Tafsir dapat dipahami sebagai upaya manusia memahami Al-Qur’an, baik tulisan, lisan, bahkan juga tindakan. Dalam upaya memahami Al-Qur’an tersebut, Abdul Mustaqim membagi dua tipologi penafsiran, yaitu tafsir sebagai produk dan tafsir sebagai proses. Kedua tipologi tersebut berangkat dari kajiannya terhadap dua pemikir Islam modern-kontemporer, yakni Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur.
Kajian Abdul Mustaqim tentang pemikiran tafsir Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur dilakukan pada kerja disertasinya yang kemudian dijadikan buku berjudul “Epistemologi Tafsir Kontemporer”. Pada bagian pengantarnya, Abdul Mustaqim mengulas kesimpulan hakikat tafsir menurut Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur dengan bermuara pada tafsir sebagai produk dan proses. Di sini, tulisan ini akan membahas dua tipologi tafsir tersebut.
Baca Juga: Fazlur Rahman: Sarjana Muslim Pencetus Teori Double Movement
Sekilas tentang Abdul Mustaqim dan Kajiannya
Abdul Mustaqim adalah Guru Besar bidang Ulum Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selama karirnya, ia menduduki beberapa jabatan penting seperti sebagai ketua program studi ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IIQ An-Nur (2005-2010), ketua program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2015-2020), pengasuh Pesantren Mahasiswa Lingkar Studi Qur’an (LSQ) Al-Rahmah Yogyakarta (2012-sekarang), direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2021-sekarang), dan lainnya.
Abdul Mustaqim termasuk sarjana yang produktif menghasilkan karya tulis. Tercatat ada sekitar 30an publikasi artikel jurnal berstandar nasional dan internasional, sekitar 10an publikasi buku. Salah satu buku yang banyak dirujuk dalam perkembangan kajian tafsir Al-Qur’an era modern-kontemporer adalah “Epistemologi Tafsir Kontemporer” (2010). Buku ini pada dasarnya merupakan kerja disertasi Abdul Mustaqim yang berjudul “Epistemologi Tafsir Kontemporer: Studi Komparatif antara Fazlur Rahman dan Muhammad Syahur” (2007).
Abdul Mustaqim mengatakan bahwa Fazlur Rahman hendak menjadikan tafsir upaya memahami Al-Qur’an yang memiliki makna secara fungsional. Kedudukannya secara fungsional ini merujuk kepada ketika Al-Qur’an disampaikan di Arab era pewahyuan, yaitu secara fungsional memberikan solusi terhadap berbagai persoalan yang muncul dan berkembang pada saat itu.
Dengan menggunakan teori the history of idea, Abdul Mustaqim menyimpulkan bahwa terjadi pergeseran epistemologi dalam perjalanan tradisi penafsiran Al-Qur’an, sejak masa Nabi Muhammad SAW hingga saat ini. Pergeseran epistemologi tersebut kemudian dapat dibagi menjadi tiga. (1) tafsir era reformatif berbasis nalar quasi-kritis, (2) tafsir era afirmatif berbasis nalar idelogis, dan (3) tafsir era reformatif berbasis nalar kritis.
Berdasarkan tiga bentuk pergeseran epistemologi di atas, Abdul Mustaqim akhirnya menemukan pemikiran Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur yang dilihatnya dari dua perspektif. Dua perspektif tersebut kemudian menjadi tipologi penafsiran Al-Qur’an, yakni tafsir sebagai produk dan tafsir sebagai proses.
Penafsiran Al-Qur’an sebagai Produk
Dalam pengertian Abdul Mustaqim, yang dimaksud tafsir sebagai produk adalah hasil atau karya dari interaksi penafsir, teks Al-Qur’an, dan konteks. Dalam hal ini, penafsir tentu dipengaruhi oleh konteks dan keadaan di mana ia hidup, baik berupa sosio-historis, geo-politik, hingga latar belakang keilmuan. Bahkan dalam penafsirannya, kerapkali dipengaruhi oleh ‘kepentingan’ yang dibawanya.
Karena ia adalah sebuah produk manusia dalam konteks tertentu, tafsir bukan hanya dapat dikritik, ditolak, tetapi juga dapat –bahkan harus- selalu direkonstruksi sekiranya tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman kontemporer. Karena itu, penafsiran Al-Qur’an akan selalu mengalami perkembangan, pluralitas, relatif, intersubjektif, hingga tentatif.
