Surah An-Nisa ayat 3 selama ini dikenal sebagai ayat yang memuat ajaran poligami. Poligami merupakan salah satu problem sosial kemanusiaan yang disinggung Al-Qur’an tapi kemudian dalam praktik dan perjalannya kerapkali disalahartikan. Terutama oleh praktisi poligami itu sendiri yang mencari pembenaran atas perbuatannya.
Tidak ada yang salah dengan pernyataan bahwa Al-Qur’an memperbolehkan poligami dengan kriteria dan syarat tertentu. Permasalahan segera muncul ketika laki-laki merasa dirinya mampu dan melakukan poligami tanpa pertimbangan yang matang. Bahkan tidak mengindahkan potensi dia akan berbuat aniaya kepada perempuan nantinya.
Pandangan bahwa perempuan berada di bawah kendali laki-laki, ia berada satu tingkat di bawah laki-laki, dan dia tidak punya hak untuk berkontribusi di ruang publik memang terlihat seperti tradisi yang sudah mapan selama ini. Sambil berbalut jubah narasi agama, kaum laki-laki yang memegang teguh kepercayaan atau ajaran ini akan menjadikan ayat di atas sebagai ujung tombak pamungkasnya. Tapi benarkah agama mengajarkan demikian? Atau hanya akal-akalan manusia yang menggunakan narasi keagamaan untuk melegitimasi suatu ajaran demi kepentingan tertentu?
Ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan kian ke sini memang semakin menggelisahkan, khususnya bagi kalangan intelektual muslim. Secara historis, perempuan memang selalu berada di bawah laki-laki. Kaum perempuan kerap kali dianggap sebagai makhluk sekunder. Mereka kerapkali dideskreditkan dan dimarginalisasikan.
Setiap perempuan muslim di belahan bumi manapun hampir tidak pernah mampu lolos dari jaring-jaring patriarki yang mengatasnamakan Islam. Opini dogmatis yang tertanam di kalangan orang-orang Islam adalah “perempuan yang tidak mau ‘begitu’, bukanlah muslimah yang kaffah”.
Tragisnya, karikatur “Seperti Itulah Islam” rupanya cuma memotret kaum perempuan sebagai 3T: taat, tunduk dan patuh. Tegasnya, perempuan masih terjebak dalam tradisi jahiliah, yang harus patuh bila diperintah ke sini dan ke situ. Sistem perbudakan yang harusnya sudah lenyap secara total masih diberlakukan oleh beberapa kalangan yang masih dikuasai mindset perempuan tidak boleh ‘lebih tinggi’ dari laki-laki.
Seperti yang sudah-sudah, kaum perempuan tersekat hanya dalam konteks “dapur, sumur, dan kasur”, dan sama sekali tidak ada anggapan shahih atau baik jika berurusan dengan kepublikan, sosial, ekonomi hingga politik. Sederhananya, perempuan hanya dijadikan sebagai pemuas seksual yang dilegalkan oleh Islam melalui pernikahan dan praktik poligami. Benarkah Islam memotret perempuan demikian? Menganggap perempuan sebagai makhluk yang senantiasa termarginalkan dan didiskreditkan? Untuk itu mari kita ulas bagaimana penafsiran ulama terhadap An-Nisa ayat 3.
Baca juga: Pemikiran Tafsir Asghar Ali Engineer Tentang Perempuan dalam Al-Qur’an
Tafsir An-Nisa ayat 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim perempuan, maka nikahilah perempuan-perempuan yang kalian sukai, dua, tiga atau empat, lalu bila kalia khawatir tidak adil (dalam memberi nafkah dan membagi hari di antara mereka), maka nikahilah satu orang perempuan saja atau nikahilah budak perempuan yang kalian miliki, yang demikian itu lebih dekat dengan tidak berbuat aniaya” (QS. An-Nisa (4): 3).
Al-Razi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat tersebut mengandung beberapa rangkaian konten. Antara lain perintah untuk menikah, jumlah atau batasan pasangan, juga perintah untuk berlaku adil. Meski kemudian dalam praktiknya nanti, hanya perintah untuk menikah dan batasan jumlah istri yang banyak didiskusikan. Bukan perintah berbuat adil kepada perempuan.
