upaya rekonstruksi atas ‘bentuk terasli’ sebagaimana dilakukan para sahabat dan diikuti oleh tabi‘in, radliyallahu ‘anhum. Wallahu a‘lam bi al-shawab.