Maulid dan Kelahiran Manusia Baru

Maulid Nabi dan Kelahiran Manusia Baru
Maulid Nabi dan Kelahiran Manusia Baru

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan rasul) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (Ali Imran: 164).

Pemikiran dan gagasan besar tidak lahir di ruang hampa. Ia tumbuh dalam sebuah “iklim” dengan segala muatannya, berangkat dari aneka harapan dan kondisi yang melingkupinya, berbekal multi strategi dan mengacu pada sejumlah target sasaran yang jelas. Pada saatnya, semua itu mendorong lahirnya tatanan baru yang diyakini penggagasnya sebagai tatanan yang lebih baik; lebih bermartabat dibanding tatanan lama yang dinilai sarat dengan keburukan dan kesesatan.

Gerakan perubahan yang didengungkan Muhammad tidak mengidealkan perubahan total mencakup semua bentuk dan format lama. Gerakan yang dipelopori Muhammad tidak menuntut dirinya menjadi seseorang yang benar-benar baru dengan nilai dan tatanan makna yang sepenuhnya baru. Perannya memang besar, tapi ia tidak bergerak di dunianya sendiri, tidak berpikir dalam kerangka pengalaman pribadinya sendiri. Muhammad adalah seorang Rasul, utusan Tuhan yang bergerak; berpikir dan bertindak, dalam kerangka risalah yang diembannya. Kendati demikian, ia bukan orang asing bagi kaumnya. Seperti kata ayat di atas, Muhammad berasal dari golongan mereka sendiri. Apa yang dirasakan (dipedulikan) Muhammad tidak asing bagi mereka; apa yang dipikirkan Muhammad berangkat dari realitas yang akrab dengan mereka.

Muhammad berasal dari “jantung” masyarakat di mana ia tinggal di dalamnya. Tuhan mengutusnya kepada mereka untuk menyampaikan ayat-ayat-Nya, kiranya mata mereka terbuka melihat keagungan-Nya; hati mereka terbuka menerima hidayah-Nya. Tuhan menugaskannya melakukan penyucian jiwa mereka dari akhlak tercela, perilaku buruk, pemikiran dan kebiasaan yang jelek. Tuhan menyuruhnya mengajarkan kepada mereka Kitab Allah yang terkandung di dalamnya segenap risalah dan “bertemu” di dalamnya ajaran semua rasul.

Kepada mereka Muhammad juga mengajarkan hikmah-kebijaksanaan yang menghubungkan gerak hidup mereka dengan lingkup kosmik (semesta) yang berjalan mengikuti sunnah-Nya yang lurus dan konstan. Seorang Muslim tidak cukup hanya fasih berteori di aras pemikiran sambil melafalkan ayat-ayat Kitab Suci. Ia harus terus melangkah di jalan kesempurnaan dengan menautkan pemikiran teoritisnya dan dalil-dalil yang dihafalnya dengan realitas di mana ia hidup di dalamnya. Itulah antara lain makna hikmah yang Tuhan meminta Muhammad untuk mengajarkannya pada mereka. Hikmah yang mengajarkan keseimbangan antara pemikiran (teori) dan kenyataan (tempat menerapkan teori).

Muhammad datang untuk itu semua (tilawah, tazkiyah, dan ta’lim) dalam rangka membebaskan mereka dari kubangan kesesatan yang nyata, baik di tingkat pemikiran maupun ranah perbuatan. Semua itu oleh ayat disebut sebagai karunia Allah atas mereka. Jalan hidup yang lurus, pola pikir yang bening, orientasi hidup yang jelas lagi benar; semua ini merupakan sebenar-benarnya kebaikan di mana mereka harus hidup di dalamnya. Dalam segala keadaan, kebaikan itu harus tetap terawat agar hidup tetap berlimpahkan kedamaian dan kasih-sayang.

———-

“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang beruntung” (al-A’raf: 157).

Yang menjadi fokus dari ayat di atas adalah penggalan ini: “…yang menyuruh mereka berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” Seperti terlihat dan cukup mudah dipahami, Allah menjadikan amar ma’ruf, nahi munkar, penghalalan segala yang baik, pengharaman segala yang buruk, serta membebaskan beban dan belenggu; Allah menjadikan semua ini dalam “satu paket”, satu-sama-lain saling terkait.

