Pendekatan kontekstualisasi yang dicetuskan Abdullah Saeed bukan tanpa dasar. Secara substansi, banyak ditemui dalam tradisi pemahaman Al-Qur’an oleh umat Islam, bahkan sejak awal Islam pada abad pertama hijriyah. Di sini, Abdullah Saeed mengangkat Umar bin Khattab sebagai tokoh (ter)penting pada periode awal Islam. Paparan penafsiran Umar disajikan dalam buku berjudul Reading the Qur’an in the Twenty-first Century: a Contextualist Approach.
Dengan menjadikan Umar sebagai dasar, maka tafsir kontekstual dinilai memiliki dasar yang sangat kuat. Hal ini penting pada dua sisi, (1) menangkal dan menjawab berbagai keraguan bahkan penolakan dari berbagai pihak, (2) menjadi kesadaran pribadi agar apa yang dipahami dari Al-Qur’an dapat dipertanggungjawabkan dan dipahami secara epistemologinya.
Berbagai kalangan menyepakati bahwa posisi Umar dalam Islam sangat penting. Umar banyak berkontribusi dalam dakwah Nabi Muhammad SAW, termasuk dalam hal penyelesaian berbagai masalah umat. Demikian juga dalam masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar menjadi penasehat penting saat itu.
Menariknya, banyak pemahaman Umar yang kemudian menjadi kebijakan pada Islam Awal, yang sepintas lalu bertentangan secara literal Al-Qur’an. Hal inilah yang dikaji oleh Abdullah Saeed dalam rangka memahami Al-Qur’an di era modern-kontemporer.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Apakah Semua Darah Haram Dikonsumsi? Ini Penjelasannya
Mengenal Abdullah Saeed dan Tafsir Kontekstualnya
Abdullah Saeed, lahir 25 September 1964 di Maldives, merupakan professor dalam bidang Studi Arab dan Islam di Universitas Melbourne, Australia. Pendidikan S1 (1986) dalam bidang Islamic Studies dari Arab Saudi. Kemudian berlanjut ke jenjang S2 atau master di bidang Linguistik Terapan, serta gelar doctor dibidang Islamic Studies pada 1992 di Universitas Melbourne. Tahun 2003, Abdullah Saeed berhasil meraih gelar Professornya.
Abdullah Saeed menjadi sarjana yang terbilang sangat berpengaruh dalam pemahaman Al-Qur’an di era modern-kontemporer. Pendekatan kontekstualisasinya menjadi sumbangsih penting dalam mengungkap pemahaman dasar Al-Qur’an, yang kemudian diterapkan pada waktu dan ruang yang berbeda ketika Al-Qur’an diwahyukan. Argumentasinya jelas, Al-Qur’an diwahyukan di waktu dan ruang yang terikat oleh konteks tertentu, yakni Arab awal abad ke-7 M.
Adapun diskusi pendekatan kontekstualisasi Abdullah Saeed dapat ditemukan dalam beberapa bukunya, seperti Interpreting the Qur’an: Toward a Contemporary Approach (2006) yang diterjemahkan menjadi Paradigma, Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis atas Al-Qur’an (2015), the Qur’an: an Introduction (2008) yang diterjemahkan menjadi Pengantar Studi Al-Qur’an (2016); Reading the Qur’an in the Twenty-firs Century: a Contextualist Approach (2014) yang diterjemahkan menjadi Al-Qur’an Abad 21: Tafsir Kontekstual (2016), dan lainnya.
Baca juga: Benarkah Kata Hisab dalam Al-Quran Hanya Bermakna Perhitungan Amal?
Banyaknya buku Abdullah Saeed, terkait kontekstualisasi Al-Qur’an, yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia menunjukkan bahwa pemikiran Abdullah Saeed patut dipertimbangkan dalam membumikan Al-Qur’an di Indonesia. Boleh jadi, ini disebabkan karena berbagai argumentasi Abdullah Saeed sangat kuat dan cenderung mudah dipahami. Termasuk dalam hal ini adalah penafsiran Umar.
Delapan Penafsiran Umar bin Khattab
Ada beberapa penafsiran Umar yang diangkat Abdullah Saeed untuk menunjukkan bahwa pemahaman Al-Qur’an dengan melibatkan konteks telah berlangsung sejak Islam awal. (1) Para penerima zakat. (2) Pendistribusian rampasan perang. (3) Pendistribusian bagian harta rampasan perang untuk keluarga Nabi. (4) Pelaksanaan hukuman Al-Qur’an. (5) Larangan bagi muslim laki-laki menikahi perempuan Yahudi dan Nasrani. (6) Hukum waris. (7) Shalat tarawih jama’ah. (8) Membebaskan budang perempuan yang melahirkan anak.
