BerandaTafsir TematikTafsir Surat An-Nisa Ayat 66: Indonesia Adalah Rumah Kita Bersama

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 66: Indonesia Adalah Rumah Kita Bersama

Al-Quran menggambarkan tanah air merupakan suatu hal yang sangat bernilai dan berharga. Indonesia sebagai tanah air, sekaligus rumah kita bersama yang gemah ripah loh jinawi haruslah kita jaga dan rawat. Jangan beri ruang sedikitpun kepada mereka yang ingin merongrong dan menumgbangkan rumah kita bersama, Indonesia. Meskipun ujian dan cobaan terus silih berganti, mulai khilafahisme, separatisme, radikalisme, dan kesenjangan sosial-ekonomi yang masih menghantui.

Terlepas dari semua itu, Islam melalui kitab sucinya, Alquran menyerukan kepada kita untuk cinta terhadap tanah air, menjaga dan merawatnya adalah wujud mensyukuri atas nikmat-Nya dan bernilai ibadah di sisi-Nya sebagaimana yang terindahkan dalam pesan-Nya Q.S. an-Nisa [4]: 66,

وَلَوْ اَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ اَنِ اقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ اَوِ اخْرُجُوْا مِنْ دِيَارِكُمْ مَّا فَعَلُوْهُ اِلَّا قَلِيْلٌ مِّنْهُمْ ۗوَلَوْ اَنَّهُمْ فَعَلُوْا مَا يُوْعَظُوْنَ بِهٖ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَاَشَدَّ تَثْبِيْتًاۙ

Dan sekalipun telah Kami perintahkan kepada mereka, “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu,” ternyata mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sekiranya mereka benar-benar melaksanakan perintah yang diberikan, niscaya itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), (Q.S. al-Nisa [4]: 66)

Tafsir Surah An Nisa Ayat 66

Ibnu Jarir sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepadaku al-Musanna, Ishaq, al-Azar, dari Ismail, Abu Ishaq al-Zuba’i terkait asbabun nuzul ayat ini bahwa ada seorang lelaki mengatakan, “Sekiranya kita diperintahkan untuk itu, niscaya kami benar-benar akan melakukannya, namun segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kita dari perintah itu.”

Ketika hal itu sampai kepada Rasul saw, maka beliau bersabda, “Sesungguhnya di antara umatku benar-benar terdapat banyak laki-laki yang masih beriman di dalam hatinya, di mana iman tersebut lebih teguh lagi kokoh ketimbang gunung-gunung yang terpancang dengan kokohnya.”

Ayat ini menjelaskan bagaimana sikap manusia secara universal dalam mematuhi perintah Allah. Mayoritas dari mereka tatkala diperintahkan hal-hal “berat” yakni kebaikan, mereka enggan bahkan menolak melaksanakannya seperti halnya orang munafik dan mereka yang lemah imannya.

Dalam konteks kemerdekaan Indonesia yang tengah kita peringati saat ini, Alquran menganggap mengusir seseorang dari tanah ari sepadan membunuh nyawanya sebagaimana diungkapkan oleh al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib-nya,

جعل مفارقة الوطان معادلة لقتل النفس

Allah menjadikan berpisah dengan tanah air sebanding dengan dibunuhnya nyawa.

Dengan terusirnya dari tanah air menunjukkan bahwa hal itu setara bahkan lebih kejam dibanding pembunuhan. Dalam ayat lain disebutkan,

وَاقْتُلُوْهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوْهُمْ وَاَخْرِجُوْهُمْ مِّنْ حَيْثُ اَخْرَجُوْكُمْ وَالْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ

Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. (Q.S. al-Baqarah [2]: 191)

Ayat ini ditafsiri oleh Mula al-Qari, pakar hadits dalam sebuah karyanya Mirqatul Mafatih Syarah Misykat al-Mashabih, ia menafsirkan kata fitnah dalam ayat tersebut sebagai berikut,

ومفارقة الوطان المألوفة التي هي أشد البلاء ومن ثم فسر قوله تعالى وَالْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ بالإخراج من الوطن :لأنه عقب بقوله وَاَخْرِجُوْهُمْ مِّنْ حَيْثُ اَخْرَجُوْكُمْ

“Berpisah dengan tanah air yang dicintai adalah cobaan paling berat. maka dari itulah firman Allah “dan fitnah itu lebih berat dari pembunuhan” ditafsiri dengan diusir dari tanah air sebab terusan dari ayat itu adalah “maka usirlah mereka sebagaimana mereka mengusir kalian”.

