BerandaTafsir TematikTafsir Surah Ad-Duha Ayat 11: Apa itu Tahadduts bi an-Ni’mah?

Tafsir Surah Ad-Duha Ayat 11: Apa itu Tahadduts bi an-Ni’mah?

Sebagai bentuk syukur terhadap nikmat dan anugerah yang Allah berikan kepada hambaNya yaitu anjuran untuk menceritakan berita baik tersebut. Hal ini biasa kita kenal dengan istilah ‘tahadduts bi an-ni’mah’. Sebuah istilah yang umum dipakai oleh seseorang untuk menceritakan nikmat yang telah diterima dengan agar dapat diambil hikmah bagi setiap orang yang mendengarnya.

Baca Juga: Tafsir Surat Ad Duha Ayat 7-11

Lalu, apa itu sebenarnya tahadduts bi an-ni’mah ?

Dalam Tafsir Mujahid disampaikan tentang definisi tahadduts bi an-ni’mah dari Sayyidina Husain bin Ali Ra:

هُوَ الْعَمَلُ الصَّالِحُ  يَعْمَلُهُ الرَّجُلُ فَيُحَدِّثُهُ بِهِ إِخْوَانَهُ مِنْ أَهْلِ ثِقَاتِهِ لِيَسْتَنَّ بِهِ وَيَعْمَلُ مِثْلَهُ

“(Tahadduts bin ni’mah) adalah sebuah amal perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang, kemudian ia menceritakannya terhadap seseorang yang dipercayainya dengan tujuan agar mereka mampu meniru dan melakukan hal serupa.”

Apabila dirunut dari dasar teologisnya, istilah tahadduts bi an-ni’mah berasal dari salah satu Firman Allah Swt. dalam Al-Quran yang berbunyi:

وأمّا بِنِعْمَةِ رَبّكَ فَحَدّثْ

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu sebutkan”. (QS. adh-Dhuha: 11)

Kyai Thaifur Ali Wafa al-Madury -mufassir Nusantara- dalam kitab tafsirnya yang berjudul Firdaus an-Na’im, menafsirkan ayat tersebut dengan,

لِأنّ التَّحَدُّثَ بِالنِّعْمَة هُوَ شُكْرُهَا

“Hal tersebut karena tahadduts bi an-ni’mah merupakan ekspresi dari rasa mensyukuri nikmat”.

وَالتَّحَدُّث بِالنِّعْمةِ جائزٌ لِغَيْرِهِ صلى الله عليه وسلم إذا قَصَدَ بِهَ الشُّكْرُ وَأَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ غَيْرُهُ وأَمَنَ عَلَى نَفْسِهِ الْغَرُورُ وَالْكِبرُ

Lebih jauh, beliau memaparkan bahwasanya tahadduts bi an-ni’mah -meskipun konteks perintah pada ayat tersebut diperuntukkan untuk Nabi Muhammad Saw- juga diperbolehkan untuk dilakukan oleh selain Nabi Muhammad Saw. Namun, dengan memenuhi beberapa syarat:

1). Apabila bertujuan untuk bersyukur

2). Apabila bertujuan agar ditiru oleh orang lain.

3). Apabila selamat dari rasa sombong.

Beliau juga mengutip perkataan Sayyidina Hasan bin Ali Ra,

قال الحسن بن علي رضي الله عنهما إذا عَملتَ خيرا فحدِّثْ به إِخْوانَكَ لِيَقْتَدُوا بِكَ

“Apabila kamu melakukan suatu kebaikan, maka ceritakanlah kebaikan tersebut kepada kawanmu, agar mereka meniru perbuatanmu tersebut”. (Kyai Thaifur Ali Wafa al-Madury, Firdaus an-Na’im, Juz. 6, Hal. 409).

Senada dengan penafsiran Kyai Thaifur Ali Wafa diatas, Syekh al-Qurthuby dalam kitab tafsirnya menafsirkan ayat tersebut dengan,

الرابعة قوله تعالى وَأَمّا بِنِعْمَةِ رَبّكَ فَحَدّثْ  أي أَنْشُرْ مَا أَنْعَمَ اللهُ عليك بِالشُّكرِ والثَّنَاءِ وَالتَّحَدُّث بِنِعَمِ الله وَالإِعْتِرَافُ بِها شُكْرٌ

“Publikasikanlah nikmat Allah Swt yang telah Ia berikan kepadamu dengan cara bersyukur kepada-Nya, memuji-Nya, dan menceritakannya (ber tahadduts bi an-ni’mah). Hal tersebut karena mengakui akan nikmat yang telah diberikan-Nya merupakan wujud ungkapan mensyukurinya”.

Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 10 -13: Syukurilah Nikmat Allah SWT, Jangan Sampai Mendustakannya

Bagaimanakah cara ber tahadduts bi an-ni’mah?