Al-Razi, dalam waktu yang bersamaan juga menguraikan bagaimana pandangan para ulama mengenai ayat ini. Ada yang memandangnya secara lahiriah, bahwasanya menikah adalah sesuatu yang wajib. Berbeda dengan pendapat Al-Syafi’i yang menyatakan bahwa perintah menikah adalah tidak wajib. Paradigma yang dibangun oleh Al-Syafi’i ini berangkat dari surah An-Nisa ayat 25, bahwa bersabar untuk tidak menikah bagi orang yang tidak mampu secara finansial hukumnya wajib. Dari sini lahirlah kesimpulan: menikah hukumnya tidak sunnah apalagi wajib (Mafatih al-Ghaib Vol IX, 177-178).
Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya menguraikan latar belakang turunnya ayat tersebut dengan cukup panjang lebar. Dia mengutip riwayat dari Aisyah. Ayat tersebut sebetulnya diturunkan sebagai bentuk pembelaan terhadap hak-hak perempuan. Rangkaian peristiwanya adalah ketika ada seorang laki-laki yang hendak menikahi perempuan yatim dalam pemeliharaannya karena faktor kecantikan juga finansial yang memadai yang dimiliki perempuan yatim tersebut. Lalu si laki-laki hendak menikahinya tanpa memberikan mahar dengan alasan si perempuan sudah cukup mapan secara finansial. Tak cukup sampai di situ, perlakuan laki-laki ini juga terbilang buruk.
Melihat kejadian ini, turunlah An-Nisa ayat 3 yang memerintahkan untuk menikahi perempuan lain (selain perempuan yatim tersebut) yang laki-laki itu sukai, dua, tiga atau empat. Kendatipun demikian, Al-Qur’an juga memberikan imbauan lebih baik memilih hanya menikahi seorang istri jika khawatir tidak dapat berlaku adil di antara para istri. Baik secara finansial, waktu, atau hal apapun yang berpotensi melukai hati satu sama lain (Tafsir al-Munir Vol. IV, 232).
Al-Thabari dalam tafsirnya juga mengutip apa yang juga ditulis Al-Zuhaili di atas, terkait pembatasan Al-Qur’an terhadap jumlah istri yang boleh dinikahi.
Baca juga: Emansipasi Tiga Sahabat Perempuan dan Asbab Nuzul Turunnya Ayat-Ayat Kesetaraan
Poligami memang secara umum merupakan praktek perkawaninan manusia di era pra-Islam. Tidak ada batasan jumlah istri yang boleh dinikahi waktu itu. Al-Thabari pun dalam tafsirnya juga merekam kejadian ini. Tidak ada gagasan keadilan bagi para istri. Mereka boleh diperlakukan seperti apapun, sekehendak suami atau laki-laki.
Al-Qur’an tidak menerima keadaan ini, karena proyek utamanya adalah membela hak-hak manusia dan perempuan. Al-Qur’an memberi jalan tengah, melalui isyarat bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara.
Sembari terus memberi isyarat kesetaraan, Al-Qur’an juga mencoba memberi solusi yang lebih bisa diterima masyarakat yang didominasi laki-laki. Al-Qur’an memberi pengertian bahwa kebolehan poligami bersyarat adil dan dalam jumlah yang terbatas. Al-Qur’an juga mengingatkan bahwa poligami bukanlah solusi yang menyenangkan. Dari sinilah lahir kesimpulan bahwa Al-Qur’an pun sebetulnya enggan membolehkan poligami. Diperbolehkan pun dengan syarat-syarat yang amat ketat (Jami’ al–Bayan Vol III, 231-236).
Penutup
Al-Thabari, Al-Razi, dan ulama lain tentunya sepakat, bahwa tujuan diturunkan ayat yang sedang didiskusikan ini adalah untuk membela hak dan kepentingan perempuan. Menjamin keadilan bagi kaum perempuan baik sebagai yatim maupun sebagai istri. Kesimpulnya, adil terhadap perempuan merupakan pesan sentral ayat ini. Wallahu a’lam.
Baca juga: Hikmah Dibalik Ayat-Ayat Waris dan Derajat Perempuan di Masa Jahiliah