Beda pendekatan, beda penafsir, akan beda pula hasil penafsiran seseorang atas suatu ayat Al-Quran. Inilah yang terjadi pada penafsiran ayat tentang riba, mulai dari pengertiannya, kriterianya dan hukumnya, terlebih ketika bahasan riba ini dikaitkan dengan bunga bank. Tulisan kali ini akan menafsirkan ayat tentang riba, khususnya surah Ali Imran [3]: 130 dengan pendekatan double movement Fazlur Rahman, dan seperti yang disampaikan di awal, penafsiran dengan pendekatan ini tentu tidak akan sama dengan penafsiran lainnya.
Baca Juga: Fazlur Rahman: Sarjana Muslim Pencetus Teori Double Movement
Double Movement Fazlur Rahman
Fazlur Rahman sendiri adalah pemikir Islam modern berkebangsaan Pakistan. Pemikirannya yang kerap dijadikan kiblat oleh para pengkaji tafsir Al-Quran era modern salah satunya adalah teori double movement.
Double movement atau yang sering diistilahkan dengan gerakan ganda. Gerakan atau langkah pertama yaitu, membawa ayat Al-Quran yang ditafsirkan pada situasi atau problem historis di mana pernyataan Al-Quran tersebut merupakan jawabannya. Di sini biasanya seseorang akan menemukan problem atau masalah spesifik yang mengitari turunnya suatu ayat.
Gerakan atau langkah kedua adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat “disaring” dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis yang sering dinyatakan. (Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual)
Langkah yang pertama itu sendiri mengimplikasikan langkah yang kedua dan membawa kepadanya. Selama proses ini perhatian harus diberikan kepada arah ajaran Al-Quran sebagai suatu keseluruhan, sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan dan setiap tujuan yang diruuskan akan koheren dengan yang lainnya.
Al-Quran sebagai suatu keseluruhan menanamkan suatu sikap yang pasti terhadap hidup dan memiliki suatu pandangan dunia yang kongkrit; ia juga mendakwahkan ajarannya “tidak mengandung kontradiksi-dalam”, tetapi koheren secara keseluruhan.
Kurdi dalam Hermeneutika A-Qur’an dan Hadis membahasakan ulang dua langkah Fazlur Rahman ini seraya menebak maksud dari Rahman dengan pendekatannya tersebut. Tujuan menelaah historis yang dilakukan oleh Rahman yaitu untuk mencari nilai-nilai universal. Dalam bahasa Fazlurrahman menyebutnya dengan ideal moral, sebab ideal moral berlaku sepanjang masa dan tidak berubah-rubah.
Dalam hal ini, Rahman membedakan antara ideal moral dengan legal spesifik. Ideal moral adalah tujuan dasar moral yang dipesankan Al-Qur’an. Sedangkan legal spesifik ketentuan hukum yang diterapkan secara khusus. Ideal moral lebih patut diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifik. Sebab, ideal moral bersifat universal. Al-Quran dipandang elastis dan fleksibel. Sedangkan legal spesifik lebih bersifat partikular.
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Larangan Riba dan Ancamannya
Penafsiran Fazlur Rahman tentang ayat riba
Penafsiran Fazlur Rahman tentang ayat riba muncul ketika beliau diminta memberikan pandangan tentang hukum bunga bank oleh pemerintah Pakistan pada tahun 1962. Di Pakistan, masalah riba dan bunga bank merupakan masalah yang mengundang kontroversi, ketika pemerintah Pakistan mengajukan anggaran belanja kepada Majelis Nasional. Anggaran itu ditolak karena dianggap tidak konstitusional dan dinilai tidak islami sebab didasarkan pada bunga bank yang dilarang Islam. Dia pun akhirnya meneliti tentang hakikat riba yang dilarang dalam al-Qur’an dan mencermati alasan-alasan yang melatarbelakangi keharaman riba tersebut.
