Sampai saat ini, Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) masih menjadi salah satu ajang perlombaan membaca Alquran yang populer di masyarakat. Perlobaan MTQ memadukan antara suara yang merdu, keharmonisan irama tanpa melanggar kaidah tajwid, dan diiringi dengan adab membaca Alquran.
Dilansir dari jatim.kemenag.go.id, disebutkan bahwa di antara tujuan diselenggarakannya MTQ adalah untuk mendekatkan jiwa umat Islam kepada Alquran dan meningkatkan semangat membaca, mempelajari, serta mengamalkannya. Tentu itu adalah hal yang sangat positif.
Arti dari kata musabaqah dalam bahasa Arab juga memiliki konotasi baik. Musabaqah memiliki makna saling mendahului, saling berpacu, adu kecepatan, atau balapan. Musabaqah juga berarti perlombaan, kompetisi, dan kontes. Di samping itu, MTQ juga merupakan bentuk lomba untuk mencapai kebaikan.
Hal tersebut sejalan dengan potongan ayat dalam Q.S. Albaqarah: 148 dan Q.S. Almaidah: 48 yang berbunyi:
فَاسْتَبِقُوْاالْخَيْرٰتِ
Maka berlomba-lombalah kamu sekalian (dalam mengerjakan) berbagai kebaikan.
Memicu untuk berbuat ria
MTQ merupakan salah satu tradisi yang tidak lepas dari budaya pesantren. Lalu pada perkembangannya, acara ini kemudian menjadi salah satu agenda nasional dan fenomena kebudayaan masyarakat Indonesia.
Terlepas dari itu, acara MTQ ini ternyata mendapat respons negatif dari Kiai Mishbah Musthofa. Dalam salah satu penafsirannya, yakni dalam kitab al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil, beliau menyinggung bahwasanya MTQ adalah salah satu perbuatan ria yang mengarah kepada perbuatan syirik, sehingga haram hukumnya (al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil, hal. 702-703).
Pendapat di atas dijelaskan lebih lanjut oleh Kiai Mishbah dalam tafsirnya atas surah Alan‘am ayat 126:
“Alquran iku diturunake perlu diangen-angen artine nuli diamalake. Nanging Alquran diwaca perlu kanggo golek nama utawa golek duit utawa golek nomer siji, golek hadiah ana ing musabaqah tilawah Alquran. Akhire, kedudukane Alquran meh ora bedo karo orkes lan gambus. Iki kabeh saking polahe wong kang ngaku pemimpin utawa ulama”
“Alquran diturunkan dengan tujuan untuk diresapi maknanya, kemudian diamalkan. Namun kenyataannya, Alquran dibaca dengan tujuan mencari nama, mencari uang, mencari nomor (juara) satu, atau mengharapkan hadiah. Hal ini sebagaimana terjadi di dalam Musabaqah Tilawah Alquran (MTQ). Pada akhirnya, kedudukan Alquran hampir sama dengan orkes atau gambus. Ini semua terjadi akibat ulah orang-orang yang mengaku pemimpin umat atau ulama” (al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil, hal. 1152).
Baca juga: Mufasir Indonesia: Kiai Misbah, Penulis Tafsir Iklil Beraksara Pegon dan Makna Gandul
Komersialisasi ayat-ayat Alquran
Kiai Mishbah ingin mengembalikan posisi Alquran sebagai tuntunan yang harus diajarkan dan diamalkan, bukan untuk dilombakan pembacaannya dengan hanya bertujuan mencari keuntungan-keuntungan yang bersifat duniawi. Dalam sudut pandang Kiai Mishbah, hal-hal seperti itu justru mengeluarkan kedudukan Alquran dari kedudukan yang semestinya.
