BerandaUlumul QuranFath al-Allam; Kitab Tafsir Ahkam yang Unik

Fath al-Allam; Kitab Tafsir Ahkam yang Unik

Dalam kajian al-Qur’an, tafsir ahkām juga dikenal dengan sebutan tafsir fiqhī. Ia menjadi satu dari sekian corak yang dimiliki kitab-kitab tafsir. Ragamnya tergantung pada banyaknya mazhab fikih yang ada (Ushūl al-Tafsīr wa Manāhijuhū, 94). Mengenai penyajiannya, Ālī Iyāzī menemukannya dalam dua metode; tahlīlī dan maudlū’ī.

Cara pertama adalah dengan menafsirkan al-Qur’an secara berurutan dari awal surat al-Fātihah hingga akhir surat al-Nās dengan memberikan penjelasan yang lengkap dan mendalam saat bertemu dengan ayat-ayat ahkām. Adapun cara kedua yakni dengan mengelompokkan ayat-ayat ahkām yang setema demi diperolehnya kesimpulan yang komprehensif. Model pertama banyak diikuti oleh mufassir yang berhaluan ahlus sunnah. Sementara yang kedua, banyak digunakan oleh ulama Syi’ah (90-91). 

Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Fiqhi dan Kitab-kitabnya

Kitab Fath al-Allam fī Tartīb Āyāt al-Ahkām

Sesuai namanya, kitab yang terdiri dari satu jilid ini berisi ayat-ayat ahkām. Kitab ini ditulis oleh Shabāh Abdul Karīm al-‘Anzī. Dalam pengantarnya, mu’allif menegaskan bahwa kebanyakan tafsir ahkām disajikan dalam bentuk tahlīlī. Semisal Ahkām al-Qur`ān karya al-Jashshāsh (3 jilid), Ahkām al-Qur`ān milik Ibn ‘Arabī (3 jilid), dan alJāmi’ li Ahkām al-Qur’ān yang ditulis oleh al-Qurthūbī. Kesemuanya ditulis berdasarkan tartib Mushhaf ‘Utsmānī.

Kitab-kitab ini cukup menyulitkan pembaca yang hendak mencari tahu hukum suatu masalah. Pasalnya, terlebih dahulu mereka harus mencari tahu ayatnya. Kalaupun sudah mendapatkannya, masih sangat mungkin ada ayat lain yang memiliki keterkaitan. Sehingga untuk memperoleh informasi yang komplit terhadap sebuah kasus butuh usaha yang cukup keras dan waktu yang relatif lama.

Dari realita ini, disusunlah Kitab Fath al-Allam fī Tartīb Āyāt al-Ahkām dengan metode tematik. Kitab setebal 198 halaman ini memuat 30 tema yang ada dalam kitab fikih. Dimulai dari pembahasan mengenai bersuci dan berakhir dengan ikrar. Dalam topik mengenai bersuci, mu`allif menyajikan sekian ayat yang berbicara mengenai air, wadah, istinjā` (bersuci dari buang hajat), bersiwak, wudu, mengusap khuff (sepatu kulit yang tinggi dan biasa digunakan untuk perjalanan jauh), mandi, tayammum, menghilangkan najis dan haid. Beberapa hal yang lazim di bahas dalam kitab-kitab fikih.

Baca Juga: Tafsir Ahkam; Definisi dan Pernak-Perniknya

Sistematika Penulisan

Konsekuensi dari penyajian menggunakan model tematik, seseorang harus menentukan tema besar yang bisa mencakup beberapa hal yang memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini telah dicontohkan oleh para fuqohā` dalam kitab fikih karya mereka. Saat membuka kitab Fath al-Allam ini kita akan menemukan tema besar atau utama yang diistilahkan dengan kitāb. Jumlahnya mencapai 30 tema. Di bawah kitāb ada tema kecil yang diberi judul bāb.

Dalam perjalanannya, kitāb atau tema utama ini ada yang langsung diikuti bāb, ayat, atau definisi daripada tema tersebut. Untuk model yang pertama misalnya pada kitāb thahārah atau bersuci. Kemudian yang langsung menuliskan ayat-ayat terkait, diantaranya bisa kita jumpai dalam pembahasan tema 4 rukun Islam, janā`iz, jihād, dan lainnya. Adapun model ketiga terlihat misalnya saat mu`allif membahas wasiat (washāyā), waris (farā`idl), īlā`, dan lainnya. Dalam kitāb īlā`, sebelum mengutip QS. al-Baqarah [2]: 226-227, mu’allif mendefinisikan īlā` dengan

الْإِيْلاَءُ هُوَ الْاِمْتِنَاعُ بِالْيَمِيْنِ مِنْ وَطْءِ الزَّوْجَةِ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ

Artinya “Īlā` adalah sumpah tidak menggauli istri selama lebih dari empat bulan” (135).

