Sejarah media penulisan di Indonesia mempunyai corak yang beraneka ragam. Seperti penulisan aksara pada batu, kayu, kulit sapi hingga daun lontar. Daun lontar adalah daun tal atau siwalan (Borossus Flabellifer Polmyra), daun ini termasuk salah satu daun yang bisa digunakan sebagai media untuk tempat menulis. Daun lontar yang dikeringkan bisa dimanfaatkan sebagai karya kerajinan atau pun bahan naskah.
Jauh sebelum mengenal kertas, orang terdahulu sudah terbiasa menulis di daun lontar seperti menulis suluh, manuskrip, sastra yang biasa digunakan untuk prasi, atau tulisan yang disertai dengan narasi. Pada zaman dahulu daun lontar digunakan untuk menulis sejarah kehidupan seperti pelantikan, perjanjian, dan peristiwa penting lainnya pada masa kerajaan. Daun lontar di Nusantara banyak ditemukan dari wilayah Jawa, Sunda, Bali, Madura, Lombok, dan Sulawesi Selatan.
Baca Juga: Manuskrip Alquran dari Kulit Sapi di Museum Gusjigang Kudus
Proses Penulisan Manuskrip Mushaf Alquran dari Daun Lontar
Daun lontar dipilih sebagai tempat untuk menulis naskah manuskrip karena bentuk daunnya yang awet dan tidak mudah rusak. Manuskrip Alquran dari daun lontar terbilang unik dan langka karena jumlahnya yang tidak banyak di Indonesia. Terdapat rangkaian proses pengolahan daun lontar sebelum dijadikan tempat untuk menulis.
Pertama, daun lontar yang sudah dipetik dikeringkan dengan menggunakan panas matahari dengan tujuan merubah warna daun yang asal mulanya hijau menjadi kuning, kemudian daun lontar direndam didalam air yang mengalir selama beberapa hari dan dibersihkan dengan menggunakan serabut kelapa serta dijemur di bawah sinar matahari kembali.
Setelah kering, daun-daun tersebut direbus untuk kedua kalinya dengan menggunakan air rempah agar terhindar dari sisa kotoran dan memastikan struktur daun supaya tetap bagus. Selanjutnya, untuk tahap penulisan dilakukan secara teliti di atas daun lontar kering dengan menggunakan alat pengutik. Semacam alat khusus logam jarum yang dipanaskan. Pada zaman dahulu alat ini juga dipakai secara tradisional untuk menorehkan tulisan aksara jawa kawi.
Baca Juga: Manuskrip Alquran dari Kertas Kuno di Museum Gusjigang Kudus
Karakteristik Manuskrip Mushaf Alquran Dari Daun Lontar di Museum Gusjigang
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, manuskrip mushaf Alquran dari daun lontar diperkirakan berumur 3 abad atau 300 tahun. Manuskrip ini dalam kondisi terawat karena masih utuh terdiri atas 30 juz dan dengan sampul halaman yang terbuat dari pelepah batang pohon lontar serta masih terlihat bagus hingga sekarang.
Disalin di atas daun lontar, pada satu halamannya terdiri dari 17 daun lontar, yang mana pada satu lontar terdiri dari 3 baris. Sehingga, 3×17= 51. Jadi, dalam naskah mushaf Alquran daun lontar terdiri dari 51 baris pada setiap halamannya. Ukuran daun lontar itu sendiri sekitar 3,5 x 30 cm. Manuskrip Alquran daun lontar ini disatukan menggunakan benang wol membentuk garis vertikal ditengahnya serta dilapisi dengan kain supaya kokoh dan rapi menyerupai bentuk buku. Manuskrip mushaf ini tidak memiliki syakl atau tanda baca sebagaimana mushaf-mushaf yang lainnya.
Baca Juga: Manuskrip Mushaf Al-Quran dari Daun Lontar: Koleksi Kiai Abdurrachim asal Grobogan, Jawa Tengah
Berdasarkan sumber yang kami dapatkan dari pihak pengelola museum Gusjigang, bahwa manuskrip mushaf Alquran dari daun lontar ini awal mulanya dibuat atas imbauan kyai kepada santri-santrinya untuk menulis Alquran ketika akan lulus dari pendidikan pondok pesantren. Jadi semacam tugas akhir para santri sebelum haflah. Manuskrip mushaf ini didapatkan dari kolektor asal Salatiga. Kepemilikan manuskrip mushaf tersebut ternyata sudah mencapai tujuh turunan hingga pada akhirnya dipegang oleh Bapak Panji Hanief Gumilang yang awalnya terdapat di rumah Museum Java Mooi Heritage Salatiga, kini sudah bisa dijumpai di Museum Jenang dan Wisata Edukasi Gusjigang Kudus.