Bagi Fazlur Rahman, riba merupakan hal yang jelas dilarang dalam al-Qur’an. Namun bagi Rahman, larangan riba tersebut harus dipahami dalam konteks umum masyarakat Arab ketika turun ayat itu. Dengan metode tematiknya, Rahman mengumpulkan ayat-ayat yang berbicara tentang riba. Kemudian melakukan pendekatan sosio-historis, dia melacak bagaimana situasi sosio-historis masyarakat Arab ketika itu. Kemudian melalui metode hermeneutika double movement dia berupaya memahami ayat-ayat al-Qur’an dalam konteksnya, serta memproyeksikannya ke dalam situasi masa kini, khususnya kondisi yang dihadapi oleh Pakistan. (Abdul Mustaqim. Epistemologi Tafsir Kontemporer)
Dalam menafsirkan riba yang dilarang dalam Al-Quran Fazlur Rahman tidak tergesa-gesa. Dia meneliti terlebih dahulu apa hakikat riba yang dilarang dalam Al-Quran dan mencermati alasan-alasan yang melatarbelakangi keharaman riba. Setelah melacak bagaimana kondisi situasi sosio-historis masyarakat Arab ketika turunnya ayat riba dan dan mencari nilai-nilai ideal moral yang terkandung dalam keharamannya, Rahman kemudian mengkontekstualisasikan nilai-nilai ideal moral tersebut pada situasi saat ini atau kontemporer.
Menurut Rahman, riba yang dilarang dalam Al-Quran adalah praktik riba yang berlipat ganda (ad’afan muda’ afatan) pada QS. Ali Imran: 130. Pada saat itu, masyarakat Arab melakukan praktik-praktik ekonomi yang tidak etis dan eksploitatif, semisal mengurangi timbangan dan praktik riba yang berlipat ganda. Sehingga, masyarakat yang secara ekonomi sudah lemah menjadi sangat tertekan sehingga menjadi korban eksploitasi orang-orang kaya yang meminjamkan uangnya. Dengan kata lain, ideal moral dari ayat tersebut adalah larangan melakukan eksploitasi terhadap kaum ekonomi lemah. Dengan demikian, selagi bank tidak menerapkan tambahan yang berlipat ganda (eksploitatif) maka hal itu dapat dibenarkan. (Abdul Mustaqim. Epistemologi Tafsir Kontemporer)
Menurut Rahman, pada sisi lain, tidak semua tambahan itu riba. Dalam sebuah riwayat disebutkan, ketika Nabi hendak mengembalikan hutangnya, seekor unta, ia menyuruh seseorang mengambil seekor unta yang lebih besar dari unta yang dipinjamnya dulu, seraya berkata, khoirukum ahsanukum qadaan (sebaikbaik kamu adalah yang membaikkan pembayaran hutang). Kasus ini memberi petunjuk bahwa orang kaya yang mengembalikan hutangnya dengan tambahan termasuk orang terpuji, tidak termasuk melakukan riba. Dengan demikian tidak setiap tambahan atas jumlah pinjaman dari pihak yang berhutang disebut riba, tetapi lebih tergantung pada latar belakang dan akibat yang ditimbulkan oleh transaksi peminjaman itu sendiri.
Baca Juga: Tafsir Surah An-Nisa’ ayat 29: Prinsip Jual Beli dalam Islam
Bila hal ini dikaitkan dengan kondisi ekonomi negara yang menggunakan mata uang “berlangganan” inflasi, maka petunjuk Nabi agar orang mampu tentunya yang berhutang mengembalikannya dengan sebaik-baiknya, maka tambahan atas jumlah pinjaman harus diberikan. Andaikata inflasi suatu mata uang sebesar 10 persen setahun, maka orang membayar jumlah pinjaman dengan tenggang waktu satu tahun, misalnya dengan tambahan 10 persen, belum dapat dikatakan terpuji, karena ia sebenarnya baru membayar jumlah pinjaman ketika meminjam, belum memberikan tambahan yang “sesungguhnya”. Apalagi tidak memberi tambahan apapun, tentu termasuk merugikan orang lain. (Muh. Zuhri, Riba Dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan )
Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa penafsiran Fazlurrahman atas larangan riba dalam al-Qur’an lebih menekankan aspek moral yang terkadung di dalamnya daripada aspek legal-formal pelarangan riba. Riba yang dilarang dalam al-Qur’an adalah riba jahiliyyah yang mempraktikkan riba yang berlipat ganda (ad’afan muda’afatan) sebagaimana tersurat dalam QS. Ali Imran: 130.
Pada waktu ayat ini turun, terdapat kelompok masyarakat yang secara ekonomi sangat tertekan sehingga menjadi korban eksploitasi orang-orang kaya yang meminjamkan uangnya. Dengan kata lain, ideal moral dari ayat tersebut adalah larangan melakukan eksploitasi terhadap kaum ekonomi lemah. Dengan demikian, selagi bank tidak menerapkan tambahan yang berlipat ganda (eksploitatif) maka hal itu dapat dibenarkan.
Wallahu a’lam