BerandaKhazanah Al-QuranTradisi Al-QuranHukum Membacakan Al-Quran di Hadapan Orang Banyak

Hukum Membacakan Al-Quran di Hadapan Orang Banyak

Baru-baru ini cukup viral berita seorang qariah yang membacakan al-Quran di hadapan orang banyak, kemudian ada 2 orang peserta yang maju memberikan saweran. Tulisan ini akan mengulas tentang hukum meminta orang lain membacakan al-Quran, terutama di hadapan orang banyak. Apakah hal itu ada tuntunannya? Bukankah lebih baik membaca al-Quran sendirian dan meresapi maknanya, daripada membacakan kepada orang lain yang berpeluang pamer? Berikut keterangan selengkapnya:

Meminta orang lain membacakan al-Quran bukanlah sesuatu hal yang baru di dalam sejarah perkembangan Islam. Nabi Muhammad sendiri gemar meminta para sahabat membacakannya al-Quran. Sahabat Ibn Mas’ud bercerita:

قَالَ لِى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « اقْرَأْ عَلَىَّ » . قُلْتُ آقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ « فَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِى » . فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ سُورَةَ النِّسَاءِ حَتَّى بَلَغْتُ ( فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا ) قَالَ « أَمْسِكْ » . فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ

Nabi Muhammad berkata padaku: “Bacakan al-Quran padaku!” “Aku membacakannya pada Engkau padahal dia diturunkan padamu?” balasaku. Nabi kemudian berkata: “Aku senang mendengarkan bacaan al-Qur’an dari selain diriku”. Lalu aku membacakan Surat an-Nisa’ pada beliau. Sampai pada ayat:

فَكَيْفَ اِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ اُمَّةٍۢ بِشَهِيْدٍ وَّجِئْنَا بِكَ عَلٰى هٰٓؤُلَاۤءِ شَهِيْدًاۗ

Bagaimanakah (keadaan manusia kelak pada hari Kiamat) jika Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Nabi Muhammad) sebagai saksi atas mereka?  (QS. An-Nisa’/41).

Baca Juga: Tradisi Santri Pesantren Zainul Hasan Menyambut Nuzul Al Quran

Nabi Muhammad berkata “Berhentilah!”. Lalu aku melihat air mata bercucuran dari kedua mata beliau (HR. Bukhari).

Imam Ibn Bathal menjelaskan, ada dua kemungkinan tentang alasan Nabi meminta orang lain membacakan al-Qur’an padanya. Pertama, agar memperdengarkan al-Qur’an menjadi sebuah kebiasaan; kedua, agar lebih mudah memahami dan meresapi ayat yang dibacakan. Sebab memahami ayat yang dibacakan orang lain akan lebih mudah daripada memahami bacaan sendiri (Syarah Ibn Bathal/19/365).

Prilaku meminta orang lain membacakan al-Quran kemudian berkembang diantara para sahabat, dengan tidak hanya membacakannya di hadapan satu orang, tapi pada beberapa orang. Sahabat Umar ibn Khatab kadang meminta salah satu sahabat membacakan al-Quran di hadapan beliau dan beberapa sahabat yang lain. Sahabat yang membacakan kadang Abu Musa, terkadang ‘Uqbah ibn Amr (Jamiul Ulum/1/344).

Tradisi ini kemudian berkembang lagi di antara para ulama. Dimana mereka gemar membuka setiap majlis pertemuan dengan membacakan hadis Nabi, dan menutupnya dengan mengumandangkan bacaan al-Quran dari qari yang bersuara indah. Di Indonesia sendiri, pembacaan al-Quran dalam majlis pertemuan biasa dilakukan di awal pertemuan (At-Tibyan/91).

Baca Juga: Ruwah: Momentum Pembersihan Hati

Dari berbagai keterangan di atas kita bisa mengambil kesimpulan, membacakan al-Quran di hadapan banyak orang bukanlah sesuatu yang tercela. Bahkan kebiasaan tersebut juga diamalkan oleh para sahabat dan ulama.

Hanya saja yang perlu diperhatikan, tujuan membacakan al-Qur’an di hadapan orang banyak bukanlah sekedar pamer keindahan suara yang menjurus ke hiburan bagi telinga semata, tapi agar al-Qur’an dapat di dengar orang banyak dan diresapi maknanya. Minimal andai masyarakat awam kurang bisa meresapi arti ayat yang dibacakan, mereka akan akrab dengan bacaan al-Qur’an dan tidak merasa asing dengan kitab sucinya sendiri. Wallahu A’lam.

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...