“Ma’ruf” mencakup segala hal yang dapat diterima akal sehat dan fitrah lurus, sedang “munkar” kebalikannya. “Segala yang baik” di ayat ini adalah makanan sebagaimana disebut dalam al-Baqarah: 168 dan al-Ma`idah: 4. Bukan amal-perbuatan, sebab amal-perbuatan terkelompokkan dalam ma’ruf dan munkar. Makanan tidak masuk dalam kelompok ma’ruf dan munkar. Bukan wilayah akal untuk membedakan makanan; mana yang dapat dimakan, mana yang tidak. Adat-kebiasaan manusia yang menentukan. Kemudian Islam datang memberi ketegasan; halal semua makanan yang baik, haram semua makanan yang buruk.

Yang dimaksud “membebaskan beban” adalah menghapus syariat terdahulu yang dirasa berat. Syariat dalam kitab Taurat mengandung banyak hukum yang dinilai berat, seperti hukuman mati atas sejumlah dosa, pengharaman atas banyak jenis makanan yang baik-baik, pengharaman atas perkara-perkara yang “biasa-biasa saja”. Puncak beratnya syariat dalam Taurat adalah tidak adanya taubat dari dosa yang pernah diperbuat. Pelaku dosa tidak mempunyai kesempatan bertaubat. Beratnya syariat Taurat ini diisyaratkan dalam al-Baqarah: 286.

“Belenggu”, yang dimaksud adalah beban berat dan tak tertanggungkan seperti kehinaan yang ditanggung kaum Yahudi pasca kehancuran Bait al-Muqadas dan lenyapnya kerajaan Yahudza. Cukup mudah dipahami menunjuk “kehinaan” sebagai “belengggu”, karena belenggu memang antara lain menyimbolkan kehinaan, pun kehinaan biasa membelenggu yang bersangkutan.

———-

Tentang Ali Imran: 164 di atas, saya olah dari tafsir Min Wahy al-Qur`an sedang tentang al-A’raf: 157 saya saripatikan dari tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir. Dari tafsir Min Wahy al-Qur`an, kita dapat mengambil pelajaran bahwa seorang pembaharu, pelopor pergerakan dan perubahan, seorang revolusioner, tidak harus seorang Super Man. Justru dia harus human being. Dia seorang pemikir-aktivis yang cermat memetakan masalah, fasih mengartikulasikan pemikiran dan gagasan, serta memiliki visi yang jelas tentang apa yang hendak dicapai dari sebuah pemikiran. Semua itu dia ramu dari realitas yang dia lihat dan rasakan, dari persoalan-persoalan riil yang ia hadapi, bukan hasil renungan hampa tanpa dukungan fakta dan realita. Penggalan “dari golongan mereka sendiri…” dari Ali Imran: 164, saya rasa menegaskan hal itu.

Sedangkan terhadap tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir saya menambahkan bahwa “beban” dan “belenggu” yang coba dienyahkan Muhammad dari pundak umat bukan hanya berupa beban syariat dan belenggu kehinaan seperti yang pernah dirasakan umat Yahudi. Lebih dari itu, bahkan yang terpenting, adalah penderitaan, penindasan, ketidakadilan, kebodohan, dan hal-hal serupa itu. Al-Anbiya`: 107 yang menggariskan risalah Muhammad sebagai risalah rahmat, saya pikir mengacu, antara lain, pada apa yang saya tambahkan tersebut. Yakni Muhammad adalah Sang Pembebas. Risalah rahmat yang diusungnya setara maknanya dengan risalah pembebasan.

Karena kita tidak terbiasa secara khusus memperingati hari pengangkatan Muhammad menjadi Nabi, maka tidak keliru kiranya jika saya mengaitkan hari kelahirannya (maulid) yang selalu kita peringati dengan kelahiran manusia baru. Dengan kata lain, maulid Nabi menandai kelahiran manusia baru.

Shallu ‘ala al-Nabi