Islam menetapkan bahwa ada tiga jalur seseorang dapat menjadi keluarga kita, sehingga berlaku padanya hukum mahram. Yaitu jalur orang tua kandung, jalur pernikahan dan jalur persusuan (radha’). Di antara ketiganya, jalur persusuan bisa dibilang jalur yang kurang dikenal. Sebab masyarakat lebih mengenal sistem kekeluargaan yang tercipta dari orang tua kandung dan mertua. Jalur persusuan bisa jadi memunculkan banyak pertanyaan. Seperti bagaimana seorang perempuan dapat menjadi ibu persusuan? Dan berapa batas umur bayi yang meminum asi dari selain ibunya mampu dikatakan sepersusuan?. Berikut keterangan Al-Qur’an mengenai batas umur anak yang menyebabkan persusuan (radha’).
Baca juga: Tafsir Ayat Syifa: Menebar Keselamatan dan Mencegah Kegaduhan
Batas Umur dalam Radha’ (Sepersusuan)
Para ulama’ menyatakan, seorang perempuan bisa menjadi ibu radha’ tidak hanya cukup melalui tindakan menyusui saja. Namun juga melihat umur si anak yang disusui. Banyak ulama’ yang mensyaratkan dalam hukum radha, umur si anak yang disusui belum sampai usia dua tahun. Hal berdampak saat ada seorang dewasa dengan sengaja atau tidak sengaja meminum asi orang lain, maka si pemilik asi bukanlah dianggap ibu radha’ baginya, di sebabkan ia sudah berusia lebih dari dua tahun.
Ulama’ menetapkan adanya syarat si anak yang menyusu berusia di bawah dua tahun berdasar firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 233:
۞ وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ
Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan (QS. Al-Baqarah [2] :233)
Ayat di atas sebenarnya adalah anjuran bagi para ibu bayi secara umum agar menyusui bayinya selama dua tahun penuh. Ayat ini kemudian dijadikan pijakan oleh para ulama’ dalam menentukan umur si anak dalam masalah radha’ yang dapat menjadikan si ibu dihukumi layaknya satu nasab dengan si anak.
Baca juga: Pengertian Kata Tawaduk dan Konteksnya dalam Surah al-Furqan Ayat 63
Imam Ibn Katsir di dalam tafsirnya menyatakan, berdasar ayat di atas, mayoritas ulama’ menyatakan bahwa tindakan menyusui tidak akan memunculkan hukum si ibu dihukumi satu nasab, kecuali si anak berusia di bawah 2 tahun. Apabila di atas 2 tahun, maka si ibu tidak bisa dihukumi sebagaimana satu nasab (Tafsir Ibn Katsir/1/633).
Imam Ar-Razi menjelaskan cara ulama’ memahami ayat di atas sehingga dapat memunculkan kesimpulan batas umur dalam radha’. Ia menerangkan, ayat tersebut tidak sedang ingin mewajibkan seorang ibu menyusui anaknya selama 2 tahun. Sebab anjuran tersebut dikaitkan dengan keinginan untuk menyempurnakan tindakan menyusui anak. Konsekwensi pemahaman tersebut adalah, apabila tidak ingin menyempurnakan tindakan menyusui, maka boleh berhenti menyusui meski belum sampai 2 tahun.
Sebab Turunnya Ayat
Lalu apa tujuan dari disampaikannya ayat tersebut bila bukan soal kewajiban menyusui? Ada dua tujuan. Pertama, memberikan patokan sampai kapan seorang ibu dapat dituntut menyusui anaknya. Hal ini penting saat terjadi percekcokan antar sepasang pasutri perihal menyusui anak mereka. Kedua, menunjukkan bahwa tindakan menyusui memiliki dampak hukum khusus di dalam syariat. Yaitu membuat perempuan yang menyusui selain anak kandungnya, dihukumi sebagaimana ibu dalam satu nasab dengan si anak. Dan Surat Al-Baqarah ayat 233 menerangkan batas dari hukum khusus tersebut (Tafsir mafatihul ghaib/3/349).
Ulama’-ulama’ yang meyakini pendapat ini diantaranya adalah Muhammad ibn ‘Abdul Hakam, Ibn ‘Abbas, Ibn Mas’ud, Az-Zuhri, Sufyan At-Tsauri, Al-Auza’i, Imam Asyafi’i, Imam Ahmad, Abu Yusuf dan Abi Tsaur. Meski begitu, ada ulama’ yang memiliki batas yang berbeda. Abu Hanifah semisal, menetapkan batas usia anak dalam radha’ adalah 30 bulan. Abu Hanifah mendasarkan pendapatnya pada Surat Al-Ahqaf ayat 15 (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab/18/212).
Baca juga: Tafsir Ahkam: Kebolehan Memakan Makanan Haram dalam Situasi Darurat
Dalam permasalahan hukum radha’, ulama’ tidak hanya menentukan syarat batas umur anak yang menyusu. Namun juga menentukan batas berapa kali hisapan seorang anak sehingga dapat dikategorikan radha’. Dan ulama’ juga berbeda pendapat soal ini. Namun syarat ini bukanlah termasuk hukum yang digali dari Surat Al-Baqarah ayat 233 di atas (Tafsir Al-Qurthubi/5/109).
Hal utama yang dapat kita fahami lewat berbagai uraian di atas adalah, apabila seorang dewasa meminum asi seorang perempuan, maka si perempuan tidaklah lantas menjadi ibu radha baginya. Hukum radha tidak secara mutlak menyatakan setiap aktivitas menyusui pasti memunculkan hukum radha. Hukum radha’ menetapkan banyak syarat-syarat sebelum kemudian si perempuan dikenai hukum sebagaimana hukum ibu kandung bagi si anak yang menyusu. Wallahu a’lam bishshowab