Hadis Tentang Istigfar Rasulullah dan Tafsir Surah Al-Fath Ayat 1-2

hadis istigfar Rasulullah dan tafsir surah al-Fath ayat 1-2
hadis istigfar Rasulullah dan tafsir surah al-Fath ayat 1-2

Hadis yang lumayan popular di kalangan beberapa mubaligh atau dai di antaranya adalah ahadis tentang istigfar Rasulullah saw. Pada hadis tersebut dijelaskan bahwa Rasulullah setiap hari membaca istigfar seratus kali. Hadis yang cukup popular ini termuat dalam beberapa kitab hadis induk, seperti Sahih Muslim, Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i, dan lainnya. Sepintas penjelasan sederhana ini tidak mengandung sesuatu yang problematik, akan tetapi bunyi literal hadis ini bertentangan dengan Alquran, surah Al-Fath ayat 1-2 yang berbunyi:

اِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًاۙ (١

”Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepadamu kemenangan yang nyata…”

لِّيَغْفِرَ لَكَ اللّٰهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْۢبِكَ وَمَا تَاَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُّسْتَقِيْمًاۙ

“…agar Allah memberikan ampunan kepadamu (Nabi Muhammad) atas dosamu yang lalu dan yang akan datang, menyempurnakan nikmat-Nya atasmu, menunjukimu ke jalan yang lurus,”

Dua ayat pertama dalam surah Al-Fath ini memberikan penjelasan cukup gamblang bahwa Nabi Muhammad adalah manusia yang telah terjamin dari melakukan dosa. Berdasarkan ayat ini pula, para ulama bersepakat atas kemaksuman (terjaga dari dosa) para Nabi. Konsensus ini dikutip, di antaranya oleh Imam Al-Subki dan Ibnu Atiyyah dalam karya tafsirnya.

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, apa maksud dari sabda Nabi, bahwa beliau beristighfar seratus kali dalam sehari? Tulisan ini akan berupaya memberikan penjelasan berdasarkan pendapat para ulama, khususnya padangan ulama tasawuf.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Fath Ayat 1 (2)

Hadis Tentang Nabi Muhammad Beristighfar Seratus Kali Sehari

Redaksi lengkap dari hadis tersebut, sebagaimana tercantum dalam Musnad Ahmad dan lain-lain, bersumber dari Al-Agharr Al-Muzani, adalah sebagai berikut:

إنَّه لَيُغَانُ علَى قَلْبِي، وإنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ في اليَومِ مِائَةَ مَرَّةٍ

Sungguh hatiku (seperti) tertutupi (sesuatu), dan Aku beristghfar dalam sehari seratus kali

Jika kita membaca redaksi hadis ini secara tekstual, pemahaman yang didapat tentu menunjukkan bahwa Nabi Muhammad membaca istighfar karena hatinya lalai dan melakukan kesalahan ataupun dosa. Padahal sebagaimana diungkapkan di awal, terkait kesepakatan ulama, bahwa semua Rasul adalah maksum, artinya terjaga dari melalukan dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil, yang tidak sampai pada merendahkan martabat. Meskipun demikian, beberapa kelompok, seperti Muktazilah, mengatakan bahwa boleh saja Nabi melakukan dosa kecil yang tidak sampai merendahkan martabat Nabi. Argumentasi mereka adalah ayat kedua dari surah Al-Fath yang telah dikutip di atas. Namun, pendapat yang dipilih (al-mukhtar) adalah yang menegaskan bahwa Nabi terjaga dari segala bentuk dosa, karena kita semua diperintahkan untuk mengikuti Nabi baik dalam segi ucapan maupun perilaku.

