Memahami Kata Islam dalam QS. Ali Imran: 19 Perspektif Semiotika Roland Barthes

Memahami Kata Islam dalam QS. Ali Imran: 19 Perspektif Semiotika Roland Barthes
Kata al-Islam

Kata Islam dalam Al-Quran, khususnya pada QS. Ali Imran [3]: 19 dan 85, memang menimbulkan banyak perdebatan dan penafsiran yang beragam. Beberapa mufassir menempatkannya sebagai ayat yang mengesankan eksklusivisme dan superioritas agama Islam, sementara beberapa lainnya sepakat menjadikannya dasar inklusifisme Islam, yang dapat menampung agama-agama lainnya, selain agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Perdebatan ini tak hanya populer dikalangan akademisi, melainkan, kaum “awam” pun turut serta membahas hal ini. Barangkali, akan dapat kita lihat contoh-contohnya secara gamblang dalam ruang media sosial, masalah ini bergulir bagaikan bola api yang tak segan saling “membakar” lawan debatnya masing-masing. Mereka mencoba mengklaim bahwa opininya adalah yang paling benar.

Pada artikel kali ini, penulis ingin menyuguhkan sebuah diskusi yang mencoba melerai kedua kutub yang berlawanan tersebut dari perspektif semiotika Roland Barthes. Dalam hal ini, penulis ingin lebih memfokuskan pada QS. Ali Imran [3]: 19.

Semiotika Roland Barthes

Sumbangan yang menjadi paling penting dalam semiotika Roland Barthes adalah konsep tentang denotasi, konotasi, dan mitos. Dalam konsep ini terdapat dua tingkat pemaknaan.

Tingkatan pertama adalah denotasi, yaitu tingkat yang menjelaskan hubungan petanda dan penanda pada realitas yang menghasilkan makna eksplisit, langsung, pasti, dan apa adanya sesuai dengan rangkaian teks. Tingkat kedua adalah konotasi, yaitu tingkatan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang menghasilkan makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Dengan kata lain, untuk memahaminya membutuhkan sesuatu di luar teks.

Dalam tingkat kedua ini ada juga yang disebut dengan mitos, yang dapat dikatakan sebagai konotasi yang digiring dan diseragamkan lalu diyakini sebagai konotasi yang paling benar. Di sini, mitos menjalankan fungsi naturalisasi, yakni menjadikan nilai-nilai yang bersifat historis dan kultural, seakan-akan menjadi tampak alamiah (Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi, 8-9).

Baca juga: Surat Ali Imran [3] Ayat 19: Makna Agama Islam dalam Al-Quran

Penggalian Makna Denotasi

Untuk menemukan makna denotasi, penulis akan melakukan pembacaan berdasarkan konvensi bahasa yang menekankan analisis pada aspek linguistik. Allah berfirman:

…إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ

Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS. Ali Imran [3]: 19).

Dari ayat tersebut, kata al-Islam akan menjadi fokus yang dibahas. Dalam “Mu’jam al-Maqayis fiy al-Lughah” disebutkan bahwa Islam berasal dari kata aslama-yuslimu-islaman yang berarti tunduk. Sementara itu dalam kamus “al-Munjid”, Islam bermakna tunduk, patuh, dan menyerahkan diri.

Di sisi lain Rasyid Ridha menegaskan bahwa Islam lebih spesifik bermakna ketundukan dan penyerahan diri. Selanjutnya, kedua makna tersebut dianggap sebagai ruh dari agama (Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, 3/257). Pernyataan yang serupa juga disampaikan oleh Buya Hamka, dengan mengatakan bahwa ketundukan dan penyerahan diri adalah hakikat agama yang berada di sisi Allah (Hamka, Tafsir Al-Azhar, 2/827).

Pemaknaan Islam sebagai berserah diri dan ketundukan tersebut pada dasarnya disepakati oleh banyak mufassir, sehingga dari sini dapat dipahami makna denotasi dari kata Islam dalam QS. Ali Imran [3]: 19 adalah agama yang berhakikatkan penyerahan diri dan ketundukan kepada Allah.

Penggalian Makna Konotasi

Pembacaan pada tingkat kedua ini meliputi pada hubungan internal teks Al-Quran, intertekstualitas, Asbabun Nuzul, maupun perangkat Ulumul Quran lainnya. Karena sebagaimana telah disebutkan di atas, makna konotasi hanya dapat ditemukan melalui aspek di luar teks.

Berkaitan dengan makna ini, kebanyakan penafsir mencoba mengaitkan ayat ini dengan menghubungkan secara internal dengan teks al-Quran lainnya.

