BerandaTafsir TematikEmpat Makna Israf dalam Alquran

Empat Makna Israf dalam Alquran

Salah satu dari beberapa penyakit rohani yang disebutkan dalam Alquran  adalah israf (berlebih-lebihan dalam segala sesuatu). Sifat israf sangat dibenci dan dilarang dalam Islam, karena menimbulkan mudarat dan sia-sia. Dalam Alquran , Allah swt menegaskan, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Q.S al-A’raf [7]: 31).  Untuk itu, pada kesempatan ini penulis berupaya mengklasifikasi dan mengulas tafsir terhadap ayat-ayat israf dalam Alquran  sebagai objek pembahasan.

Dalam Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Qur’an, kata israf diulang sebanyak 23 kali yang tersebar di 17 surah. Kata israf (اسراف) adalah derivasi dari kata sarafa (سرف) yang dalam kamus al-Munawwir (1997: 628) memiliki makna melalaikan, melewati dan melampaui batas. Ibnu Mandzur (t.th: 148) dalam Lisan al-Arab menjelaskan bahwa Israf memiliki makna mujawazatul qasdi yakni melebihi atau melampaui batas. Dalam Tafsir al-Munir, Wahbah Zuhaili (1418 H: 187) menyatakan bahwa israf adalah melampaui batas dalam segala sesuatu, seperti berlebihan dalam mengkonsumsi makanan, cara berpakaian, menginfakkan harta dan lain sebagainya.

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din memberikan gambaran yang lebih kompleks bahwa kata israf  terkadang digunakan untuk mentasarrufkan harta pada suatu hal yang tidak baik dan mungkar. Juga, dapat digunakan ketika mentasarrufkan sesuatu untuk hal-hal yang mubah, namun berlebihan. Seperti seseorang yang memiliki harta 100 dinar dan ia memiliki keluarga, kemudian ia menyedekahkan semuanya (100 dinar), sementara keluarganya sendiri tidak memiliki harta sama sekali. Maka, hal ini masuk kategori israf  dan wajib untuk dicegah.

Dalam Alquran , terdapat beberapa ayat yang berbincang tentang israf  dalam konteks yang berbeda. Untuk itu, penulis mengkalsifikasi israf  dalam empat macam, sebagaimana berikut:

Baca Juga: Perilaku Konsumtif Masyarakat Jahiliah

Israf dalam hal melampaui batas fitrah manusia (Q.S Ala’raf [7]: 81)

إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (81)

Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.” (Q.S Ala’raf [7]: 81)

Diksi al-ityan menurut al-Maraghi (1946: 204) pada ayat ini adalah bersenang-senang (jima’) yang dilakukan oleh pasutri sebagai fitrah manusia yang didorong oleh syahwat dengan tujuan untuk memiliki keturunan. Sementara dalam ayat di atas kaum Luth hanya ingin memuaskan nafsunya saja, melakukan hubungan intim dengan sesama jenis tanpa menjaga dan menginginkan keturunan.

Pada bagian ini, orang yang melakukan perbuatan yang sangat keji dan menjijikkan yaitu praktik homoseksual, termasuk dalam kategori israf, sebab, melampaui batas fitrah manusia. Al-Maraghi menyebut kelompok ini dengan paling buruknya hewan. Bahkan hewan sekalipun seperti burung dan hewan lainnya, hidup dengan berpasangan, kemudian bertelur dan beranak. Sedangkan orang-orang yang disebutkan dalam ayat tersebut tidak memiliki tujuan kecuali hanya untuk memuaskan hawa nafsunya saja.

Baca Juga: Surah Ala‘raf (189): Berpasangan dan Memiliki Keturunan adalah Fitrah

Israf bermakna kemusyrikan (Q.S Yunus [10]: 83)

فَمَا آمَنَ لِمُوسَى إِلَّا ذُرِّيَّةٌ مِنْ قَوْمِهِ عَلَى خَوْفٍ مِنْ فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِمْ أَنْ يَفْتِنَهُمْ وَإِنَّ فِرْعَوْنَ لَعَالٍ فِي الْأَرْضِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الْمُسْرِفِينَ (83)

Maka tidak ada yang beriman kepada Musa selain keturunan dari kaumnya dalam keadaan takut bahwa Fir’aun dan para pemuka kaumnya akan menyiksa mereka. Dan sungguh Fir’aun itu benar-benar telah berbuat sewenang-wenang di Bumi dan benar-benar termasuk orang yang melampaui batas” (Q.S Yunus [10]: 83)

Melalui ayat ini, Allah Swt. mengisahkan tentang kaum Nabi Musa a.s yang hanya sedikit mengikuti ajarannya, yakni hanya kaum al-syabab yang setia kepada Nabi Musa, sementara yang lain ingkar kepadanya. Banyak dari kaum Nabi Musa yang tidak mau mengikuti ajarannya karena takut pada Fir’aun dan para pengikutnya. Fir’aun sendiri adalah pemimpin yang bengis dan durhaka, sebagaimana dijelaskan Wahbah Zuhaili (1418 H: 244) dalam tafsirnya al-Munir.

