BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTafsir Ahkam: Perbedaan Hukum Umrah

Tafsir Ahkam: Perbedaan Hukum Umrah

Selain haji, ibadah yang juga mensyaratkan umat Islam harus pergi ke Makkah yaitu umrah. Bedanya dengan haji, umrah tidak harus dilaksanakan di bulan-bulan tertentu. Oleh sebab itu, di Indonesia khususnya, mengingat masa tunggu keberangkatan haji yang lumayan lama, muslim Indonesia lebih banyak untuk berumrah dulu sebelum haji, dengan begitu setidaknya muslim sudah dapat menginjakkan kaki di ‘tanah haram’, Makkah dan Madinah. Satu lagi yang membedakan umrah dengan haji adalah hukumnya. Hukum umrah diketahui oleh banyak orang adalah sunah, ada pula yang menghukuminya wajib. Bagaimana penjelasan kedua hukum yang berbeda ini?

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Pro Kontra Dasar Kewajiban Haji

Hukum melaksanakan umrah

Landasan ayat Alquran tentang umrah yaitu surah Al-Baqarah ayat 196,

وَاَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّٰهِ

Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah (Q.S. Al-Baqarah [2] :196).

Tatkala menguraikan tafsir ayat ini, Imam al-Razi memaparkan pandangan para ulama terkait hukum melaksanakan umrah. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa umrah wajib, sedang Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hukum umrah adalah sunah. Perbedaan pendapat ini salah satunya bermuara pada maksud dari redaksi wa atimmu “sempurnakanlah” pada ayat tersebut.

Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa redaksi “sempurnakanlah!” adalah kata perintah yang bersifat mutlak atau tidak bersyarat. Implikasi makna ini kemudian adalah laksanakan umrah dengan sumpurna!, sehingga hukum umrah adalah wajib. Hal ini sebagaimana kewajiban menahan diri dari makan dan minum saat puasa, seperti dalam firman Allah berikut,

ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ

Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam (QS. Albaqarah [2] :187).

Sedang Mazhab Hanafi berpendapat bahwa redaksi “sempurnakanlah!” adalah kata perintah bersyarat. Maknanya adalah sempurnakanlah umrah saat sudah masuk di dalamnya. Sehingga kewajiban bukan pada memulai umrah itu sendiri, tapi menyempurnakan umrah yang meniscayakan ketika melaksanakan umrah. Oleh karena itu, Al-Baqarah ayat 196 tidak bisa menjadi dasar wajibnya melaksanakan umrah. Penjelasan ini disampaikan oleh Al-Razi dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib/3/155 .

Lalu apa yang menjadi dasar kesunahan umrah? Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa para ulama mengajukan beberapa dasar hadis untuk menunjukkan hukum umrah adalah sunah. Salah satunya hadis yang diriwayatkan oleh Jabir ibn Abdullah:

يَا رَسُولَ اللَّهِ الْعُمْرَةُ وَاجِبَةٌ وَفَرَيضَتُهَا كَفَرِيضَةِ الْحَجِّ؟ قَالَ :« لاَ وَأَنْ تَعْتَمِرَ خَيْرٌ لَكَ »

“Wahai Rasulullah, apakah umrah hukumnya wajib dan kewajiban melaksanakannya sebagaimana kewajiban haji?” tanya Jabir. Nabi menjawab: “Tidak. Dan apabila engkau melaksanakan umrah, maka itu lebih utama bagimu” (HR. Baihaqi)

Baca Juga: Hukum Menyegerakan Haji saat Sudah Mampu

Syaikh Wahbah Zuhaili menjelaskan, dari dua pemahaman tentang Al-Baqarah ayat 196 di atas, yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bahwa umrah hukumnya wajib. Syaikh Wahbah juga menyatakan bahwa hadis yang dijadikan dasar hukum umrah sunah adalah hadis-hadis yang lemah. Oleh karena itu, ulama asal Syiria ini mensahihkan pendapat yang menyatakan bahwa hukum umrah itu wajib. (Fiqhul Islami/3/2075).

Imam Mawardi, salah satu pakar perbandingan mazhab dari Mazhab Syafi’i mengkonfirmasi bahwa Mazhab Syafi’i memang berpandangan bahwa umrah hukumnya wajib. Namun itu adalah pandangan yang mashur dari Mazhab Syafi’i saja. Sebagian ulama mereka berpendapat bahwa umrah adalah sunah (al-Hawi al-Kabir/4/69).

Sementara itu, salah satu ulama Syafiiyah yang sangat populer, yaitu Imam al-Nawawi menyatakan bahwa pendapat yang sahih dari Mazhab Syafi’i adalah hukum umrah itu wajib. Sedang pendapat kalangan Syafiiyah yang mengatakan bahwa umrah itu sunah adalah pendapat qaul qadim Imam Syafi’i yang sudah direvisi serta pendapat yang diyakini oleh Abu Tsaur, salah satu ulama Syafi’iyah (Al-Majmu’/7/7).

Demikianlah satu ayat, satu topik bisa melahirkan dua hukum yang berbeda. Keduanya mempunyai argumentasi yang jelas. Meskipun demikian, bagi madzhab yang menghukumi umrah adalah wajib, kewajiban umrah sebagaimana ketentuan haji, yaitu wajib bagi seseorang yang mampu. Wallahu a’lam.

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...