Sedangkan al-Qurthuby menaruh perhatian serius terhadap ciri pemberontak dan orang kafir. Ia menukill pendapat sebagian ulama bahwa ayat ini menerangkan tentang ketidaksamaan membelotnya para pemberontak dan orang kafir terhadap pemimpin.

Jika orang kafir berperang, maka tujuan mereka adalah membunuh semua orang dalam peperangan. Lain halnya dengan pemberontak, goal (tujuan) mereka berperang adalah untuk menghasut, mengadu domba, memprovokasi dengan ujaran kebencian agar terjadi disintegrasi dan menimbulkan perang saudara. Naudzu billah min dzalik. Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144: Cinta Tanah Air Itu Fitrah Manusia

Karenanya ayat-ayat Alquran di atas menunjukkan betapa sangat mahalnya harga sebuah kemerdekaan, kedamaian dan kemakmuran tanah sampai-sampai Alquran menggambarkan pengusiran tanah air disandingkan dan disepadankan dengan pembunuhan atas nyawa atau bahkan lebih berat dan kejam dari itu.

Indonesia Adalah Rumah Kita Bersama

Sebagaimana yang disebutkan dalam sirah Nabawiyah, Rasulullah saw itu pribadi yang sangat nasionalis, sangat cinta tanah air, sangat mencintai rumahnya dan tiada henti mendoakan keselamatan dan kemakmuran negerinya. Rasul saw sangat mencintai kota Makkah, karena ia lahir dan besar di Makkah, ayah bundanya asli penduduk Makkah, dan semua sanak kerabatnya tinggal di Makkah.

Namun, karena perintah Allah swt dan risalah dakwahnya yang harus menyebarkan agama Islam, di samping kebringasan dan pendiskriminasian tiada henti dari penduduk Makkah, maka beliau berhijrah ke Madinah.

Di situlah Madinah mengisi ruang hati Nabi saw, sebab penduduk di sana mereka menerima Rasul saw dan dakwahnya dengan penuh kehangatan dan tangan terbuka sehingga muncul doa kecintaann nabi kepada tanah airnya,

اَلَّلهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِيْنَةَ كَمَا حَبَّبْتَ إِلَيْنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ

“Ya Allah jadikan kami mencintai Madinah sebagaimana kami mencintai Mekah bahkan lebih darinya.” (H.R. an-Nasa’i dalam Sunan al-Kubra)

Jika Nabi saw saja sebagai pribadi yang sangat mencintai tanah airnya, lantas kita sebagai umatnya bukankah mencintai Indonesia adalah sebagai bentuk peneladanan terhadap sunnah-Nya. Maka nasionalisme sama sekali tidak bertentangan dan tidak perlu dipertentangan dengan ajaran Islam.

Bahkan, sejatinya dapat menjadi sarana mengejawantahkan ajaran-ajaranNya seperti beramal shalih, saling menghormati dan menghargai, saling gotong royong membangun kemakmuran, kedamaian dan kemajuan bangsa bersama. Bukankah hal itu yang telah diteladankan oleh ulama-ulama Nusantara dahulu?

Meskipun ulama kita menuntut ilmu di negara Arab (Makkah, Madinah, Mesir, dan negara timur tengah lainnya) tatkala kembali ke tanah air beliau membawa intisari ajaran Islam yang damai, inklusif dan rahmatan lil ‘alamin, beliau tidak membawa identitas atau simbol ke arab-araban, sebab Islam datang tidak untuk mengarab-arabkan, Islam datang untuk rahmatan lil ‘alamin (memberikan rahmat bagi semua manusia dan alam).

Akhirnya, saya ingin mengutip pernyataan Gus Mus, “Indonesia adalah rumah kita bersama, tempat kita lahir, tempat kita mencari nafkah, tempat kita menghirup kesejukan udaranya, tempat kita bersujud, dan tempat kita dikebumikan kelak, maka mari kita jaga, kita rawat rumah ini dengan sebaik-baiknya, jangan biarkan orang lain merusaknya.” Dirgahayu Indonesiaku. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...