Pertama, Abdullah Saeed mengungkap bahwa Umar keluar dari pemahaman literal QS. Al-Taubah: 60 terutama ‘para muallaf yang dibujuk hatinya’ berhak menerima zakat. Umar menilai bahwa ayat tersebut terikat oleh konteks ketika Islam dan pengikutnya masih dalam keadaan lemah. Sehingga, pemberian zakat kepada mereka bertujuan untuk memperkuat Islam, sebagai agama baru. Setelah Islam menjadi kuat, pemberian zakat kepada muallaf tersebut tidak perlu lagi dilakukan.
Kedua, Abdullah Saeed mengungkap bahwa Umar keluar dari pemahaman literal QS. Al-Anfal: 1-2 dan QS. Al-Hasyr: 7 tentang pendistribusian harta rampasan kepada para tentara. Umar menilai bahwa ayat tersebut mesti dipahami ulang karena konteksnya berubah. Di sini, wilayah beserta harta rampasan di dalamnya mesti dimanfaatkan untuk generasi umat Islam selanjutnya, sehingga tidak boleh lagi diberikan kepada para tentara.
Ketiga, Abdullah Saeed mengungkap bahwa Umar keluar dari pemahaman literal QS. Al-Anfal: 41 tentang hak keluarga Nabi Muhammad SAW mendapat harta rampasan. Umar menilai bahwa kewenangan mendistribuikan harta rampasan berdasarkan kebutuhan. Sisi kebutuhan ini menjadi perhatian Nabi Muhammad SAW, sehingga Nabi membagikan harta rampasan kepada keluarganya yang membutuhkan, itupun tidak sebanyak dari yang diberikan kepada orang lain.
Baca juga: Sayyid Qutb: Intelektual Mesir Penulis Tafsir Fi Zilal aL-Qur’an
Keempat, Abdullah Saeed mengungkap bahwa Umar tidak menerapkan hukuman Al-Qur’an atas kejahatan sosial tertentu, karena berdasar pada perubahan konteks. Misalnya, Umar tidak memotong tangan bagi pencuri, karena pada saat itu sedang terjadi keadaan kelaparan di Madinah, yang memicu seseorang terpaksa melakukan pencurian. Pemahaman Umar tersebut keluar dari makna literal QS. Al-Maidah: 38.
Kelima, Abdullah Saeed mengungkap bahwa Umar keluar dari pemahaman literal QS. Al-Maidah: 5 tentang bolehnya muslim menikahi non-muslim. Umar menilai bahwa kebolehan pernikahan tersebut terkait erat pada konteks keberadaan muslim di tengah-tengah komunitas non-Muslim. Tetapi, demi menjaga kemurnian Islam, Umar melarang terjadinya pernikahan dengan non-muslim.
Keenam, Abdullah Saeed mengungkap bahwa Umar keluar dari pemahaman literal tentang ayat terkait warisan yang dibagi hingga habis 100 persen. Dalam hal ini Umar menerapkan prinsip ‘aul, yakni pengurangan dari tiap bagian ahli waris dengan proporsi. Abdullah Saeed mengatakan bahwa yang dilakukan Umar tersebut kemudian banyak diikuti oleh ulama Sunni.
Ketujuh, Abdullah Saeed mengungkap bahwa Umar yang pertama kali memperkenalkan salat tarawih beserta bilangannya selama bulan Ramadhan. Padahal, Nabi Muhammad SAW sendiri mengatakan bahwa shalat tarawih bukanlah kewajiban. Namun, selama masa kekhalifahannya, Umar menilai shalat tarwih secara berjama’ah dengan jumlah tertentu akan menjadi sebuah pembaharuan yang efektif.
Kedelapan, Abdullah Saeed mengungkap bahwa Umar menetapkan bahwa budak perempuan yang melahirkan anak tuannya atau dikenal umm al-walad, maka statusnya menjadi orang merdeka. Ketetapan Umar ini tidak pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW dan masa Abu Bakar. Bahkan, Al-Qur’an pun tidak menjelaskan posisi umm al-walad tersebut.
Sampai di sini, berbagai penafsiran Umar di atas menunjukkan bahwa penting memahami Al-Qur’an secara kontekstual, sebagaimana ditawarkan Abdullah Saeed. Untuk itu, kontekstualisasi menjadi pendekatan penting bagi umat Islam di ruang dan waktu yang berbeda dari era pewahyuan Al-Qur’an. Sehingga, Al-Qur’an akan senantiasa shalih li kulli zaman wa makan, cocok untuk setiap zaman dan tempat. [] Wallahu A’lam.