Sebagai manusia tentu pernah mengalami sakit dan berobat. Namun adakalanya pengobatan yang dilakukan baik secara medis maupun non-medis tidak kunjung menuai hasil. Sejatinya, Islam (melalui ayat syifa dan hadis syifa) telah memberi petunjuk tentang ilmu kesehatan dengan mapan (established). Terbukti hal ini telah menginspirasi Ibnu Sina untuk menguak dan menuliskannya dalam magnum opusnya yang berjudul, al-Qanun fi Thibb (The Canon of Medicine).
Salah satu dari ayat syifa (obat) dalam Al-Quran yang patut kita renungi bersama di era pandemi ialah Q.S. al-Isra’ [17]: 82, berikut ayatnya,
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَاۤءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَۙ وَلَا يَزِيْدُ الظّٰلِمِيْنَ اِلَّا خَسَارًا
Dan Kami turunkan dari Al-Quran (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian. (Q.S. al-Isra’ [17]: 82)
Baca Juga: Menyoal Makna Syifa dalam Al-Quran
Tafsir Surah Al-Isra Ayat 82
Penafsiran ini kami fokuskan pada kalimat syifa untuk menyingkap makna syifa sedalam-dalamnya. Al-Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa Allah swt menurunkan Al-Quran dan semua ayatnya berisi syifa (obat). Tidak ada yang bukan syifa. Dalam hal ini terjadi ikhtilaf (berbeda pendapat) di kalangan ulama.
Pendapat pertama, mengatakan, syifa-un lil qulub bi zawal al-jahli ‘anha wa izalati al-raibi (obat atau penyembuh bagi hati dengan menghilangkan kebodohan serta keraguan). Selain itu, syifa bermakna sebagai obat untuk menghilangkan kotoran dan penyakit hati agar mampu memahami mukjizat dan segala perintah Allah swt (li fahm al-mu’jizat wal umur al-dallati).
Pendapat kedua, syifa bermakna obat terhadap tubuh yang tengah sakit baik dengan rukyah, ta’awwudz, maupun pengobatan medis. Dalam satu khabar dikatakan, “man lam yastaysfa bil quran falaa syafahullaha” (barang siapa yang mencari kesembuhan dengan Al-Quran maka Allah swt akan menyembuhkan sakitnya).
Dari penafsiran ini, syifa bermakna dua hal, yaitu syifa bermakna esoteris (aspek ruh atau kejiwaan) dan syifa bermakna eksoterik (aspek jasmani). Jadi kata syifa di sini dapat digunakan tidak hanya kesembuhan secara jasmaniah, namun juga ruhaniah.
Masih tentang penafsiran al-Qurtuby, dalam satu riwayat Rasulullah saw bersabda,
” شِفَاءُ أُمَّتِي فِي ثَلَاثٍ، آيَةٌ مِنْ كِتاب اللهِ أو لَعقةٌ مِنْ عَسَلٍ أوْ شَرْطةً مِن محِجم “
“Obat kesembuhan umatku ada tiga, yaitu dari ayat-ayat kitab Allah (Al-Quran), sesendok madu dan bekam”.
Baca Juga: Quranic Immunity: Kajian Ayat-Ayat Syifa dalam Al-Quran
Selanjutnya penafsiran cukup detail disampaikan Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, ia berujar bahwa ketahuilah sesungguhnya Al-Quran adalah obat bagi mereka yang sakit baik secara ruhaniah maupun jasmaniah. Sakit ruhaniah, kata al-Razi terbagi menjadi dua, yaitu berpegang teguh pada kebatilan (al-i’tiqadu al-bathilah) dan akhlak tercela (al-akhlaq al-madzmumah).
Mereka yang senantiasa meng-agemi (baca: memegang teguh) kebatilan sesungguhnya jiwanya sedang sakit, meski fisiknya sehat bugar. Al-Razi melukiskan mereka dengan senantiasa berbuat fasad (kerusakan) dalam aspek teologi (keyakinan), kenabian, suka bermusuhan atau memecah belah persatuan masyarakat, mengingkari qadha dan qadar Allah swt dan menegasikan kebenaran mazhab.
Sakit kedua adalah berakhlak tercela. Kecenderungan ini dilukiskan Ar-Razi dengan mengingkari kebenaran Al-Quran dan justru merusaknya. Maka cara menyembuhkannya dengan akhlak mahmudah (berakhlak yang baik).
Senada dengan Ar-Razi, Ibnu Katsir juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan akhlak madzmumah adalah penyakit hati. Penyakit hati inilah yang kerapkali menggerogoti kemurnian hati manusia sehingga menimbulkan bintik-bintik hitam jika tidak cepat didelete. Penyakit hati ini, kata Ibnu Katsir, meliputi keraguan, kemunafikan, kesyirikan dan kesesatan. Sehingga para ulama tafsir sepakat bahwa Al-Quran adalah obat penawar bagi penyakit-penyakit hati di atas.
