Di tengah arus perubahan sosial, kajian mengenai gender dan feminisme selalu relevan terhadap ruang dan waktu. Konstruksi gender dalam lintas kesejarahannya dipengaruhi oleh ragam faktor seperti kultural, sosial, ekonomi, politik, dan tafsiran pada teks-teks keagamaan. Realitas sosial antara relasi laki-laki dan perempuan yang diskriminatif serta asimetris pada gilirannya memantik sederet kaum feminis dengan menyebutnya sebagai ketidakadilan gender (Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, 6).
Persoalan ketidakadilan gender adalah persoalan besar bagi gerakan feminisme. Pemikiran yang relatif baru yang dilakukan oleh kalangan feminis, berdasarkan pada kepedulian yang begitu kuat dalam menciptakan formulasi metodologi dengan konsisten, menjunjung tinggi nilai-nilai universal dan prinsip ideal Alquran, serta menghasilkan suatu penafsiran Alquran yang rasional dan peka pada konteks historis dan kultural.
Baca Juga: Amina Wadud dan Hermeunitika Tauhid dalam Tafsir Berkeadilan Gender
Amina Wadud: Tokoh Feminis Pertama Pada Awal Abad Ke-20
Amina Wadud merupakan sarjana muslimah asal Amerika Serikat. Namanya muncul ke permukaan luas dikarenakan sangat vokal menyuarakan isu gender dan feminisme. Gerakan dan pemikiran feminisme yang digagas oleh Amina, dilatarbelakangi oleh kegelisahan intelektual perihal fenomena patriarki pada masyarakat Muslim dan penafsiran Alquran yang bias gender sesuai dengan yang dijalankan para mufasir klasik-konservatif (Amina Wadud, Inside the Gender Jihad: Womens Reform in Islam Inside the Gender Jihad, 4).
Kegelisahan Amina pada akhirnya termanifestasikan dalam gagasan intelektual berupa karya-karya monumental seperti Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam dan Qur’an and Women. Sebagai aktivis gender yang juga produktif dengan karya yang fokus kepada kajian tafsir Alquran, menjadikan Amina sebagai tokoh feminis-reformis sekaligus mufasir perempuan pada abad modern-kontemporer.
Hermeneutika Feminisme: Metode Tafsir Berbasis Feminis
Hermeneutika feminisme ialah metode penafsiran Alquran berbasis feminis, yang pada prinsipnya menganut azas kesetaraan dan keadilan gender. Bahwa kemudian dapat dikatakan sebagai sebuah metode penafsiran Alquran dengan memberikan pertimbangan pada unsur realitas yang kekinian serta memiliki usaha dalam pemenuhan metode ilmiah dari permasalahan yang ditafsirkan dengan tujuan melakukan perwujudan kesetaraan gender dari ayat yang dinilai bias gender (Mardety Mardiansyah, Hermeneutika Feminisme Reformasi Gender dalam Islam, 3).
Dalam penerapan metodenya tersebut, Amina menerapkan beberapa langkah penting untuk melakukan tafsir ayat bias gender, adalah; Pertama, analisis asbab al-nuzul (konteks saat Alquran diturunkan). Kedua, analisis linguistik (gramatikal teks). Ketiga, analisis welstanchaung (pandangan dunia Alquran). Metode ini pada kesimpulannya memungkinkan adanya depatriarkisasi tafsir Alquran dan dehumanisasi perempuan dalam tafsir Alquran (Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, 19).
Baca Juga: Hermeneutika Filosofis-Dekonstruktif dalam Menalar Tafsir Gender
Selanjutnya, paradigma tafsir Alquran berbasis feminis ini bermula dari suatu asumsi, bahwasannya prinsip dasar Alquran pada relasi laki-laki dan perempuan ialah kesetaraan, keadilan, musyawarah dan kepantasan. Pendekatan hermeneutik berbasis tafsir tematik pada gilirannya menjadi relevan untuk melakukan kajian ayat-ayat gender. Karena dari metodologi seperti itu, harapannya penafsiran Alquran yang lebih intersubyektif, kritis, dan konstruktif.