Inilah yang dihukumi beliau sebagai perbuatan haram, sebagaimana penjelasannya ketika menafsirkan surah Ala‘raf ayat 2:
“Sangking ayat iki kitha bisa ngerti yen kang dadi sasaran dakwahe Qur’an yaiku: 1). Wong-wong kang iseh pada kafir, 2). Wong-wong kang wus pada iman. Karo-karone sasaran da’wah iki wus dilakokake dening Rasulullah. Dadi wongwong kang podo ngemban tugas Rasulullah uga kudu nujokake da’wahe marang wong-wong kafir lan wong mukmin. Nuli yen kitha wis ngerti duduke temurune Alquran yaiku kanggo meden-medeni wong kafir lan supaya wong mukmin pada nampa pitutur. Dadi ora halal ngetokake Alquran sangka kedudukane. Kaya maca Qur’an ing dalan-dalan, perlu kanggo golek duit utawa kanggo rengeng-rengeng kang sekira kang dadi tujuanne golek duit lan ngerungoake suwara kang bagus kaya nyanyian lan gambus. Kang mengkunu iku setengah saking laku sasar kang bisa dadi sebabe temurune siksa Allah. Luwih-luwih ing zaman saiki tahun 1403 H, yaiku maca Qur’an kang ing Musabaqah Tilawah Alquran. Mandar saiki Musabaqah Tilawah Alquran kanggo golek duit nuli hasile kanggo ambangun bangunan kanggo lapangan olahraga. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Para wong kang ngaku ulama lan pemimpin akeh kang podo ora nganggep mungkar cara maca Qur’an kang mengkono, mandar pada bungah lan bangga. Semono uga Qari’ lan Qari’ah”
Dari ayat ini kita dapat mengerti bahwa yang menjadi sasaran dakwah Alquran yaitu: pertama, orang-orang yang masih kafir; dan kedua, orang-orang yang telah beriman. Kedua kelompok ini adalah orang-orang yang menjadi sasaran dakwah Rasulullah. Para pengemban tugas Rasulullah harus menunjukkan dakwahnya terhadap orang-orang kafir dan orang-orang mukmin. Kemudian, mereka juga harus mengerti bahwa kedudukan turunnya Alquran adalah untuk memberikan rasa takut kepada orang kafir dan agar orang-orang mukmin mendapat nasihat. Jadi, tidak halal mengeluarkan Alquran dari kedudukannya, seperti membaca Alquran di jalan-jalan, dengan tujuan mencari uang atau membaca Alquran dengan cara yang lain dengan tujuan mencari uang, atau juga membaca Alquran dengan suara yang bagus seperti nyanyian atau gambus. Yang demikian itu adalah bagian dari perbuatan sesat yang bisa menjadi sebab turunnya siksa dari Allah. Terlebih lagi pada zaman ini, tahun 1403 H, yaitu membaca Alquran seperti dalam Musabaqah Tilawah Alquran. Bahkan, saat ini Musabaqah Tilawah Alquran dijadikan sarana mencari uang, yang kemudian uangnya dipakai untuk membangun lapangan olahraga. Para ulama dan pemimpin banyak yang tidak menganggap cara membaca Alquran seperti ini sebagai bagian dari kemungkaran. Justru mereka malah bangga dan senang. Begitu pula para qari’ dan qari’ah-nya (al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil, hal. 1209-1210).
Sebagaimana pernyataannya di atas, Kiai Mishbah Mushthafa sangat tidak menyetujui lomba membaca Alquran dalam gelaran MTQ. Bukan membaca Alqurannya yang beliau persoalkan, karena membaca Alquran jelas diperintahkan dan berpahala bagi yang melakukannya.
Yang dipersoalkan oleh Kiai Mishbah Mushthafa dalam lomba membaca Alquran yang dilakukan dalam kegiatan MTQ tidak lain adalah karena hal itu dilakukan untuk kepentingan yang bersifat material yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam sendiri.
Ini berkaitan pula dengan konteks zaman beliau. Pada saat itu, Kiai Mishbah melihat fenomena dalam pelaksanaan MTQ tidak lagi dijadikan sebagai salah satu bentuk siar agama Islam sebagaimana seharusnya yang mungkin juga diniatkan para penggagas lomba ini, melainkan justru sebagai kegiatan yang sarat dengan kepentingan-kepentingan materialistik, bahkan semata-mata sebagai hiburan.
Pandangan ini bisa saja berbeda dengan pandangan sebagian kalangan ulama yang memandangnya sebagai sarana untuk berdakwah, motivasi untuk melantunkan Alquran dengan suara yang indah, sehingga dengannya ia berlomba-lomba belajar membaca Alquran.
Oleh karena itu, jika sekiranya alasan (illat) yang melatarbelakangi pandangan Kiai Mishbah mengharamkan MTQ itu hilang, maka perlombaan tersebut bisa kembali diperbolehkan, bahkan dianjurkan jika terbukti mendatangkan maslahat. Wallahua’lam.
Baca juga: Pentingnya Pagelaran MTQ Menurut Prof. Said Agil Husin al-Munawwar