Jenis sakit kedua ialah sakit jasmaniah (al-amradh al-jasmaniyyah) adalah penyakit fisik sebagaimana pada umumnya. Maka Al-Quran melalui ayat-ayat syifa-nya dapat digunakan sebagai obat dengan cara membaca ayat-ayat syifa, berwirid dengannya, ruqyah dengan ayat-ayat syifa, bahkan meminum ayat-ayat syifa setelah dibasuh dengan air.
Kata syifa di atas juga bermakna menguatkan pemahaman keagamaan serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, memperbaiki jiwa bagaikan obat bagi orang sakit (ma huwa fi taqwim dinihim wa istilahi nufusihim kal dawa’ al-syafi lil mardha). Hal ini persis digambarkan Al-Baidhawi dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil.
Lebih jauh al-Baidhawi menjelaskan maksud syifa di atas adalah surah Al-Fatihah. Di dalam Al-Fatihah sesungguhnya mengandung syifa yang luar biasa. Tidak mau kalah, Al-Qusyairi, tokoh sufistik kenamaan, ia menafsirkan ayat syifa di atas sebagaimana dalam Lathaif al-Isyarat dengan obat atas kebodohan dan terhindarnya dari ulama yang jahil, obat atas kesyirikan, obat atas kebimbangan, obat atas rasa cinta yang berlebihan terhadap duniawi dan obat atas kelakuan murid yang melampaui batas.
Dalam syairnya, ia senandungkan,
وكُتْبُكَ حَوْلِي لا تفارق مضجعي # وفيها شفاءٌ للذي أنا كاتِمُ
Bagaimana aku memisahkan diri dari kitabku (Al-Quran), justru aku terbangun dari tidurku karena di dalamnya penuh syifa (kesembuhan) bagiku.
Penafsiran sufistik berikutnya diwartakan Ibn ‘Ajibah dalam Al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid, kata ‘Ajibah, keseluruhan Al-Quran mengandung syifa. Syifa di atas menurutnya tidak jauh berbeda dengan al-Qusyairi, Ar-Razi, dan para ulama lainnya bahwa syifa bermakna hissi (inderawi) dan maknawi. Untuk syifa hissi seperti halnya surah Al-Fatihah dan ayat syifa di atas. Adapun syifa maknawi sangatlah banyak, seperti kesembuhan atas kebimbangan dan kebodohan (wa min saqam al-raibi wal jahli), obat atas khayalan sia-sia dan tuduhan tak berdasar (wa adawa’u al-auhami wa al-syakauki).
Baca Juga: Doa Nabi Ayyub as dalam Al-Quran untuk Kesembuhan Penyakit
Al-Quran sebagai Syifa (Obat)
Dari paparan tafsir di atas, sesungguhnya Al-Quran adalah obat penawar bagi orang beriman. Dalam konteks ayat ini, orang mukmin kerapkali dihadapkan pada kepelikan persoalan sehingga ia merasa hyperstress, kecemasan berlebihan, dan malah meminta bantuan kepada “orang pintar” yang justru menjerumuskannya pada kesyirikan.
Karena itu, pada masa pandemi seperti ini sebagaimana penjelasan Ibn al-Qayyim dan al-Dzahabi, Al-Quran adalah obat yang sempurna bagi manusia (syifa-un lin nas) untuk semua penyakit baik jasmani maupun ruhani. Lantas bagaimana caranya mengaplikasikan Al-Quran sebagai syifa?
Dale F. Eickelman dalam Al-Quran Sains dan Ilmu Sosial, terj. Lien Iffa Naf’atu Fina dan Ari Hendri menjelaskan fisik Al-Quran dapat ditempatkan pada orang yang sakit, atau misalnya sakit mata, membiarkan mata orang sakit menatap Al-Quran, berwirid dengan ayat syifa di atas dengan jumlah tertentu per hari, atau menuliskannya dalam selembar kertas lalu dilipat dan dimasukkan dalam satu wadah, dan berbagai resepsi lainnya.
Ibn al-Qayyim juga menggarisbawahi bahwa keyakinan manusia dan diri sendiri akan kuasa Allah swt itulah yang sangat esensial. Betapa tidak? Al-Quran sebagai hudan telah memberikan panduan-panduan syifa, demikian pula pengobatan medis, semua itu hakikatnya yang memberi kesembuhan hanyalah Allah swt semata. Hanya dengan pasrah dan meminta kepada-Nyalah penyakit dan segala problem dapat teratasi.
Sebagai penutup, Fazlur Rahman pernah melukiskan Islam dalam karyanya, Health and Medicine in the Islamic Tradition, bahwa Islam tidak hanya sekadar agama (ortodoksi) yang berkutat pada persoalan teologis melainkan Islam juga memiliki konsepsi kesehatan yang established (mapan). Sehingga umat Islam harus yakin akan kebenaran Al-Quran sebagai syifa. Wallahu A’lam