Kemudian pada bagian bāb yang menjadi tema kecil dari kitāb, mu`allif menukil ayat-ayat yang memiliki keterkaitan dengan tema utama (kitāb) namun tidak langsung. Jadi ayat tersebut berbicara seputar tema kecil yang masuk dalam kategori tema besar. Untuk ayat-ayat yang berbicara langsung mengenai tema besar, maka akan dikategorikan dengan fashl jika jumlahnya banyak dan bisa dibagi-bagi. Jika jumlahnya sedikti dan tidak bisa dibagi-bagi, maka ayat-ayat tersebut akan dimasukkan langsung di bawah tema besar (kitāb). Hal inilah yang membuat kita tidak menemukan bāb dan fashl dalam pembahasan tema utama seperti dalam kitāb raj’ah, īlā`, zhihār, dan radlā’.

Sebagaimana kita ketahui dari kitab fikih, bāb memiliki cakupan yang lebih besar dibanding fashl. Oleh karenanya, urutan kitāb – bāb – fashl mendominasi sitematika penulisan dalam karya ini. Namun hal itu tidak berlaku secara umum. Contohnya kitāb nikah (111), mu`allif mendahulukan fashl dari pada bāb. Sebelum membahas tema kecil tentang wanita yang haram dinikahi dan nikah beda agama, terlebih dahulu mu`allif menuliskan fashl rukun nikah dan wali.

Kemudian untuk melengkapi ayat-ayat yang dinukil, mu`allif menambahkan penjelasan hukum yang terkandung di dalamnya ataupun kosa kata kunci yang berkaitan dengan tema. Penjelasan kosa kata penting yang memiliki keterkaitan dengan tema misalnya pada fashl fī makrūhāt al-shalāt (sesuatu yang dimakruhkan dalam salat). Setelah menyebutkan QS. al-Mu`minūn [23}: 1-2 yang diantaranya mengandung kata khāsyi’ūn, dijelaskan bahwa “khusyu berkaitan dengan hati, penglihatan yang fokus dan suara yang hening. Adapun khudlū’ berkaitan dengan ketenangan badan. Harus menghadirkan kekhusyu’an agar mendapatkan pahala” (28).

Baca Juga: Abi Laits al-Samarqandi; Mufasir Bergelar Faqih, Penulis Tafsir Bahr al-‘Ulum

Keunggulan dan Kelemahan

Sebuah karya pasti memiliki kelebihan dan tidak akan pernah lepas dari kekurangan. Kelebihan kitab ini dibanding tafsir ahkām yang lain adalah 1) model penyajiannya yang tematik. Ia memudahkan pembaca untuk melacak ayat-ayat yang berbicara mengenai permasalahan yang dicarinya. 2) Ulasan singkat mengenai hukum yang dikandung sebuah ayat. 3) Penggabungan antara qur’an dan hadis dalam mengkaji sebuah kasus. Sehingga bertemulah antara āyāt ahkām dengan ahādīts ahkām. āyāt ahkām sebagai sumber utama dalam memproduksi hukum dan ahādīts ahkām (hadis-hadis hukum) sebagai sumber kduanya. Untuk keunggulan yang ketiga ini bisa kita temukan dalam fashl cara mengetahui arah kiblat. Di sana mu`allif menukil hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas setelah menulis QS. al-Nahl [16]: 16. (24).

Namun demikian, di balik keunggulan yang ada, terdapat celah yang membuat penikmat karya ini harus membuka kembali referensi terkait demi memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Mengenai keunggulan kedua, ulasan singkat yang disajikan bisa dibilang sangat singkat sekali. tidak ada perdebatan para ulama fikih yang ditulisakan di sana. Kemudian dibalik keunggulan yang ketiga, mu`allif tidak men-takhrīj sebagian hadis yang dinukilnya. Hadis Ibnu ‘Abbas tadi misalnya, di sana tidak ada penjelasan hadis riwayat imam A atau B. Berbeda dengan hadis yang dinukilnya saat menjelaskan bāb kewajiban wudu (14), informasi Nabi tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Tumūdzī. wallāhu a’lam.

Syafiul Huda
Syafiul Huda
Musyrif dan mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Angin sebagai Tentara Allah: Tafsir Fenomena Meteorologi dalam Alquran

Angin sebagai Tentara Allah: Tafsir Fenomena Meteorologi dalam Alquran

0
Alquran menyebutkan fenomena alam tidak hanya sebagai tanda-tanda kebesaran Allah, tetapi juga sebagai pengingat akan kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Salah satu elemen alam yang...