Redaksi Al-Qur’an yang menyinggung tentang kewajiban sebelum salat secara umum, yakni hanya menjelaskan sebelum shalat hendaknya berwudu. Dengan begitu, timbulah adanya perdebatan tentang teknis berwudhu, akan tetapi, ternyata juga memancing perdebatan lain. Yakni tentang kewajiban bercebok sebelum salat atau tentang bagaimana hukum istinja’ sebelum shalat.
Apakah setelah selesai kencing atau buang air besar, kemudian hendak mengerjakan shalat perlu beristinjak terlebih dahulu?, sementara najis tidak melebar ke bagian lain terutama tempat keluarnya kencing atau kotoran, benarkah kita harus bercebok terlebih dahulu kemudian berwudhu? Atau langsung saja berwudhu? sebab tidak ada perintah bercebok di dalam Al-Qur’an. Berikut penjelasan ulama’ pakar tafsir dan pakar hukum fikih.
Baca juga: Catatan Kritis Mun’im Sirry terhadap Sumber tentang Kanonisasi Al-Qur’an
Bercebok Sebelum Shalat
Ulama’ mengulas hukum bercebok sebelum shalat tatkala mengulas firman Allah yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki (QS. Al-Ma’idah [5] :6).
Imam al-Qurthubi menjelaskan, berdasar ayat ini sebagian ulama menyatakan bahwa mensucikan diri dari najis sebelum shalat hukumnya tidak wajib. Sebab Allah hanya menjelaskan bahwa sebelum shalat hendaknya berwudhu, dan tidak menyinggung perihal istinja’. Andai membersihkan diri dari najis hukumnya wajib, tentu sebelum wudhu dijelaskan terlebih dahulu perihal istinja’ (bercebok).
Ulama’ yang meyakini bahwa menghilangkan najis sebelum salat hukumnya tidak wajib adalah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berdasar riwayat Imam Asyhab. Sedangkan Imam Ibn Wahb meriwayatkan dari Imam Malik menyatakan bahwa menghilangkan najis hukumnya wajib entah itu dalam keadaan ingat atau lupa. Pendapat ini juga diyakini oleh Imam Syafi’i. Sementara Imam Ibn Qasim meyakini bahwa kewajiban menghilangkan najis menjadi gugur sebab lupa (Tafsir Al-Jami’ Liahkamil Qur’an/6/100).
Imam Ar-Razi memberikan penjelasan agak berbeda. Ia menuturkan, Imam As-Syafi’i meyakini bahwa istinja’ (bercebok) hukumnya wajib. Dan bisa dilakukan baik menggunakan air atau batu. Sedang Abu Hanifah meyakini bahwa istinja’ hukumnya tidak wajib. Ia beralasan sebab dalam Al-Qur’an dijelaskan setelah membuang hajat hendaknya berwudhu. Andai istinja’ wajib, tentu dijelaskan bahwa setelah membuang hajat hendaknya istinja’ terlebih dahulu baru berwudhu (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/494).
Pendapat Abu Hanifah yang menyatakan tidak wajib menghilangkan najis, tidaklah hendak menyatakan bahwa meski kencing atau kotoran manusia mengenai bagian tubuh lain, hukum shalat tetap sah. Sebab Abu Hanifah memberi batasan bahwa tempat yang tidak wajib disucikan adalah seukuran dirham baghli atau kira-kira seukuran telapak kaki keledai pada tempat keluarnya najis tersebut.
Imam al-jashshash menjelaskan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa istinja’ tidak wajib, memberi catatan bahwa najis yang keluar tidak sampai mengenai bagian lain selain tempat keluarnya. Sedang Ibn ‘Arabi menjelaskan, Abu Hanifah sedang ingin membedakan antara najis sedikit dengan najis banyak. Najis sedikit tidaklah wajib untuk dihilangkan (Ahkamul Qur’an Lil Jashshash/5/357 dan Ahkamul Qur’an Lil Ibn ‘Arabi/4/428).
Sedang Mazhab Syafi’iyah mewajibkan bercebok berdasar hadis yang diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas bahwa Nabi bersabda:
« يُعَذَّبَانِ ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ » ، ثُمَّ قَالَ « بَلَى ، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ »
“Ada dua orang diadzab, dan keduanya tidak diazab sebab permasalahan besar”. Beliau lalu meneruskan: “Ya, salah satu dari keduanya tidak menjaga diri dari kencingnya, sedang yang lain melakukan adu domba” (HR. Bukhari-Muslim).
Hadis ini menunjukkan kewajiban istinja’ atau bercebok. Sebab andai tidak wajib, tentu tidak diadzab (Tafsir Munir/6/113).
Baca juga: Tafsir Surah Ad-Duha Ayat 11: Apa itu Tahadduts bi an-Ni’mah?
Dari berbagai uraian di atas kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa titik perbedaan pendapat mengenai kewajiban menghilangkan najis sebelum salat, adalah pada najis yang ada di tempat keluarnya kencing atau kotoran pada kemaluan atau dubur. Untuk selain keduanya, tetap wajib mensucikan diri dari najis. Wallahu a’lam bish showab.