Sebagaimana dijelaskan pada artikel, “Sejarah Lembaga Tahfiz Al-Qur’an di Indonesia”, pembelajaran Al-Qur’an di Nusantara hadir beriringan dengan kedatangan Islam pada abad ke 12 M. Sejak itu, pembelajaran Al-Qur’an – termasuk pembelajaran tajwid – mulai berkembang sedikit demi sedikit hingga menjadi seperti yang disaksikan saat ini.
Pada mulanya, pembelajaran tajwid hanyalah upaya individual di mana seorang murid belajar kepada guru berkenaan cara membaca Al-Qur’an yang baik dan benar. Saat itu, tidak ada kurikulum khusus atau lembaga tertentu yang menaungi kegiatan pembelajaran tajwid dan Al-Qur’an. Kegiatan ini biasanya terpusat di Masjid atau surah, tempat ibadah umat Islam.
Pelembagaan pembelajaran Al-Qur’an atau pendidikan Islam baru dilakukan pada abad ke 15 M, tepatnya pada padepokan Ampel di bawah bimbingan Syekh Ahmad Rahmatillah atau lebih dikenal sebagai Sunan Ampel. Setelah itu bermunculan berbagai pesantren yang menjadi pusat pendidikan Islam (Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia).
Baca Juga: Hukum Lam Sukun dalam Ilmu Tajwid
Kendati pada masa awal Islam di Nusantara belum ada instansi dan kurikulum khusus – seperti kurikulum modern – terkait pembelajaran tajwid, namun mayoritas guru atau ulama saat itu menggunakan kitab tertentu sebagai bahan acuan dalam pembelajaran mereka. Literatur-literatur inilah yang menjadi referensi utama pembelajaran tajwid di Nusantara.
Menurut para peneliti – sebagaimana diungkapkan Wawan Djunaedi dalam Sejarah Qira’at Al-Qur’an di Indonesia – terdapat beberapa literatur yang dijadikan sebagai acuan utama dalam pembelajaran tajwid di Nusantara pada masa awal kedatangan Islam. Mayoritas kitab ini berasal dari karangan ulama asal timur tengah, di antaranya:
- Hidayat al-Mustafi fi ‘Ilm al-Tajwid
Kitab Hidayat al-Mustafi fi ‘Ilm al-Tajwid merupakan karya Muhammad al-Mahmud al-Najar atau yang lebih masyhur dengan sebutan Abu Rimah. Kitab ini ditulis dengan tujuan agar dapat dijadikan sebagai buku pedoman pembelajaran tajwid bagi anak-anak atau bisa dikatakan sebagai buku pengantar ilmu tajwid bagi pemula (muqaddimah fi ilm al-tajwid).
Kitab ini terdiri dari tiga bagian, yakni: pertama, mukadimah yang berisi tentang latar belakang penyusunan kitab; kedua, pembahasan yang berisi tentang hukum dan penjelasan – kurang lebih sebanyak 15 pasal – seperti bacaan ta’awwudz, basmalah, nun sakinah, tanwin, mim taysdid, nun tasydid, alif lama qamariah dan alif lam syamsiah; ketiga, penutup yang berisi penjelasan tentang tradisi ulama mengkhatamkan Al-Qur’an.
Kitab kedua yang dijadikan referensi utama pembelajaran tajwid di Nusantara awal adalah Fathu al-Rahman fi Tajwid al-Qur’an. Kitab ini ditulis oleh Sa’ad bin Nabhan dan pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh KH. Ahmad Shiddiq, Ra’is Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tahun 1984-1991), untuk diterbitkan di Surabaya.
Sama seperti kitab Hidayat al-Mustafi fi ‘Ilm al-Tajwid, kitab Fathu al-Rahman fi Tajwid al-Qur’an juga terdiri dari tiga bagian, yakni: pertama, mukadimah yang terdiri dari salam dan kata pengantar; kedua, pembahasan yang terdiri dari 15 pasal terkait hukum bacaan tajwid seperti izhar, ikhfa, iqlab, mim sakinah, idgam bigunnah dan idgam bi ghairi gunnah; ketiga, penutup.
Kalau kita memperhatikan dan menelaah secara saksama kitab kitab Fathu al-Rahman fi Tajwid al-Qur’an – meskipun tidak ada keterangan eksplisit mengenai qiraat apa yang digunakan di dalamnya – maka dapat disimpulkan bahwa kitab ini disusun berdasarkan mazhab qiraat Imam ‘Ashim riwayat Hafs yang lumrah digunakan di Indonesia.
Kitab Hidayah al-Sibyan fi Tajwid al-Qur’an disusun oleh Sa’ad bin Nabhan, pengarang kitab Hidayat al-Mustafi fi ‘Ilm al-Tajwid. Kitab ini berisi tentang 39 bait syair mengenai tajwid yang terbagi kepada tiga bagian, yakni 1) mukadimah, 2) pembahasan yang terdiri 6 bab, yakni tanwin dan nun sakinah, mim dan nun tashdiq, mim sakinah dan idgham, lam ta’rif, dan lam fi’il, tafkhim dan qalqalah, dan mad, 3) serta penutup.
Kitab Tuhfah al-Atfal disusun oleh Sulaiman bin Husain bin Muhammad al-Jamzury asal Mesir atau yang lebih dikenal sebagai Alfandi. Menurut Ali Mursyid dalam Tajwid di Nusantara: Kajian Sejarah, Tokoh dan Literatur, kitab ini ditujukan untuk pembelajaran tajwid bagi anak-anak sebagaimana judulnya. Bisa dikatakan isinya yang terdiri dari syair cukup sederhana dan mudah dipahami.
Baca Juga: 10 Pertanyaan Dasar Seputar Ilmu Tajwid yang Harus Kamu Tahu
Kitab Matan al-Jazariyah ditulis oleh Abu al-Khair Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-jazari dalam bentuk nazham yang berjumlah 107 syair. Ibnu al-jazari membagi kitabnya ke dalam tiga bagian, yakni: 1) pendahuluan, 2) pembahasan yang terdiri dari makhraj al-huruf, sifat huruf, huruf lam, idgham mutamasilain dan mutajanisain, nun sakinah dan tanwin, macam-macam madd, waqaf dan ibtida, maqtu’ dan mausul, serta 3) penutup.
Satu hal yang perlu diketahui, mayoritas kitab atau referensi pembelajaran tajwid di Nusantara di atas ditulis berdasarkan mazhab qiraat Imam ‘Ashim riwayat Hafs yang lumrah digunakan di Indonesia. Bisa dikatakan bahwa referensi inilah – selain mushaf yang dibawa oleh pedagang muslim asal Gujarat India – yang menjadi faktor utama tersebarnya qiraat ‘Ashim. Wallahu a’lam.