Dalil atau petunjuk ihtifal (perayaan) maulid Nabi berikutnya adalah surah al-Hajj ayat 77. Kita simak ayat berikut;
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ارْكَعُوْا وَاسْجُدُوْا وَاعْبُدُوْا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah, sujudlah, sembahlah Tuhanmu, dan lakukanlah kebaikan agar kamu beruntung.”
Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (4): Surah Maryam Ayat 33
Tafsir kata al-Khair
Kata al-khair yang berarti kebaikan pada ayat tersebut merupakan isim jins yang menunjukkan banyak arti. Dengan kata lain, al-khair merupakan makna (kebaikan) yang umum.
Ketika menafsiri waf’alul khaira, Ibn Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir (1984) menukil perkataan Ibn Abbas, “(lakukanlah kebaikan) di antaranya silaturahmi dan akhlak yang mulia. Dan dari urutan dalam ayat tersebut tampak bahwa mereka (orang-orang beriman) diperintah untuk; pertama, salat (salah satu praktik ibadah), kedua dengan ibadah (salah satu praktik kebaikan) dan yang ketiga melakukan kebaikan (ini lebih umum daripada ibadah). Artinya, Allah memulai ayat tersebut dengan sesuatu yang khusus (salat), kemudan umum (ibadah), lalu yang lebih umum (al-khair; kebaikan).”
Wajh dalalah (petunjuk) dari ayat tersebut adalah bahwa ihtifal Maulid Nabi berisi berbagai amal kebaikan; di antaranya adalah selawat Nabi, sedekah, amal makruf, mengekspresikan kebahagiaan dan berderma kepada kaum papa. Hal tersebut menujukkan bolehnya ihtifal Maulid Nabi yang juga berisi amal kebaikan sebagaimana diperintahkan oleh al-Quran.
Lalu dalam Jawahir al-Bihar Syaikh Yusuf al-Nabhani mengutip al-Hafiz Ibn Hajar al-Haitami menegaskan, “sesungguhnya orang yang menghendaki kebaikan, menampakkan kebahagian dan mahabbah atas Maulid Nabi Saw itu cukup dengan mengumpulkan orang-orang baik bersama para fakir miskin, lalu bersedekah dan memberi kepada mereka makanan sebagai wujud mahabbah kepada Nabi Muhammad Saw.”
“Lalu jika mereka ingin lebih dari itu,” lanjut Ibn Hajar al-Haitami, “maka dengan memerintahkan seseorang untuk menyenandungkan pujian-pujian kepada Nabi (madaih al-nabawiyyah) dan syair-syair yang berisi pelajaran akhlak luhur. Sebab hal tersebut dapat menggerakkan hati untuk melakukan kebaikan dan menahan perilaku bidah yang mungkar. Selain itu, mendengarkan lantunan indah pujian-pujian Nabi merupakan salah satu sebab tumbuhnya mahabbah kepada Nabi dalam hati seseorang.”
Baca Juga: Irhash Kenabian Muhammad, Bukti Allah Merayakan Maulid Nabi
Bidah dan Macamnya
Kemudian sebagian kalangan bertanya, kenapa Anda melakukan sesuatu yang tak pernah dilakukan Rasulullah Saw? Perlu kita ketahui bahwa tak semua yang ditinggalkan Rasulullah, artinya tak pernah dilakukan beliau, itu hukumnya haram atau bidah. Betapa banyaknya perkara yang tak pernah beliau Saw lakukan tetapi justru dilakukan oleh para sahabat dan tabiin, bahkan perkara itu masih kita lakukan sampai sekarang.
Contohnya adalah pengumpulan al-Quran yang dilakukan Sayyidina Abu Bakar r.a. atas inisiasi Sayyidina Umar. Mulanya, Sayyidina Abu Bakar meragukan usulan itu,“bagaimana aku melakukan hal itu sementara Rasulullah tak pernah mencontohkannya?” tetapi Sayyidina Umar segera menjawab, “wallahi, itu adalah hal baik.”
Mahmud Ahmad al-Zain dalam al-Bayan al-Nabawi (2005) menegaskan, “jawaban Sayyidina Umar tersebut adalah jawaban untuk semua orang yang mengingkari bidah dengan dalih tak pernah dilakukan Rasulullah atau para sahabat. Karena yang diperintahkan dalam al-Quran adalah kebaikan dan dijanjikan sebuah keberuntungan bagi yang melakukannya; la’allakum tuflihun. Selain dijanjikan keberuntungan, kita juga diperintahkan untuk mengajak pada kebaikan sebagaimana dalam Ali Imran [3]: 104
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Dari uraian di atas, jika ada perkara baru dan tak pernah dilakukan Rasulullah, tapi baik dan sesuai dengan dalil-dalil syariat maka perkara baru itu bukan bidah secara syara’, melainkan bidah secara bahasa saja.
Baca Juga: Bukti Perkembangan Al-Qur’an yang Fleksibel dan Tidak Sepi dari Perdebatan
Dalam Manaqib Imam Syafii, al-Baihaqi meriwayatkan, “perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara yang menyelisihi al-Quran, hadis, ijma’ atau atsar. Maka perkara ini adalah bidah dhalalah (sesat). Kedua, perkara baik yang tidak menyelisihi satu pun dari al-Quran, hadis, ijma’ ataupun atsar. Maka perkara ini bidah hasanah (baik).” Senada dengan riwayat tersebut, Abu Nuaim dalam Hilyah al-Auliya juga mengutip perkataan Imam Syafii bahwa, “bidah itu ada dua macam; bidah mahmudah (terpuji) ialah yang sesuai dengan hadis dan bidah madzmumah (tercela) ialah yang menyelisihi hadis.”
Dr. Izzat Ali Athiyyah dalam al-Bidah; Tahdiduha wa Mawaqif al-Islam minha menegaskan bahwa para sahabat tidak memperingati maulid karena mereka disibukkan dengan hal yang lebih penting seperti jihad, mempersiapkan daulah islamiyah baik dari segi pengetahuan, politik, ekonomi dan militer.
Walhasil, dari uraian di atas dapat dibuat ke dalam premis begini; ihtifal Maulid Nabi adalah perkara baik—semua perkara baik itu (masyru’) disyariatkan—maka ihtifal Maulid Nabi adalah baik dan sesuai syariat. Allahumma shalli ‘ala Muhammad.