Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 44 Tahun 2016 mendefinisikan pentashihan mushaf Alquran atau tashih Alquran sebagai kegiatan meneliti, memeriksa, dan membetulkan master Mushaf Al-Qur’an yang akan diterbitkan dengan cara membacanya secara saksama, cermat, dan berulang-ulang oleh para pentashih sehingga tidak ditemukan kesalahan. Kendati definisi ini diperuntukkan proses pencetakan mushaf Alquran, tetapi secara umum pentashihan Alquran memiliki kandungan definisi yang sama.
Apabila mengamati definisi semacam ini, proses tashih Alquran pada dasarnya memiliki kaitan yang cukup erat dengan aktivitas kritik teks dalam kajian filologi. Hal ini yang menjadi fokus utama ulasan yang akan penulis bagikan dalam tulisan ini.
Abdul Hakim dalam tulisannya berjudul Pola Tashih Mushaf Al-Qur’an di Indonesia: Benang Merah Institusi Pentashihan sebelum Tahun 1959, menginventarisasi pola-pola yang dapat digunakan dalam tashih mushaf kuno. Ada dua pola yang Hakim sebutkan dalam tulisannya.
Pola tashih yang pertama merupakan pola yang dilakukan saat proses penyalinan berlangsung. Pola ini dapat ditempuh melalui dua cara; yakni penyalinan yang dilakukan oleh seorang hafiz, seperti mushaf Keraton Sambas dan penyalinan yang mencontoh mushaf induk, seperti mushaf Keraton Ternate. Dengan dua cara ini, kesalahan dalam penyalinan dan penulis mushaf Alquran dapat diminimalisasi mengingat pelakunya adalah hafiz dan master mushafnya merupakan mushaf induk.
Pola tashih yang kedua adalah tashih pascapenyalinan. Pola ini ditempuh dengan dua model; tashih kepada institusi keagamaan otoritatif, seperti mushaf Majene yang ditashihkan di kota Makkah dan tashih sepanjang hayat, seperti kebanyakan mushaf kuno yang dijumpai catatan tashih di seluruh bagian naskah.
Masing-masing pola yang diinventarisasi oleh Hakim, pada dasarnya bukan merupakan pola-pola yang saling terpisah. Dalam beberapa kasus, keduanya dapat menjadi satu proses yang terpadu. Hal ini dikarenakan proses penulisan dalam naskah kuno yang sangat rumit dan sulit. Sehingga kendati telah ditulis oleh seorang hafiz sekalipun, atau dengan mencontoh mushaf induk, kesalahan tetap dapat terjadi.
Baca juga: Mengenal Profil Lembaga Pentashihan Mushaf Alquran Kementerian Agama
Penulis sendiri menganggap bahwa objek pentashihan setidaknya menyasar pada dua aspek; aspek penulisan yang berimbas pada aspek pembacaan berupa kesalahan penulisan teks dan aspek penulisan yang tidak memenuhi kaidah atau rasm imla’iy. Dua aspek ini yang sama-sama dapat dijumpai dengan intensitas yang cukup tinggi. Sehingga, kritik teks tetap dapat dilakukan dengan berusaha menghadirkan teks yang dianggap benar, baik dari sisi pembacaan atau pun kaidah penulisan.
Dari seluruh pola dan model yang diberikan Hakim dalam ulasannya, tashih pascapenyalinan dengan model sepanjang hayat adalah tashih yang penulis tekankan sebagai bagian dari aktivitas kritik teks. Hal ini dikarenakan jangka waktu yang panjang dengan melibatkan pembaca lintas sejarah. Pembaca mushaf kuno “era kini” (pembaca era pascapenulisan naskah kuno) diharapkan dapat memberikan koreksi manakala menjumpai kesalahan, terutama pada kekeliruan teks.
Model semacam ini dapat dijumpai dalam tashih mushaf kuno yang dilakukan dengan jenis tinta yang berbeda dari yang digunakan dalam penulisan teks induknya, baik dari segi jenis maupun warna yang digunakan. Perbedaan jenis tinta ini menunjukkan adanya perhatian dari pembaca “era kini” untuk melakukan kritik terhadap kekeliruan yang mereka temukan dalam teks yang tengah mereka baca.
Dengan adanya aktivitas kritik ini, pembaca “era kini” juga telah merealisasikan tujuan dari kajian filologi berupa making a text available atau mengupayakan teks lama dapat dinikmati oleh pembaca masa kini (pembaca setelahnya). Dengan ini pula, pembaca “era kini” telah menunaikan salah satu rukun tujuan filologi, yakni to present atau menyajikan.
Dengan demikian, tashih terhadap mushaf kuno pada dasarnya merupakan bagian dari aktivitas kritik teks sebagaimana dimaksudkan dalam filologi. Kesalahan dalam penyalinan sedapat mungkin dibetulkan dengan berdasar pada teks konsensus Alquran yang telah disepakati. Wallahu a‘lam bi al-shawab.
Baca juga: Pemeliharaan Alquran dari Zaman Nabi Hingga Masa Kini