Barangkali satu topik ulumul Quran yang tidak banyak dibincangkan adalah tanya jawab antara Nafi’ bin al-Azraq dan Ibn Abbas, yaitu pertanyaan-pertanyaan Nafi’ bin al-Azraq yang dilontarkannya kepada Abdullah bin ‘Abbas sekaligus jawabannya seputar penafsiran kata-kata gharib (asing) dalam Al-Quran yang ditafsiri dengan syair. Topik ini maklum disebut Masa’il Nafi’ bin al-Azraq, sebuah topik yang sarat dengan pengetahuan dan sejarah.
Hubungan Ibnu Abbas dan Nafi’ bin al-Azraq
Ibn Abbas memiliki nama lengkap Abu al-‘Abbas Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Mutalib al-Qurasyi al-Hasyimi. Lahir dan tumbuh dewasa di Makkah. Ia banyak meriwayatkan hadis serta memiliki umur yang panjang. Sebuah riwayat mengatakan ia masih turut berperang bersama Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal dan Shiffin. Ibn Abbas wafat pada tahun 68 H (Siyar A’lam al-Nubala’, juz 3/512).
Sementara Nafi’, ia adalah putra al-Azraq bin Qais al-Haruriy, seorang pemimpin kabilah al-Azariqah. Tak banyak catatan mengenai riwayat hidup Nafi’ al-Azraq ini. Di antaranya adalah momennya bersama Ibn Abbas ketika ia bertandang ke Makkah. Nafi’ bin al-Azraq wafat pada 65 H (al-A’lam, 7/351).
Munculnya Tafsir Lughawi
Kembali ke bahasan kita. Tanya-jawab antara Nafi’ bin al-Azraq dan Ibn Abbas ini kelak menjadi manhaj baru dalam belantika penafsiran al-Quran. Yaitu penafsiran atau penjelasan lafal-lafal al-Quran yang asing (gharib) dengan mendasarkannya (istidlal) pada syair-syair Arab. Dengan kata lain, dialog ini menjadi muasal penafsiran corak kebahasaan atau al-tafsir al-lughawiy (Masail Nafi’, hal. 8)
Sebelum peristiwa ini, belum ada seorang pun yang berhujah dengan syair Arab ketika menafsirkan dan menjelaskan mufradat-mufradat al-Quran sebagaimana dinyatakan Ibrahim al-Samara’i dalam Su’alat Nafi’ bin al-Azraq. Muasal dan pro-kontra penafsiran al-Quran menggunakan syair Arab sudah sedikit saya singgung dalam artikel Syair Jahili dalam Penafsiran Al-Quran dan Pro-Kontra Syair Jahili sebagai Hujjah dalam Menafsirkan Al-Quran
Dahulu, banyak di antara para linguis yang menjauhi metode Ibn Abbas ini ketika menafsirkan al-Quran dengan dalih kawatir mengatakan sesuatu yang tidak-tidak tentang al-Quran. Akan tetapi Ibn Abbas melakukannya. Siapa yang tidak kenal dengan Ibn Abbas? Ia adalah Sang Imamul Mufassirin dan Tarjumanul Quran. Sosok yang expert betul dalam dunia syair, nasab dan sejarah. Keilmuannya dalam bidang al-Quran dan bahasa tidak diragukan lagi.
Pernah dalam satu kesempatan, Umar bin Khaththab disuguhi sebuah pertanyaan yang ternyata ia kesulitan menjawabnya. Akhirnya, Umar menemui Ibn Abbas dan berkata kepadanya, “(masalah ini) beserta contoh-contohnya milikmu” (Su’alat Nafi’, hal. 5)
Sahabat yang lain, Abdullah bin Mas’ud, juga melemparkan pujian kepada Ibn Abbas dalam ungkapannya; “Tarjumanul Quran ialah Ibn Abbas. Ia juga seorang pakar syair. Ia juga pernah berkata; “syair adalah diwan al-‘Arab (catatan historis bangsa Arab). Ketika kami kesulitan memahami lafal dalam al-Quran yang diturunkan menggunakan bahasa Arab, kami kembali kepadanya (diwan al-‘arab) dan darinya kami mengambil pengetahuan,” (Su’alat Nafi’, hal. 5).
Baca Juga: Tafsir Ibnu Abbas: Mengenal Dua Kitab yang Menghimpun Penafsiran Ibnu Abbas
Karya-karya Terkait
Untuk menyimak dialog ini secara lengkap, kita dapat membacanya dalam karya-karya mutakhir berikut; Su’alat Nafi’ bin al-Azraq ila Abdillah bin ‘Abbas (1968) anggitan Ibrahim al-Samara`i, Masa`il Nafi’ bin al-Azraq (1993) garapan Muhammad Ahmad al-Dali, dan Gharib al-Quran fi Syi’r al-‘Arab yang ditahqiq oleh Muhammad ‘Abd al-Rahim dan Ahmad Nasrullah.
Ibrahim al-Samara`i dalam pengantar bukunya yang bertajuk Su`alat Nafi’ bin al-Azraq ila Abdillah bin ‘Abbas, menjelaskan bahwa sebelum bukunya ini, setidaknya ada satu karya yang menyajikan dialog Nafi’ bin al-Azraq dengan Ibn Abbas ini, yaitu al-Itqan fi Ulum al-Quran karya al-Suyuthi (hal. 6).