Baca Juga: Meninjau Ulang Makna Asyiddaa’u alal Kuffar dalam Al-Quran Surah Al-Fath Ayat 29

Beberapa Penjelasan Ulama Terkait Makna “Tertutupi” dalam Hadis Istigfar Nabi

Ada beberapa penjelasan alternatif dari para ulama terkait makna dari kata “layughanu” (tertutupi) dalam hadis di atas. Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah kondisi saat Nabi tidak berdzikir atau mengingat Allah, yang seharusnya itu harus senantiasa terjadi, dan itu oleh Nabi dianggap sebagai sebuah ‘dosa’, sehingga beliau beristighfar. Ada yang memaknai kata “layughanu” dengan “ketenangan hati”, sedangkan istigfar adalah bentuk penegasan kehambaan Nabi, sekaligus sebagai ungkapan syukur. Ada juga yang memaknainya dengan “rasa takut”, dan istigfar adalah bentuk ungkapan rasa syukur.

Pendapat lain mengatakan bahwa Nabi bermaksud memberikan edukasi kepada umatnya, bahwa manusia adalah tempat salah dan lupa, dan oleh karenanya harus banyak beristigfar. Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa dalam hadis itu sebenarnya Nabi beristigfar untuk umatnya atas dosa-dosa yang telah dan akan mereka lakukan di masa dahulu dan yang akan datang. Pendapat yang terakhir ini, menurut penulis lebih bisa diterima dan tidak menciderai kemuliaan Nabi Muhammad sebagai manusia yang maksum.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Fath Ayat 1 (1)

Pandangan Ulama Tasawuf

Ulama tasawuf memiliki pemaknaan yang berbeda dari beberapa alternatif pemakaan yang telah dikutip di atas. Dalam pemaknaan sufistik, hadis di atas bukan berarti mengindikasikan bahwa Nabi melalukan dosa, karena mereka adalah sosok manusia yang sempurna dan maksum. Namun menunjukkan dan mengisaratkan bahwa Nabi Muhammad senantiasa meningkat dan naik (al-taraqi) serta bertambah (al-tazayudi) dekat dengan Allah setiap waktu, dari satu kondisi spiritual (ahwal) ke kondisi spiritual yang lebih tinggi.

Para Nabi adalah orang-orang yang paling kuat mujahadah-nya. Mereka senantiasa ber-mujahadah dalam beribadah sebagai bentuk syukur kepada Allah, seraya merasa kurang sempurna dalam mengabdi kepada Allah. Dari sinilah kemudian Nabi beristigfar untuk menyesali kekurangsempurnaan itu dan menuju yang lebih sempurna. Dengan demikian makna “tertutupi” dalam hadis di atas, adalah ketertutupan atau hijab ‘cahaya’ dalam arti spiritual, bukan hijab ‘kegelapan’ dalam arti dosa.

Ketika Nabi telah berhasil naik dari satu kondisi spiritual ke kondisi spiritual yang lebih tinggi, beliau beristigfar atas kondisi sebelumnya, yang beliau ungkapkan dengan ‘ketertutupan’ (gelap), walaupun pada hakikatnya itu adalah ‘cahaya’ (terang). Hal ini bukan berarti menunjukkan suatu kekurangan, akan tetapi justru kesempurnaan yang senantiasa meningkat.

Pemaknaan ini selaras dengan penafsiran, tepatnya penakwilan Ibnu Abbas atas surah al-Duha ayat 4 yang berbunyi: ﴿ وَلَلْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْاُوْلٰىۗ  ﴾. Beliau mengatakan bahwa makna ayat ini adalah, “‘kondisi’ yang terakhir lebih baik bagimu daripada ‘kondisi’ sebelumnya”.

Pemaknaan yang hamper sama juga disampaikan oleh Al-Ghazali. Dia menegaskan bahwa hadis ini tidak bisa dipahami secara tekstual (lafdiyah). Dia menjelaskan bahwa Nabi Muhammad senantiasa naik dari satu ‘kondisi ruhani’ ke ‘kondisi ruhani’ yang lebih tinggi. Tatkala Nabi melihat kondisi sebelumnya, beliau kemudian membaca istghfar. Jumlah istighfar yang beliau baca sesuai dengan jumlah kondisi ruhani di level sebelumnya. Inilah makna dari ungkapan para ulama tasawuf, “hasanatul abrar sayyi’atul muqarrabin” (kebaikan-kebaikan orang yang sudah dekat dengan Allah, adalah keburukan bagi mereka yang sedang dalam proses pendekatan kepada Allah). Wallah a’lam