Beberapa dari kita (kaum muslim) masih banyak yang memandang sebelah mata, jijik, bahkan najis para penganut agama sebelah. Bukan hanya itu, setiap sesuatu yang sumbernya dari non-muslim dianggap tidak benar dan salah. Lebih ektrem lagi, para oknum pemilik doktrin tersebut tidak segan mencomot salah satu ayat yang terdapat pada surah at-Taubah tentang firman Allah Swt. yang menjelaskan bahwa orang musyrik itu najis. Pertanyaannya, apakah ayat tersebut bisa langsung dipahami begitu saja? Selain itu, apakah berarti umat muslim harus membersihkan diri setiap kali bersentuhan dengan orang non-muslim?
Dalam surah at-Taubah ayat 28, Allah swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هٰذَا ۚوَاِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيْكُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖٓ اِنْ شَاۤءَۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa), karena itu janganlah mereka mendekati Masjidilharam setelah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang), maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.
Mengenai term “musyrik” pada ayat di atas ulama berbeda pendapat. Pertama, mayoritas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan musyrik pada diksi di atas ialah para penyembah patung dan berhala. Alasanya karena kata musyrik hanya layak disematkan kepada orang yang menjadikan tuhan lain selain Allah. Dengan demikian, menurut pendapat yang pertama, ahl kitab tidak termasuk dalam cakupan lafad tersebut.
Kedua, pendapat lain mengatakan yang dimaksud musyrik pada surah at-Taubah ayat 28 adalah mencakup setiap bentuk kekufuran, baik penyembah berhala, api, matahari, termasuk ahl kitab pun masuk dalam kandungan ayat di atas. Pendapat ini diperkuat oleh kandungan surah an-Nisa’ ayat 48 yang memutlakkan kata musyrik pada setiap bentuk kekufuran tanpa mengklasifikasi kelompok tertentu (al-Tafsir al-Munir, 10/166).
Baca Juga: Benarkah Ahli Kitab Selalu Ingin Memurtadkan Orang Islam?
Bagaimana maksud status ‘najis’?
Sementara maksud dari kaum musyrik itu najis menurut kitab Tafsir al-Baidawi karya Nashiruddin Al-Baidhawi yang merupakan salah satu intelektual muslim abad ke-7, adalah najis akidah bukan najis sebagaimana yang dibahas dalam khazanah ilmu fikih. Pasalnya, orang musyrik telah menyekutukan dan berhianat pada Dzat Pencipta yang sebenarnya. Selain itu ulama asal Persia tersebut memberikan opsi penafsiran lain. Kata najis yang terdapat pada ayat ke-28 surah at-Taubah memberikan pengertian bahwa pada umumnya kaum musyrik lah yang sering rentan dan mengabaikan benda-benda najis . Artinya konsep atau teori taharah (bersuci) yang dijelaskan panjang lebar dalam Islam, oleh mereka tidak diamalkan. Misalnya, tidak mandi besar tatkala junub, abai pada benda-benda najis, tidak menyucikan diri ketika hadas maupun terkena kotoran (Tafsir al-Baidawi, 2/432).
Muhammad Ali Ash-Shabuni yang merupakan mufassir dan ulama asal Suriah, sekaligus salah satu Guru Besar ilmu tafsir di Umm Al-Qura University, Saudi Arabia dalam kitabnya yang berjudul Rowaiul Bayan, Tafsir ayaat al-Ahkam mengurai secara lengkap komentar para ulama mengenai maksud dari pernyataan bahwa “orang musyrik najis”. Menurut beliau ada banyak tenggapan para ulama mengenai tafsir dari ayat tersebut. Pertama, maksud dari kata najis ialah najis maknawi. Artinya pada ayat di atas, Allah Swt. Menyamakan orang musyrik sebagaimana halnya benda najis yang harus dihindari dan dijahui. Kedua, najis di sini berarti orang musyrik seperti halnya najis karena mereka tidak bersuci saat hadas serta abai pada benda-benda najis yang ada di sekitarnya.
Ketiga, pendapat yang terkesan lebih ekstrim yang menyatakan bahwa ayat itu berlaku sebagaimana dohiriyah teks. Maksud dari kata najis, memberikan indikasi bahwa orang musyrik sebagaimana halnya anjing, babi, dan benda najis lainnya. Konon, pendapat ini dinukil dari pernyataan Ibn Abbas langsung. Selain itu, ada pendapat lain yang hanya menganjurkan umat muslim untuk berwudu’ setiap kali usai bersalaman dengan orang musyrik. Komentar ini diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari Hasan Basri.
Meski demikian, pendapat ketiga ini rupa-rupanya berseberangan langsung dengan pemahaman para ulama fikih. Para pakar fikih tidak mengkategorikan orang kafir sebagai salah satu benda najis. Terbukti setiap kali orang musyrik telah mendapat hidayah dari Tuhan dan mau berafiliasi dengan umat muslim, secara otomatis mereka dianggap suci tanpa harus membersihkan diri terlebih dahulu. Dengan demikian, maksud dari najis adalah najis batin dan akidah bukan secara fisik dan lahiriyahnya (Tafsir Ayat al-Ahkam, 02/484).
Baca Juga: Benarkah Umat Islam Harus Bersikap Tegas Kepada Non-Muslim?
Ala kulli hal, maksud dari ‘musyrik itu najis’ yang terdapat pada salah satu ayat di surah at-Taubah adalah bukan makna lahiriyahnya. Najis yang dimaksud adalah najis secara batin atau akidahnya. Sekali pun segelintir dari mufasir (ahli tafsir) ada yang memahami ayat tersebut secara gamblang, tetapi pendapat ini menuai kritik dan penolakan dari beberapa ulama terutama para ahli fikih. Dengan demikian sudah seyogiyanya kita umat Islam senantiasa tetap bersikap dan meperlakukan teman beda akidah seperti halnya biasa, tanpa membeda-bedakan, apalagi menggangapnya najis. Wallah a’lam