Fir’aun dikatakan musrif (orang yang berlebihan), karena melakukan kesewenangan dan kesombongan, serta melampaui batas dalam kezaliman dan kerusakan. Bahkan, mengaku dirinya sebagai Tuhan. Sehingga, konteks israf pada ayat ini adalah berlebihan dalam kekuasaan hingga bermuara pada kemusyrikan.

Israf bermakna durhaka dan melanggar hukum Allah (Q.S Althaha [20]: 127)

وَكَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِآيَاتِ رَبِّهِ وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَى (127)

Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. Sungguh, azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” (Q.S Althaha [20]: 127)

Ayat ini menjelaskan tentang orang-orang yang melanggar dan durhaka kepada Allah Swt. Menurut al-Thabari (2000: 397), mereka yang ketika di dunia tidak percaya kepada kebenaran yakni percaya kepada Rasul dan Alquran , maka Allah akan membalas mereka dengan menjadikan kehidupan yang menderita, melarat dan sempit di alam barzah. Sementara azab di akhirat lebih pedih daripada di alam kubur.

Menurut Al-Sa’di (2000: 516) maksud dari man asrafa adalah orang-orang yang melampaui batas, melakukan keharaman dan berlebihan melakukan sesuatu yang dihalalkan. Mereka disiksa oleh Allah karena penyakit israf dan tidak memiliki keimanan kepada Allah. Sebagaimana ayat sebelumnya, “Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diabaikan.” (Q.S Althaha [20]: 126). Sehingga, di akhirat Allah juga abaikan mereka dengan menjadikannya buta, tuli dan bisu. Konteks israf pada ayat ini adalah melanggar hukum Allah setelah datang suatu kebenaran.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hasyr ayat 7: Perintah Untuk Mendistribusikan Harta Kekayaan

Israf bermakna berlebihan dalam harta (Q.S Alan’am [6]: 141)

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلَا تُسْرِفوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (141)

Dan Dialah yang menjadikan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya). Makanlah buahnya apa-bila ia berbuah dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya, tapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan,” (Q.S Alan’am [6]: 141)

Menurut al-Thabari, ayat ini merupakan informasi dari Allah tentang segala nikmat yang Allah berikan, didikan tentang apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan serta bagian tentang harta yang harus diberikan kepada yang berhak. Dalam ayat ini, nikmat tersebut berupa tanaman-tanaman yang ma’rusyat yaitu tanaman-tanaman yang dibuat dan ditumbuhkan oleh manusia dan ghairu ma’rusyat (tanaman-tanaman yang ditumbuhkan oleh Allah swt tanpa campur tangan manusia).

Selanjutnya, Allah perintahkan untuk memakan tanaman-tanaman yang sudah berbuah tersebut lalu, Allah perintahkan – setelah kebutuhannya terpenuhi – untuk menyedekahkan sebagiannya kepada yang membutuhkan. Terdapat perbedaan penafsiran pada ayat wa atu haqqahu sebagian riwayat mengatakan sedekah wajib (zakat). Sebagian ulama mengatakan bukan zakat, tetapi harta yang harus disedekahkan untuk orang yang tidak mampu, seperti yang telah dijelaskan oleh al-Thabari

Perintah selanjutnya adalah wa la tusrifu yakni berlebihan dalam menggunakan harta. Al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menyebutkan terdapat empat penafsiran yang berbeda tentang israf pada ayat ini; pertama, israf dalam hal menyedekahkan semua harta kepada orang lain, sementara keluarganya kekurangan. Kedua, israf dalam hal mencegah diri untuk bersedekah atau berzakat. Ketiga, israf berupa menyekutukan Allah dengan berhala dalam hal menanam dan berternak. Keempat, menginfakkan hartanya untuk kemaksiatan, juga termasuk kategori israf fi al-mal. Keempat macam israf ini tidak disukai oleh Allah Swt.

Sehingga, dari klasifikasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa israf (berlebihan) adalah sifat dan perbuatan yang sia-sia, menimbulkan mudarat dan tercela. Hal ini tentu perlu diperhatikan terutama oleh orang-orang modern yang cenderung sekuler, yang cenderung mengukur sesuatu dengan kebendaan semata dan mengabaikan akhirat. Tidak jarang terjadi di masyarakat, perilaku konsumtif, misalnya, ketika seseorang cemburu dengan orang yang memiliki mobil, kemudian ia membelinya juga dengan kredit, padahal keluarga yang ada di rumahnya serba kekurangan.

Wallahu a’lam bish shawab.

Lukman el-Hakim
Lukman el-Hakim
Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Fithrah Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Peran Alquran dalam Melestarikan Bahasa Arab

Peran Alquran dalam Melestarikan Bahasa Arab

0
Bahasa Arab telah berkembang ratusan tahun sebelum Nabi Muhammad saw. lahir. Meski telah berusia lama, bahasa ini masih digunakan hingga hari ini. Bahasa Arab...