Tafsir Bias Gender Atas QS. Alnisa’ [4]: 34
Salah satu isu gender adalah pembahasan tentang kepemimpinan dalam berumah tangga, superioritas laki-laki atas perempuan (QS. Alnisa’ [4]: 34). Yang menarik pada ayat tersebut adalah terdapat kata qawwâm, yang diartikan oleh al-Zamakhsyari sebagai keunggulan pada akal, ketegasan, semangat, dan ketangkasan. Oleh karenanya, kenabian dan kepemimpinan dalam ranah publik diserahkan untuk kaum laki-laki (Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil, 523).
Mufasir tersohor sekaligus sebagai pemikir muslim Sunni, Fakhruddin al-Razi, juga turut melegitimasi tindakan superioritas laki-laki atas perempuan pada ayat tersebut. Menurutnya, laki-laki lebih unggul dalam hal ilmu pengetahuan dan kemampuan. Pengetahuan dan akal laki-laki lebih luas dan kemampuannya dalam bekerja keras untuk menafkahi keluarga lebih prima daripada perempuan (al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, 88).
Dari uraian kedua ahli tafsir diatas, sebetulnya tidak begitu menjadi permasalahan yang cukup serius sepanjang diposisikan dengan adil dan tidak bersifat diskriminatif. Namun, pada umumnya para ahli tafsir misalnya al-Zamakhsyari dan al-Razi berpendapat bahwa superioritas laki-laki dalam ayat tersebut bersifat mutlak dan merupakan ciptaan Tuhan yang tidak pernah dirubah dari zaman ke zaman.
Kendati demikian, contoh penafsiran tradisional di atas, tanpa disadari, merupakan bentuk legitimasi untuk budaya patriarki. Budaya ini begitu membedakan eksistensi laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki dinilai unggul daripada perempuan pada semua aspek, baik pada ruang domestik maupun publik. Oleh karenanya, tidak heran jika seorang Amina Wadud turut mengkritisi penafsiran-penafsiran tradisional yang cenderung bias gender.
Baca Juga: Bagaimana Relasi Gender dalam Keluarga Dibangun: Perspektif Tafsir Feminis
Menuju Tafsir Alquran Berkeadilan Gender
Berbeda dengan pandangan para mufasir sebelumnya (baca: al-Zamakhsyari dan al-Razi), kata qawwam (QS. Alnisa’ [4]: 34) dalam pandangan Amina Wadud lebih cenderung pada sebuah konsep fungsionalis. Adalah untuk menerjemahkan relasi fungsional dari laki-laki dan perempuan pada bingkai sosial-kemasyarakatan. Keduanya memiliki beban tanggungjawab yang berbeda-beda.
Untuk membentuk suatu masyarakat misalnya, tanggungjawab perempuan yaitu untuk membentuk generasi penerus bangsa. Tanggungjawab ini membutuhkan kekuatan fisik, komitmen, dan kecerdasan. Oleh sebab itu, laki-laki juga dituntut untuk mempunyai tanggungjawab yang sama seperti memberikan perlindungan, material, spiritual, intelektual, dan moral. Jika laki-laki tidak bisa memberikan pemenuhan tanggung jawabnya, maka ia tidak pantas dianggap pemimpin dalam rumah tangga (Qur’an and Women, 72-74).
Penutup
Poin utama yang bisa dipetik berdasarkan pemikiran feminis asal Amerika ini ialah suatu upaya menciptakan sebuah tafsir Alquran berkeadilan gender dari merebaknya penafsiran-penafsiran bias patriarki. Upaya Amina dalam gagasan hermeneutika feminisme adalah dengan melakukan rekonstruksi metodologi tafsir yang diharapkan dapat berimplikasi bagi rekonstruksi teologi dan sosial.
Ketidakadilan gender dalam kehidupan masyarakat sangat tidak mencerminkan spirit Alquran. Maka, kaitannya pada hal teks-teks keagamaan, yang seharusnya dijadikan dasar penafsiran yaitu prinsip ideal Islam seperti kesetaraan, keadilan, kebebasan, kerahmatan, dan kemaslahatan bagi semua, tanpa adanya batasan dari perbedaan jenis kelamin, baik laki-laki atau perempuan.
Wallahu a’lam.