Syekh al-Qurthuby dalam menafsirkan ayat tersebut juga memaparkan riwayat tentang contoh bagaimana cara ber tahadduts bi an-ni’mah,

وعن عمرو بن ميمون قال إذا لَقِيَ الرَّجُلُ مِنْ إِخْوَانِهِ مَن يَثقُ بِه يقول له رَزَقَنِي اللّهُ مِن الصَّلَاةِ الْبَارِحَة كذا وكذا  وَكَانَ أبو فراس عبد الله بن غالب إذَا أَصْبَحَ يقول لَقَدْ رَزَقَنِي اللّهُ البارِحَةَ كذا وقرأتُ كذا وصَلَّيْتُ كذا وَذَكَرْتُ الله كذا وَفَعَلْتَ كذا فقلنا له يا أبا فراس إِنّ مِثْلَكَ لَا يقول هذا قال يقول الله تعالى وَأمّا بِنِعْمَةِ رَبّكَ فَحَدّثْ  وتقولون أَنْتُم لَا تَحدّثْ بنعمة الله

Berdasar riwayat ini, dijelaskan bahwa meneritakan rizki yang diterima seseorang itu tidak semua orang meganggapnya biak, namun hal tersebut boleh-boleh saja dengan bersandar pada ayat 11 surah Ad-Duha. Adapun mengenai caranya, sebagaimana terlihat dalam riwayat di atas, menceritakan itu hendaknya tetap dengan kerendahan hati seperti yang terlihat di atas, tetap dengan menyebut nama Allah Swt.

Lebih jelas lagi, menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, bahwasanya dalam menerapkan tahaduts bin ni’mah tidaklah diharuskan menceritakannya secara langsung dengan kata-kata. Bahasa tubuh dan perilaku yang mampu menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah Swt serta berpotensi menggugah dan memotivasi orang lain untuk melakukan kebaikan juga dapat dikategorikan sebagai perilaku tahadduts bi an-ni’mah, semisal dengan melakukan sedekah secara terang-terangan. Sedekah dengan terang-terangan dapat dikategorikan tahadduts bin ni’mah apabila ada tujuan menunjukkan rasa syukur atas nikmat dan memotivasi orang lain untuk melakukan hal serupa. (al-Ghazaly, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Juz. 1, Hal. 228).

Baca Juga: Tafsir Surah Yunus Ayat 12: Bersabar Saat Bahaya dan Bersyukur Kala Bahagia

Lalu, apa perbedaan antara tahadduts bi an-ni’mah dengan riya’ ?

Kalau riya’ definisinya adalah memperlihatkan (memamerkan) ibadah supaya dilihat manusia, untuk kemudian agar dipuji manusia.

والرياء بكسر الراء والمد ومثناة تَحْتِيَةُ إِظْهَارِ الْعِبَادةِ لِيَرَاها النَّاُس فَيَحْمَدُوْهُ

Jadi, inti perbedaan antara tahadduts bi an-ni’mah dengan riya’ itu terletak pada niat kita ketika menceritakan amal baik yang kita lakukan, ingin dipuji manusia atau ingin ditambah nikmatnya oleh Allah Swt ?. Apabila ingin dipuji manusia, maka termasuk riya’, kalau ingin bersyukur pada Allah Swt dan ingin ditambah nikmatnya oleh Allah Swt, maka termasuk tahaduts bin ni’mah.

Oleh karena itu, Syekh Wahbah az-Zuhaily dalam kitab tafsirnya Tafsir al-Munir -saat menafsirkan ayat tersebut- beliau memperingatkan agar ketika kita menceritakan nikmat tersebut malah dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah dan ujub, maka lebih baik tidak perlu diceritakan saja nikmat tersebut (ditutupi saja).

قال العلماء المحققون  التَّحْدِيْثُ بِنِعَمِ الله تعالى جَائِزٌ مُطْلَقًا بَلْ مَنْدُوبٌ اِلَيْه إِذَا كَانَ الْغَرَضُ أَنْ يَقْتَدِيَ به غَيْرُهُ أوْ أنْ يُشَيِّعَ شُكْرَ رَبّه بِلِسانِه وَإِذَا لَمْ يَأمَنْ على نفسه الْفِتْنَةُ وَالْإعْجَابُ فَالسِّتْرُ أَفْضَلُ

Walhasil, dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwasanya Allah Swt memerintahkan kita -apabila mendapatkan berbagai macam nikmat dari-Nya- agar ber tahadduts bi an-ni’mah (menceritakan nikmat), yang tentunya dengan memperhatikan syarat yang telah disebutkan dan agar orang yang mendengarnya tergerak hatinya untuk meniru perbuatan baik yang telah kita lakukan. Akhir kata, mari bercerita tentang nikmat hari ini! Wallahu a’lam

Muhammad Ryan Romadhon
Muhammad Ryan Romadhon
Wisudawan Angkatan Pertama Ma’had Aly Ponpes Al-Iman Bulus Purworejo Jawa Tengah Takhassus Tafsir wa Ulumuhu dan Redaktur Bilqolam Al-Iman Bulus
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

skenario di balik pewahyuan Alquran

Skenario Tuhan di Balik Pewahyuan Alquran

Pewahyuan Alquran merupakan salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah peradaban manusia. Lebih dari sekadar kitab suci, Alquran yaitu mukjizat yang mencakup dimensi spiritual, sosial, dan intelektual. Pewahyuannya...