Kekhawatiran Ulama Era Awal Terhadap Modifikasi Mushaf Al-Qur’an

Kekhawatiran Ulama Era Awal Terhadap Modifikasi Mushaf Al-Qur’an
Modifikasi mushaf Al-Qur'an

Ikhtilaf seputar modifikasi mushaf Al-Qur’an sejatinya telah dimulai sejak lama, sejak produk kompilasi yang disebut mushaf itu ada pada era ‘Uthman. Hanya saja, concern ikhtilaf-nya yang berbeda jika dibanding era setelahnya. Jika kemarin dalam Kritik Ulama Terhadap Taqsim Al-Qur’an penulis menyebut waqf dan ibtida’ sebagai alasan utama, maka ulama dan ahli Al-Qur’an era awal justru mendasarkannya pada alasan yang mungkin terlihat sederhana tetapi justru sarat makna, yakni mengosongkan mushaf dari segala sesuatu yang bukan Al-Qur’an.

Selisih Pendapat Awal Modifikasi Mushaf

Apabila pembaca berkesempatan menelaah Al-Muhkam fi Naqth al-Mashahif karya Abu ‘Amr ‘Uthman al-Daniy atau karya-karya lain yang spesifik menjelaskan evolusi modifikasi mushaf Al-Qur’an, pembaca akan sangat mudah menjumpai apa yang penulis maksudkan sebelumnya. Pada karya Al-Daniy ini misalnya, setidaknya dua bab dihimpun secara khusus untuk menggambarkan ‘perpecahan’ kubu sahabat seputar modifkasi mushaf Al-Qur’an.

Di antara sahabat yang paling masyhur menolak segala bentuk modifikasi mushaf Al-Qur’an adalah ‘Abdullah bin Mas‘ud dengan dhawuh-nya;

جَرِّدُوْا القُرْآنَ، وَلَا تَخْلِطُوْا بِهِ مَا لَيْسَ مِنْهُ

“Kosongkanlah Al-Qur’an, dan jangan pernah kalian mencampurnya dengan segala sesuatu yang bukan bagian darinya (Al-Qur’an)”.

Dalam beberapa riwayat, dhawuh ‘Abdullah bin Mas‘ud ini berkaitan dengan modifikasi penambahan titik dan taqsim atau pembagian Al-Qur’an ke dalam beberapa ayat. Jika mencermati riwayat-riwayat yang ada, upaya taqsim terdahulu tampaknya ada yang dilakukan dengan menambahkan huruf-huruf seperti qaf atau kaf setelah ayat. Sehingga muncul kekhawatiran akan adanya anggapan bahwa huruf tersebut merupakan bagian dari Al-Qur’an.

Sebelum pembaca merasa janggal dengan ulasan ini, penulis hendak memberikan catatan bahwa wujud mushaf terdahulu tidak seperti saat ini yang sudah melewati proses editing dan dekorasi sedemikian rupa. Mushaf era awal hanya berupa rasm (garis-garis) huruf yang jarang sekali dilengkapi dengan titik. Jika di tengah ayat dijumpai huruf lain yang bukan bagian dari Al-Qur’an, akan sangat mungkin ditengarai bahwa huruf tersebut merupakan bagian dari Al-Qur’an.

Tak heran jika dalam riwayat lain, ‘Abdullah bin Mas‘ud juga diceritakan menghapus (yahukku) tanda taqsim ini. Selain itu juga ada Ibn Sirin yang tidak menyukai (yakrahu) tanda taqsim menggunakan qaf atau kaf, atau figur-figur lain seperti Mujahid dan ‘Atha’. Meskipun di sana juga ada yang memberikan keringanan (rukhshah) atas modifikasi-modifikasi pada mushaf Al-Qur’an, seperti Imam Al-Laits, Malik, serta Ibn Abi Laila dalam beberapa kondisi tertentu.

Baca juga: Kisah Ibnu Muqlah; Berjasa dalam Penulisan Khat dan Mushaf namun Tragis di Karir Politik

Implikasi di Masa Modern

Beberapa waktu yang lalu penulis sempat membaca joke yang ditulis oleh I’syatul Luthfi berjudul Bahasa Arab Bukan Bahasa Surga. Isinya kurang lebih memberikan gambaran sekaligus sindiran bahwa banyak dari kalangan umat Islam masa kini yang masih mengasosiasikan Islam sebagai segala sesuatu yang datang dari bangsa Arab.

Sebuah asosiasi yang pada gilirannya memberikan implikasi pada hal lain yang bersifat mikro-parsial. Seperti segala sesuatu yang ditulis dengan aksara Arab adalah Al-Qur’an atau kalimah thayyibah lainnya. Sementara boleh jadi apa yang tertulis merupakan umpatan atau kata-kata kotor. Maka dalam konteks semacam ini apa yang dikhawatirkan ‘Abdullah bin Mas‘ud dan ulama yang kontra modifikasi menemukan relevansinya.

Tidak banyak umat Islam hari ini yang mengetahui dan memahami dengan baik segala aspek terkait mushaf Al-Qur’an, seperti qira’ah, rasm, khat, dlabt, tanda baca, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, wajar jika pada akhirnya muncul polemik-polemik tertentu, yang seharusnya tidak pernah terjadi manakala didasari dengan pengetahuan yang memadai.

Dalam beberapa kesempatan dialog virtual bertemakan Al-Qur’an, penulis sering kali menjumpai pertanyaan yang sejatinya cukup sederhana bagi para pengkaji Al-Qur’an, tetapi nyatanya sangat sulit bagi kalangan awam. Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah qira’ah itu, apakah rasm itu, apa saja aspek cakupannya? Dan lain sebagainya.

Hal ini dikarenakan masyarakat awam saat ini menganggap Al-Qur’an sebagai sesuatu yang paten tertulis di antara dua sampul mushaf. Hingga praktis tidak menerima perbedaan sama sekali. Padahal tidak demikian. Maka bukankah penambahan huruf qaf atau kaf untuk tujuan taqsim sebagaimana era sahabat dan tabi‘in akan mampu menciptakan masalah yang serius? Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Baca juga: Bukti Perkembangan Al-Qur’an yang Fleksibel dan Tidak Sepi dari Perdebatan