Salah satu permasalahan dalam wudhu yang memunculkan ragam pendapat ulama adalah, bolehkan wundlu dilakukan dengan tidak tartib (urut) dalam berwudhu? Yang dimaksud tartib adalah melaksanakan wudhu sesuai urutan yang dijelaskan oleh Al-Qur’an. Yakni mendahulukan wajah, kemudian kedua tangan, sebagian kepala, lalu yang paling terakhir kedua kaki.
Atau, bolehkah setelah membasuh wajah semisal, kita membasuh kedua kaki terlebih dahulu sebelum membasuh kedua tangan? Mendahulukan kedua kaki sebelum kedua tangan dalam wudhu memang bukan gambaran wudhu yang lumrah ditemui. Namun fakta bahwa tidak ada redaksi dalam Al-Qur’an yang mewajibkan mendahulukan kedua tangan dari kaki, juga tidak patut untuk diabaikan. Simak penjelasan para pakar tafsir berikut ini:
Urutan Anggota Wudhu Di Dalam Al-Qur’an
Ulama’ mengulas hukum wajibnya berwudhu secara tartib merujuk pada firman Allah yang berbuyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki (QS. Al-Ma’idah [5] :6).
Baca juga: Hoaks Seputar covid-19 dan Pesan Tabayyun dalam Al-Quran
Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Muhadzab menyatakan, Mazhab Syafiiyah meyakini bahwa tartib dalam wudhu hukumnya wajib. Pendapat ini juga diyakini oleh Imam Ahmad. Sedang Imam Malik dan Imam Abu Hanifah meyakini bahwa tartib dalam wudhu hukumnya tidak wajib. Masing-masing pendapat di atas memiliki perincian hukum yang perlu dipelajari dalam kitab rujukan masing-masing mazhab (Al-Majmu’/1/344).
Imam Ibn Katsir menyatakan, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam berwudhu tidak harus tartib atau melaksanakan wudhu sesuai urutan yang dijelaskan Al-Qur’an. Bahkan apabila ada yang berwudhu dengan cara membasuh kedua kaki terlebih dahulu, kemudian mengusap kepala, membasuh kedua tangan, lalu terakhir membasuh wajah, maka wudhunya dihukumi sah (Tafsir Ibn Katsir/3/51).
Pendapat ini berpijak bahwa huruf wawu (bermakna dan) yang memisahkan antar anggota wudhu di dalam ayat di atas, tidak menuntut adanya tartib dalam berwudhu. Maka mewajibkan tartib sama saja mewajibkan sesuatu di luar apa yang disampaikan ayat tentang wudhu di atas. Dan ini bisa berarti menganulir ayat di atas. Hal ini tentu saja tidak diperbolehkan.
Selain itu, meski setelah redaksi اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ ada huruf fa’, dan ini bisa jadi menunjukkan perlunya mendahulukan wajah dan kemungkinan anggota setelahnya harus tartib, tapi itu hanya satu kemungkinan saja. Kemungkinan yang lain adalah, yang terpenting saat hendak salat ada tindakan membasuh wajah, tangan, kaki serta mengusap kepala, entah itu urut sesuai Al-Qur’an atau tidak (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/482).
Baca juga; Surah Al-Maidah Ayat 100: Tidak Sama Antara Kebaikan dan Keburukan
Imam Al-Qurthubi menjelaskan, di luar persoalan huruf wawu dan fa’ yang disinggung pendukung pendapat Abu Hanifah sebagaimana keterangan di atas, kewajiban tartib dalam wudhu ditunjukkan oleh 4 hal. Pertama, kesepakatan ulama’ salaf tentang bagaimana mereka berwudhu dengan tertib; kedua, menyamakan wudhu dengan salat; ketiga, berbagai riwayat hadis yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad senantiasa tartib dalam melaksanakan wudhu; Keempat, adanya riwayat hadis dalam bermasalahan sa’i pada haji, yang diriwayatkan dari Jabir ibn ‘Abdullah dan berbunyi (Tafsir Al-Jami’ liahkamil Qur’an/6/99):
« نَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ »
Kami menempatkan di awal suatu hal yang Allah menempatkannya di awal (HR. Abu Dawud, Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’I dan selainnya)
Baca juga: Kiat-Kiat Pencegahan Kemiskinan dalam Al-Quran
Diantara mazhab yang meyakini bahwa tartib dalam wudhu hukumnya wajib adalah mazhab Syafi’iyah. Meski begitu, dalam permasalahan tatkala ada orang wudhu dan lupa mengurutkan anggota wudhu, ada perbedaan pendapat mengenai hukum sah atau tidak sahnya wudhu orang tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban tartib bagi yang meyakininya, tetap memiliki celah untuk ditinggalkan. Salah satunya saat lupa. Hal ini dapat menjadi kelonggaran bagi yang juga meyakini wajibnya tartib (Al-bayan/1/135). Wallahu a’lam bish showab.