BerandaTafsir TematikTafsir AhkamBolehkah Melakukan Mubahalah?

Bolehkah Melakukan Mubahalah?

Mubahalah merupakan doa kepada Allah dengan sungguh-sungguh yang dilakukan oleh dua pihak yang berselisih, dengan tujuan sekiranya Allah Swt menjatuhkan laknat kepada pihak yang berbohong atau berdusta. (A. Rofi’ Usmani, Jejak-Jejak Islam, 248) Dalam surah Ali ‘Imran [3]: 61, mubahalah ini adalah cara untuk menepis keraguan orang non-muslim tentang kebenaran risalah Nabi Muhammad saw. Dalam tafsir ayat tersebut, dikisahkan bahwa mubahalah memiliki dampak yang luar biasa. Lalu, bolehkan melakukan mubahalah di luar konteks yang dijelaskan dalam ayat?

Makna dari Mubahalah

Mubahalah merupakan derivasi dari kata bahala (بَهَلَ), yang artinya sesuatu yang tidak diperhatikan atau dilalaikan. Namun, jika kata اَلْبَهْلُ atau اَلْلإبْتِهَالُ di sandingkan dalam sebuah doa, maka ia bermakna pembebasan dari kekangan (dunia) dan menampakan ketundukan dan kerendahan di hadapan Allah Swt.

Dalam Alquran, hanya ada satu ayat yang menyinggung terkait persoalan mubahalah, yaitu dalam surah Ali ‘Imran [3]: 61.

فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ

Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”.

Menurut al-Ashfahani, اَلْلإبْتِهَالُ dalam ayat di atas bisa bermakna saling melaknat “اَلْمُبَاهَلَةُ”, sebab pembebasan yang dimaksud adalah untuk saling melaknat. (Ar-Raghib al-Ashfahani, Kamus Alquran, Jilid 1, 259-260)

Baca Juga: Trend Mubahalah Perlukah? Menelisik Kisah Mubahalah Rasulullah dalam Al-Quran

Sabab Nuzul Ayat

Ayat 61 dalam surah Ali ‘Imran tersebut memiliki munasabah dengan ayat ke 59 sampai 63. Kelima ayat tersebut berlatar belakang dengan sabab nuzul yang menceritakan tentang kisah Nabi ‘Isa a.s dan Ibunya, Maryam. Dalam penuturan Wahbah Zuhaili, ayat ini menyinggung kelompok yang tidak kufur kepada Nabi ‘Isa a.s, namun juga tidak beriman dengan keimanan yang benar.

Mereka “terjebak” dengan keadaan Nabi ‘Isa a.s yang dilahirkan tanpa seorang ayah. Sehingga, mereka memiliki pemahaman yang keliru terkait makna Kalimatullah dan Ruhullah. Menurut mereka, Ruhullah berarti Allah Swt masuk dan menyatu dalam tubuh Maryam, sedangkan Kalimatullah adalah Allah Swt menjelma dalam tubuh Nabi ‘Isa a.s. Dengan demikian, Nabi ‘Isa a.s mempunyai dua sisi, yakni sebagai manusia biasa dan di sisi lain sebagai Tuhan. (Tafsir al-Munir, Jilid 2, 284-285)

Maka dari itu, dengan turunnya ayat ini, Allah swt. hendak menegaskan dan meyakinkan kepada Nabi Muhammad saw. bahwasannya kisah Nabi Isa a.s dan ibunya, Maryam, adalah benar adanya, sehingga jika ada kelompok-kelompok yang meragukan atau membantah akan kisah tersebut, Allah swt. menyuruh Nabi Muhammad Saw untuk melakukan mubahalah dengan mereka.

Baca Juga: Toleransi Menjelang Natal: Refleksi Surah Ali Imran Ayat 61 dan 64

Apakah Bermubahalah Diperbolehkan?

Bertolak dari sambungan cerita di atas, dalam penjelasan M. Quraish Shihab, ketika kelompok Kristen Najran yang berjumlah 60 orang tersebut diajak untuk bermubahalah dengan Nabi saw, ternyata mereka membatalkan niatnya, sebab mereka takut laknat tersebut menimpa kepada kelompoknya sendiri.

Padahal, pada waktu yang telah disepakati, antara Nabi Saw dan orang Kristen Najran, Nabi saw. membawa serta Fatimah, Ali bin Abi Thalib r.a, Hasan dan Husein untuk ikut bermubahalah. Ini menandakan bahwa Nabi Saw tidak ada keraguan sedikitpun atas apa yang diyakininya, hingga Nabi saw. melibatkan orang-orang yang begitu dicintainya. (Tafsir al-Misbah, Jilid 2, 112).

Sedangkan dalam salah satu hadis yang dicantumkan oleh Buya Hamka, sedari awal memang kelompok Kristen tersebut tidak berani saat Nabi saw. menantangnya untuk bermubahalah, karena dalam hati mereka ada kekhawatiran, jikalau Muhammad saw. benar-benar seorang utusan Allah swt, maka malapetaka dan bencananya justru akan menimpa pada diri mereka sendiri. (Tafsir al-Azhar, Jilid 2, 793)

Maka dari pemaparan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa sumpah mubahalah adalah salah satu cara untuk mempertahakan keyakinan seseorang. Namun demikian, keyakinan itu tidaklah serta merta, akan tetapi didasarkan pada wahyu Ilahi, sebagaimana pada surah Ali ‘Imran [3]: 62, Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar. Sehingga tidak ada keraguan sedikitpun untuk mempertahankan saat ada yang mengusik atau menantang akan kebenaran tersebut.

Sekalipun demikian, sumpah mubahalah tidak bisa sembarangan untuk dilakukan. Sebagaimana kisah di atas, kelompok Kristen Najran saja mundur dari tantangan Nabi Saw dan memilih untuk berdamai demi menjaga keselamatan diri masing-masing. Hal ini dikarenakan sumpah mubahalah mempunyai dampak negatif yang luar biasa, tidak hanya pada dirinya sendiri, tapi juga kepada orang-orang yang diikutsertakan dalam bermubahalah. Wallahu a’lam.

Muhammad Faishal Haq
Muhammad Faishal Haq
Alumni Pondok Pesantren Mambaus Sholihin, Gresik. Pegiat kajian keislaman dan kealquranan
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...