Era disrupsi ditandai dengan perubahan kehidupan yang masif oleh teknologi dan informasi. Kondisi ini melahirkan sikap mental yang sembrono dan hanya menambah jumlah manusia yang kurang bijaksana.
Hal ini terjadi dikarenakan kecepatan teknologi tidak dibarengi dengan kesiapan sikap dan mental yang matang. Tidak sedikit dari mereka yang ikut menebar kebencian, berita bohong, pertengkaran remeh dan hal-hal tak berfaedah lainnya.
“Yang hilang dari kita adalah kebijaksanaan”, boleh jadi kalimat ini tepat menggambarkan situasi seperti sekarang. Lalu apa itu kebijaksanaan? Mengapa ia menjadi hal penting untuk menghadapi era disrupsi? Berikut akan dijawab melalui kajian ayat dan penafsirannya!
Hikmah dalam Al-Qur’an
Kebijaksanaan dalam bahasa Arab disebut dengan ḥikmah. Kata ini disebut sebanyak 208 kali di dalam Al-Qur’an. Berasal dari susunan huruf ha-kaf-mim, yang berarti menghalangi. Satu akar kata dengan ḥukum yang berfungsi menghalangi terjadinya penganiayaan. Atau ḥakamah, yaitu kendali bagi hewan. Sementara ḥikmah adalah sesuatu yang bila diperhatikan akan menghalangi terjadinya kesulitan dan mendatangkan kemaslahatan.
Baca Juga: Kedudukan Guru Menurut Tafsir Surah Hud Ayat 88
Satu dari sekian ayat ḥikmah yang sesuai dengan pembahasan ini adalah Q.S Al-Baqarah [2]: 269 berikut ayat dan terjemahannya:
يُّؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ ٢٦٩
“Dia (Allah) menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang dianugerahi hikmah, sungguh dia telah dianugerahi kebaikan yang banyak. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (darinya), kecuali ululalbab.”
Perihal ayat ini, Quraish Shihab menejaskan bahwa ayat sebelumnya membahas dua jalan; jalan Rahman dan jalan setan. Sehingga, hikmah kemudian dipahami dalam arti pengetahuan tentang baik dan buruk, serta kemampuan menerapkan yang baik dan menghindar dari yang buruk (Tafsir al-Mishbaḥ, jil. 1, hal. 581).
Melengkapi penjelasan Quraish Shihab, Makarim Asy-Syirazi menjelaskan bahwa hikmah berarti kesadaran untuk membedakan antara yang haq dan batil dengan kebersihan hati dan kejernihan pikiran. Sehingga mampu mengambil sikap yang banyak memberi maslahat dan menghindari kemudaratan (Tafsīr al-Amṡal, jil. 2, hal. 315).
Dua mufasir di atas memandang hikmah sebagai suatu sikap mental, kewaspadaan, kesadaran untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Hal ini juga dikuatkan dengan penafsiran Al-Biqa’i, bahwa mereka yang bijaksana harus yakin sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya, sehingga dia akan tampil dengan penuh percaya diri, tidak berbicara dengan ragu atau kira-kira, dan tidak pula melakukan sesuatu dengan sembrono.
Menjadi Ululalbab
Setelah memahami kebijaksanaan dalam kata ḥikmah, Allah menyifatkan ḥikmah dengan kebaikan yang banyak (khairan kaṡīrā). Kemudian Allah menutup ayat tersebut dengan, Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (darinya), kecuali ululalbab.” Lalu siapakah ululalbab itu?
Secara bahasa ululalbab terdiri dari dua kata; ulū yang berarti pemilik atau penyandang dan; al-bāb bentuk jamak dari lubb berarti saripati sesuatu. Sebagaimana isi kacang, disebut dengan lubb. Quraish Shihab menyebut ululalbab sebagai orang yang memiliki akal murni, tidak diselubungi oleh “kulit”; yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan berpikir.
Baca Juga: Meninjau Ulang Makna Asyiddaa’u alal Kuffar dalam Al-Quran Surah Al-Fath Ayat 29
Menjadi ululalbab berarti tidak terkaburkan dengan cepatnya informasi dan masifnya teknologi. Mampu berpikir murni dan jernih, tidak mudah terpicu pertengkaran di media dan selalu menyikapi segala sesuatu sesuai tempat, porsi dan proporsinya.
Tulisan ini menjadi pengingat untuk sama-sama kita belajar kebijaksanaan di era disrupsi. Kemudian sembari perlahan menyiapkan sikap dan mental untuk menghadapi derasnya informasi dan teknologi. Selanjutnya keluar menjadi ululalbab yang bijaksana dalam berpikir dan bertindak sebagaimana tuntunan Al-Qur’an. Wallahu’alam. []