Misalnya, ungkapan yang disampaikan oleh Hamka, dengan menyetujui pemaknaan kata al-Islam sebagai penyerahan diri dan ketundukan, berarti membuka pemaknaan secara inklusif, yang tidak hanya dikhususkan pada ajaran yang dibawa Nabi Muhammad, melainkan juga mencakup ajaran-ajaran Nabi sebelumnya, tanpa memandang perubahan zaman dan tempat (Hamka, Tafsir Al-Azhar, 2/827).

Hal ini pada dasarnya disandarkan pada penggunaan derivasi kata Islam yang tidak hanya ditujukan pada ajaran Nabi Muhammad saja, melainkan pada nabi-nabi sebelumnya, bahwa mereka adalah muslim, seperti yang tertulis pada QS. Yunus [10]: 72, 84; QS. Ali Imran [3]: 52, 67, 84; dan QS. Al-Baqarah [2]: 132-133, 136.

Baca juga: Mengenal Paradigma Ma’na Cum Maghza sebagai Pendekatan Tafsir ala Sahiron Syamsuddin

Mengenai argumen tersebut, pihak yang menyatakan bahwa bahwa Islam dalam ayat tersebut dikhususkan pada Islam Nabi Muhammad saja, mendasarkan pada fakta bahwa pada ajaran para Nabi yang lalu, istilah Islam hanya berupa sifat, namun pada ajaran Nabi Muhammad Islam dijadikan sebagai tanda dan nama baginya. Pendapat tersebut dikutip oleh Quraish Shihab dari Asy-Sya’rawi, yang kemudian ditambahi dengan fakta lain bahwa dalam Al-Quran tidak ditemukan kata Islam sebagai nama agama kecuali setelah agama ini sempurna dengan kedatangan Nabi Muhammad. Dengannya, tidak keliru kiranya jika menyatakan bahwa Islam pada ayat ini dipahami sebagai ajaran Nabi Muhammad (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, 2/41)

Dari pembahasan di atas, ditemukan dua makna konotasi, yang ditemukan melalui penghubungan secara internal dengan ayat Al-Quran. Yaitu, Islam dalam ayat ini mencakup ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi sebelumnya, yang dengan demikian ajaran-ajaran tersebutpun diridhai dan tidak memandang zaman dan tempat. Sebaliknya, konotasi lainnya menyatakan bahwa Islam dimaknai sebagai ajaran Nabi Muhammad saja, sebab setelah Nabi Muhammad hadir, maka jalan menuju Allah telah ditutup dan tidak diridhai.

Penggalian Makna Mitos

Mitos dapat dikatakan sebagai konotasi yang digiring dan diseragamkan lalu diyakini sebagai konotasi yang paling benar. Di sini, mitos menjalankan fungsi naturalisasi, yakni menjadikan nilai-nilai yang bersifat historis dan kultural, seakan-akan menjadi tampak alamiah (Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi, hal. 9).

Dalam konteks ayat ini, mitos dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan yang seakan-akan menjadikan salah satu konotasi di atas, sebagai paling benar. Pemitosan paling sering dilakukan terhadap makna bahwa Islam hanya sebagai ajaran Nabi Muhammad sehingga menegasikan adanya pemaknaan lainnya, bahkan menganggap pemahaman lain terhadap ayat tersebut sebagai sesat. Hal ini dikatakan sebagai mitos karena masuk dalam satu kriteria mitos, yaitu reduksi identifikasi, bahwa sebenarnya terdapat pemaknaan lain, terkait kata Islam dalam ayat ini, namun direduksi menjadi hanya satu pemaknaan tersebut.

Hanya saja, makna bahwa Islam sebagai ajaran berserah diri yang mencakup syariat-syariat yang dibawa oleh Nabi sebelumnya, dapat juga menjadi mitos tatkala pemaknaan tersebut menegasikan adanya pemaknaan lain.

Hal ini disebabkan karena pada dasarnya Barthes meyakini, setelah tulisan terlahir, maka teks tersebut independen dan bergantung pada pembacanya. Oleh karenanya, Barthes secara eksplisit juga menghendaki keberagaman makna. Dan dalam konteks Al-Quran, penafsiran dianggapnya lebih pada kemauan penafsir terhadap teks, sebab kita tidak akan pernah benar-benar tahu apa yang Allah kehendaki terhadap terks tersebut. Pembacaan yang demikian, oleh Sahiron Syamsuddin dimasukkan pada tipologi aliran subyektifis. (Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, 47).

Baca juga: Tips Menentukan Tema Penelitian Terkait Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir