Fakhruddin al-Razi sebelum menafsiri surah Al-Ikhlas memilih untuk menuliskan beberapa hal penting untuk diketahui oleh para pembaca sebelum lebih jauh mengkajinya. Beliau memulai dari menjelaskan gelar-gelar lain selain Al-Ikhlas untuk surah ke 112 ini. Surah yang sangat akrab dibaca oleh umat muslim di Indonesia ini beliau sebut memiliki 20 nama lain. Banyaknya nama surah Al-Ikhlas menandakan betapa banyaknya fadilah dan keistimewaan yang dikandungnya.
Baca juga: Kisah Kecintaan Sahabat Nabi Muhammad Saw Terhadap Surah Al-Ikhlas
Arti Sebenarnya Kata Al-Ikhlas
Kata ikhlas jamak dipahami oleh orang Indonesia sebagai tindakan terpuji yang tidak mengharapkan apa-apa selain keridaan Allah Swt. Sang pelaku memiliki ketulusan hati dan hati yang bersih (KBBI Daring). Kata Ikhlas berantonim dengan kata pamrih.
Herannya, jika kita amati keempat ayat surah Al-Ikhlas, alih-alih kita menjumpai ajaran tentang ketulusan hati dan larangan berlaku pamrih, kita malah dihidangkan penegasan perihal keesaan Allah Swt. Lantaran itu, untuk memahami relevansi antara nama dan kandungan isinya, hakikat kata Al-Ikhlas perlu langsung kita cek dari sumber bahasanya, bahasa Arab.
Al-Ikhlas memiliki arti bening. Kata ini juga memiliki satu padanan kata, yaitu al-shafi. Meski demikian, keduanya memiliki perbedaan yang jelas. Bilamana terdapat air jernih dalam suatu gelas maka air itu kita sebut sebagai al-shafi. Namun apabila air tersebut kemudian menjadi keruh maka disebut al-kadr. Nah, jika kemudian air tersebut kembali terjernihkan barulah disebut sebagai al-khalis. Dalam Lisan al-‘Arab disebutkan,
وقَعْنا فِي غضْراءَ، وَهِيَ الطِّين الخالِصُ الَّذِي يُقَالُ لَهُ الحُرُّ، لخُلُوصِه مِن الرَّمْلِ وَغَيْرِهِ
“Kami berada di ghadlra’, yakni tanah subut yang telah bersih yang disebut juga sebagai al-hurr, karena tanah itu telah bersih (terbebas) dari batu kerikil dan lainnya.” (Lisan al-‘Arab, juz 1 hal 354).
Atas pemahaman ini, dapat kita katakan alasan mengapa surah ini disebut sebagai Al-Ikhlas adalah karena ia akan menjernihkan dan memurnihkan kembali kepercayaan mengenai Tuhan yang sebelumnya kotor dan tercampur dengan penyekutuan terhadap Allah Swt. mengenai ini Imam al-Razi menyebutkan,
وَرَابِعُهَا: سُورَةُ الْإِخْلَاصِ لِأَنَّهُ لَمْ يَذْكُرْ فِي هَذِهِ السُّورَةِ سِوَى صِفَاتِهِ السَّلْبِيَّةِ الَّتِي هِيَ صِفَاتُ الْجَلَالِ، وَلِأَنَّ مَنِ اعْتَقَدَهُ كَانَ مُخْلِصًا فِي دِينِ اللَّهِ
“Nama keempat adalah surah Al-Ikhlas, sebab di dalam surah ini hanya akan disebutkan perihal sifat-sifat Allah dengan cara negatif (salbiyah), di mana sifat itu adalah sifat-sifat yang agung. Dan juga lantaran orang yang meyakini isinya berarti telah kembali terjernihkan (mukhlis) dalam agama Allah.” (Mafatih al-Ghaib, juz 32 hal 357).
Baca juga: Menelisik Makna Sifat Shamadiyah dan Wahidiyah Allah SWT dalam Surat al-Ikhlas Ayat 1-4
Teologi Apofatik dalam Surah Al-Ikhlas
Apa sesungguhnya yang dimaksud al-Razi dengan pendeskripsian Tuhan dengan cara negatif dalam surah Al-Ikhlas?
Sejatinya, mengetahui esensi zat Tuhan dengan cara positif (mujabah) sangat sulit dilakukan. Mengutip Mulyadhi Kartanegara, seorang doktor penulis buku Lentera Kehidupan,
“Jadi, tidak heran kalau ada filsuf yang menyebut Tuhan sebagai The Great Unknown, Yang Besar tapi Tak Dikenal. Adapun Maksud kata “tak bisa dikenal” adalah “tidak bisa diketahui secara positif, tetapi dengan cara negatif”, atau dalam istilah filsafatnya, “Via Negativa”. Via Negativa maksdunya adalah mengetahui Tuhan dengan cara membedakan-Nya dengan yang lain,” (Lentera Kehidupan, hal 3).
Singkatnya, teologi negatif adalah suatu teologi yang berusaha menjelaskan Tuhan dengan hanya berbincang mengenai apa yang tidak mungkin disematkan kepada Tuhan. Seperti dinyatakan dalam ayat berikut,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tiada satu pun yang sama dengan Allah. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha melihat.” (Q.S. al-Syura’ [42]: 11).
Untuk mengenalkan Tuhan, surah Al-Ikhlas mempergunakan cara yang satu ini. Teologi negatif adalah cara termudah untuk memperkenalkan Allah kepada orang-orang yang belum mengenal-Nya. Ini berkaitan erat dengan asbab al-nuzul surah ini.
Baca juga: Performasi Surat Al-Ikhlas: Era Nabi Muhammad hingga Kontemporer
Diceritakan dalam salah satu riwayat berkenaan sebab turunya surah Al-Ikhlas, bahwa suatu hari Nabi Muhammad didatangi oleh ‘Amir bin al-Thufail. Laki-laki ini diutus oleh para pembesar musyrik Makkah untuk menyampaikan pesan kepada Nabi agar mau kembali kepada agama berhala. Kata ‘Amir,
“Engkau telah menghancurkan tongkat (sandaran) kami dan kau mencaci tuhan-tuhan kami. Kau telah tinggalkan agama nenek moyangmu, maka kalau engkau faqir, kami akan membuatmu kaya raya, kalau engkau gila kami akan mengobatimu, kalau kau menghendaki seorang wanita akan kami nikahkan kau dengannya (dengan syarat murtad dari Islam).”
فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: لَسْتُ بِفَقِيرٍ ولا مجنون ولا هويت المرأة، أَنَا رَسُولُ اللَّهِ أَدْعُوكُمْ مِنْ عِبَادَةِ الْأَصْنَامِ إِلَى عِبَادَتِهِ
“Kemudian Nabi saw. menjawab, “Aku bukan orang faqir, bukan orang gila, dan aku tidak menghendaki seorang perempuan (untuk aku nikahi). Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk mengajak kalian, dari sebelumnya menyembah berhala menuju penghambaan kepada-Nya.”
Setelah kejadian ini, datang lagi utusan untuk yang kedua kalinya kepada Nabi. Namun kali ini pesan yang disampaikan adalah, “Jelaskan kepada kami, dari jenis apa Tuhan yang kau sembah itu. Apakah ia dari jenis emas ataukah perak?”
Akhirnya Allah Swt. menurunkan surah Al-Ikhlas kepada Nabi Muhammad sebagai penjelasan kepada orang-orang musyrik Makkah. (Mafatih al-Ghaib, juz 32 hal 357).
Dari pembacaan terkait latar situasi turunnya Al-Ikhlas (asbab al-nuzul) ini, kita dapat mengetahui bahwa surah Al-Ikhlas selain sebagai pemurni akidah ketuhanan juga disampaikan dengan cara termudah, di mana memang dimaksudkan sebagai pengenalan pertama kepada orang-orang yang sama sekali tidak mengenal Allah Swt.
Wa Allahu a’lam.
Baca juga: Alasan Mengapa Surat Al-Ikhlas Sebanding Sepertiga Al-Quran Menurut Imam Ghazali