Menurut Abdul Mustaqim, persoalan utama dalam penafsiran Al-Qur’an adalah bagaimana memahami dan memaknai teks Al-Qur’an, yang berasal dari masa lalu, yang kitab baca saat ini? Apakah sekedar mengikuti makna dan pemahaman ketika teks Al-Qur’an muncul pertama kali era pewahyuan? Atau sebenarnya penafsir mendapat hak, bahkan berkewajiban melakukan produksi makna baru sesuai konteks dan tuntunan zamannya?
Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur berbeda dalam menjawab persoalan-persoalan di atas. Fazlur Rahman mengatakan bahwa pada hakikatnya, tafsir merupakan upaya penafsir untuk mampu menemukan makna otentik (ideal moral) dari teks Al-Qur’an yang terikat oleh konteks pewahyuannya, yang kemudian melakukan kontekstualisasi berdasarkan konteks penafsirnya.
Sementara itu, Muhammad Syahrur mengatakan bahwa tidak perlu melakukan pencarian makna otentik dari teks Al-Qur’an pada masa lalunya. Tetapi, menurut Muhammad Syahrur, makna Al-Qur’an dapat ditemukan langsung yang sesuai dan relevan oleh konteks penafsirnya. Hal ini karena makna tersebut berkembang sesuai perkembangan nalar keilmuan kontemporer.
Penafsiran Al-Qur’an sebagai Proses
Dalam pengertian Abdul Mustaqim, yang dimaksud tafsir sebagai proses adalah aktivitas penafsiran Al-Qur’an yang terjadi terus-menerus, kapan dan di manapun. Dalam hal ini, Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur sepakat bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang selalu cocok dan relevan dalam ruang dan waktu, dengan terus melakukan penafsiran yang kreatif dan produktif. Dalam mencapai kedudukan Al-Qur’an tersebut, Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur menawarkan metode penafsiran Al-Qur’an.
Fazlur Rahman menawarkan dua metode, yaitu pertama hermeneutika double movement, yakni upaya mencari makna otentik (ideal moral) Al-Qur’an pada era pewahyuan, kemudian melakukan kontekstualisasi makna tersebut ke dalam kehidupan kekinian. Kedua, metode tematik dalam rangka menemukan pandangan Al-Qur’an yang holistin dan komprehensif berdasarkan Al-Qur’an sendiri, sehingga subjektivitas dan bias penafsiran dapat diminimalisir.
Sama halnya Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur juga menawarkan dua metode, pertama metode ijtihad dengan pendekatan ‘teori batas’ (nazhariyyah al-hudud). Metode pertama ini dapat digunakan dalam memahami ayat-ayat yang terkait hukum (muhkamat). Menurut Abdul Mustaqim, penggunaan metode ini akan menjaga sakralitas teks Al-Qur’an, serta menghasilkan penafsiran yang dinamis sesuai perkembangan zaman.
Baca Juga: Muhammad Syahrur, Salafisme dan Hakikat al-Qur’an Shalih li Kulli Zaman wa Makan
Metode kedua adalah metode hermeneutika takwil dengan pendekatan linguistic-santifik yang dapat digunakan dalam memahami ayat-ayat yang berisi informasi atau isyarat ilmu pengetahuan (mutasyabihat). Menurut Abdul Mustaqim, penggunaan metode ini akan membuktikan kebenaran informasi yang terkandung dalam Al-Qur’an dengan kenyataan yang dihadapi penafsirnya. Sehingga, akan terlihat kecocokan kebenaran absolut Al-Qur’an dengan kebenaran relatif manusia.
Sampai di sini, kajian Abdul Mustaqim terhadap pemikiran Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur memperlihatkan bahwa sebagai produk, tafsir bersifat sementara, berbeda dengan Al-Qur’an yang bersifat abadi. Sementara sebagai proses, tafsir menuntut untuk terus dilakukan sepanjang zaman, dengan berdasarkan metode yang mumpuni dan jelas, sebagaimana dilakukan oleh, misalnya, Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur. [] Wallahu A’lam.