Namun, riwayat-riwayat dialog antara Nafi’ bin al-Azraq dengan Ibn Abbas dalam kitab al-Itqan tidak lengkap, hanya sekira 190 pertanyaan, dan cetakan yang beredar kala itu banyak ditemui kekeliruan. Dengan alasan inilah, Ibrahim al-Samara`i menghimpun kembali dialog antara Nafi’ bin al-Azraq dengan Ibn ‘Abbas tersebut berdasar naskah yang tersimpan di Dar al-Kutub al-Mishriyyah dan Majma’ al-Ilmiy al-‘Iraqiy.
Berbeda dengan Ibrahim al-Samara`i, Muhammad al-Dali, seorang pengajar kearaban di dua universitas di Damaskus dan Qatar, dengan jelas menyantumkan dua jalur riwayat dialog Nafi’ bin al-Azraq dengan Ibn Abbas di bawah judul besar bukunya, Masa`il Nafi’ bin al-Azraq ‘an Abdillah bin Abbas. Jalur yang pertama riwayat Abu Bakar Ahmad bin Ja’far bin Muhammad bin Salim al-Khuttaliy (w. 365), sedangkan jalur kedua riwayat Abu Thahir Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Yusuf bin al-‘Allaf (w. 446).
Jika Ibrahim al-Samara’i hanya menyebutkan satu karya yang memuat dialog Nafi’ bin al-Azraq dengan Ibn Abbas, Muhammad al-Dali dalam pengantar karyanya, Masa’il Nafi’ bin al-Azraq, menyebutkan 5 karya lain yang lebih dulu yang memuat dialog tersebut, yaitu al-Mu’jam al-Kabir karya al-Tabrani, Majma’ al-Zawaid karya al-Haitsami yang keduanya memuat 31 pertanyaan. Lalu Idhah al-Waqf wa al-Ibtida’ karya Ibn al-Anbari yang memuat 50 pertanyaan, al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran sebagaimana disebut, dan al-Kamil karya al-Mubarrad yang memuat 7 pertanyaan (hal. 9).
Kemudian Muhammad al-Dali menjumlah seluruh petanyaan-pertanyaan itu dari berbagai sumber. Total yang dihasilkan berjumlah 287 pertanyaan. Namun jumlah itu belumlah yang pasti. Bisa kurang, bisa lebih. Jumlah ini berbeda dengan naskah di Dar al-Kutub al-Mishriyyah yang ditahqiq Ibrahim al-Samara’i yang totalnya 248 pertanyaan.
Selain soal jumlah, dialog Nafi’ bin al-Azraq dengan Ibn Abbas ini juga memiliki banyak sanad. Ada yang bersanad sampai ke al-Dhahhak, ke Ikrimah, ke Maimun bin Mahran dan nama-nama lainnya.
Lalu pertanyaannya, kapan Nafi’ bin al-Azraq ini bertemu atau bertalaqqi dengan Ibn Abbas dan menanyakan 287 pertanyaan tersebut? Berapa majelis keduanya bertemu? Pertanyaan apa saja yang diucapkan dalam satu majelis? Berapa kali pertanyaan dalam satu majelis? Yang jelas, sekitar 287 pertanyaan itu tidak ditanyakan dalam sekali waktu, dan terlepas dari itu semua, riwayat dialog ini sangat penting dalam menafsirkan kata-kata asing (gharib) dalam al-Quran.
Pola Dialog
Pola tanya jawab antara Nafi’ bin al-Azraq dengan Ibn Abbas tersebut yaitu, mula-mula Nafi’ bin al-Azraq meminta Ibn Abbas memberitahunya tentang suatu ayat, lalu Nafi’ menyebutkan satu kata yang tidak dimengertinya, lalu Ibn Abbas menjawabnya “begini”, lalu Nafi’ bertanya “apakah orang Arab mengetahui kata itu?”, lalu Ibn Abbas menjawab, “iya. Tidakkah kau mendengar syair penyair ini…” kemudian menyebutkan syair dimaksud.
Kita dapat melihatnya dalam contoh berikut;
قال (نافع بن الأزرق): أخبرني عن قول الله عز و جل: يُرْسَلُ عَلَيْكُمَا شُوَاظٌ مِّنْ نَّارٍۙ وَّنُحَاسٌ فَلَا تَنْتَصِرَانِۚ، ما الشواظ؟ قال (ابن عباس): هو اللهب الذي لا دخان له. قال (نافع بن الأزرق) و هل كانت العرب تعرف ذلك من قبل أن ينزل الكتاب على محمد صلى الله عليه و سلم؟ قال: نعم، أما سمعت قول أمية بن خلف و هو يهجو حسان بن ثابت، و هي يقول: ألا من مبلغ …( إلى أن قال) يمانيا يظل يشب كبرا * و ينفخ دائبا لهب الشواظ. قال: صدقت.
Nafi’ bin al-Azraq bertanya; “(wahai Ibn Abbas) jelaskan kepadaku firman Allah dalam al-Rahman [55] ayat 35. Apa arti al-syuwazh?” Lalu Ibn Abbas menjawab; “al-syuwazh adalah api yang tidak berasap.” Nafi’ bertanya; “adakah kata itu diketahui ornag-orang Arab sebelum al-Quran diturunkan kepada Muhammad Saw?” Lalu Ibn Abbas menjawab; “ada, tidakkah kamu pernah mendengar syair Umayyah bin Khalaf ini..” (Ibn Abbas menyebut 3 bait, salah satu baitnya berbunyi);
يَمَانِيًّا يَظَلُّ يَشُبُّ كِيْرًا * وَ يَنْفُخُ دَائِبًا لَهَبَ الشُّوَاظِ
Nafi’ menjawab; “engkau benar.” Kemudian dialog berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Wallahu a’lam.